Keterbatasan Informasi Jadi Hambatan Orang untuk Donor Darah
Keterbatasan informasi membuat jumlah orang yang mendonorkan darah semakin minim. Padahal, kebutuhan pasokan darah untuk menyelamatkan nyawa orang lain sangat tinggi.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·4 menit baca
Partisipasi masyarakat untuk donor darah masih rendah. Aspek informasi dan syarat kebugaran menjadi alasan dan tantangan memenuhi kecukupan stok darah.
Gambaran partisipasi masyarakat mendonorkan darah terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada Mei 2021. Sebanyak 25,2 persen responden pernah donor darah. Umumnya mereka mendonorkan darah ketika dibutuhkan kerabat (10,6 persen) atau saat ada penggalangan donor darah (10,3 persen). Sementara responden yang secara rutin mendonorkan darah sendiri baru 4,3 persen.
Semua generasi dari muda sampai tua turut andil dalam aksi untuk menyelamatkan jutaan nyawa ini. Hampir separuh responden yang rutin donor darah adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Di sisi lain, 60 persen dari donor untuk kebutuhan yang sifatnya mendadak dilakukan responden berusia di atas 53 tahun.
Karakter yang berbeda juga ditemukan antara laki-laki dan perempuan. Lebih banyak laki-laki yang pernah mendonorkan darah dibandingkan perempuan. Dari total responden yang pernah menyumbang darah, tiga perempat merupakan laki-laki, seperempatnya perempuan.
Rendahnya partisipasi perempuan dapat disebabkan oleh dua aspek. Pertama, perempuan terbentur pada syarat-syarat yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Palang Merah Indonesia (PMI) menyebutkan, perempuan hamil atau sedang menyusui untuk sementara waktu tidak dapat menjadi donor. Kedua, masih abu-abunya informasi, misalnya saja boleh atau tidaknya perempuan melakukan donor darah ketika sedang dalam siklus menstruasi. Kondisi biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki membutuhkan lebih banyak ulasan literasi terkait donor darah ini.
Tantangan
Terkait partisipasi, dari tahun ke tahun jajak pendapat Kompas masih merekam potret yang sama. Responden yang melakukan donor darah tidak pernah lebih dari 50 persen. Ini menjadi catatan penting menjelang perayaan Hari Donor Darah Sedunia yang akan diperingati pada Senin (14/6/2021).
Tahun ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema ”Give Blood and Keep The World Beating” dengan semangat untuk kembali menggaungkan pentingnya kontribusi darah dalam membangun kesehatan masyarakat.
Di Indonesia, kontribusi darah nasional masih belum memenuhi standar WHO sebesar 2 persen dari total penduduk. Data Kementerian Kesehatan paling mutakhir menunjukkan, pada rentang tahun 2007 hingga 2016, jumlah donasi masih di kisaran 3 juta kantong. Padahal, standar minimal Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa setidaknya tersedia 5 juta kantong darah.
Di tengah pandemi Covid-19, PMI menyebut stok darah nasional menurun hingga 50 persen pada 2020. Kompas melaporkan, terjadi penurunan stok darah di beberapa unit donor darah PMI. Pada Januari 2021, PMI DKI Jakarta hanya menerima rata-rata 200 kantong darah per hari dari biasanya hingga 1.000 kantong darah. Pada Oktober 2020, stok harian darah di PMI Kota Cirebon juga menurun dari biasanya 150 kantong menjadi hanya kisaran 50 kantong per golongan darah.
Penurunan minat mendonorkan darah juga terekam di PMI Kota Bandung pada September 2020 hanya mendapatkan 40 kantong darah dari umumnya menerima hingga 550 kantong darah per hari. Kondisi pandemi turut menyumbang penurunan aktivitas donor darah yang sejatinya sudah rendah.
Alasan
Di tengah kondisi ini, jajak pendapat Kompas menunjukkan 74,8 persen responden tidak pernah melakukan donor darah. Alasan yang paling banyak disampaikan adalah akses pada informasi. Keamanan melakukan donor darah di masa pandemi Covid-19 justru bukan menjadi faktor utama masyarakat tidak mendonorkan darah. Tujuh dari 10 orang menyatakan tetap yakin bahwa donor darah yang dilakukan di masa pandemi tetap aman.
Dari publik yang tidak pernah donasi darah, 36,3 persen menyatakan tidak mengetahui tentang syarat, lokasi, dan cara untuk melakukan donor darah. Padahal, informasi makin mudah diakses dengan bantuan teknologi.
PMI sebagai garda depan donor darah memiliki kanal informasi berupa situs internet dan media sosial. Tidak hanya PMI, warga pun mengupayakan ide guna menjembatani pihak yang membutuhkan darah dan donor, misalnya melalui aplikasi Giveblood dan Reblood.
Namun, ketersediaan informasi yang dapat diakses di mana pun dan kapan pun masih memunculkan kelompok publik yang kekurangan informasi. Artinya, perlu ada pendekatan lain dalam diseminasi program donor darah demi meningkatkan angka partisipasi warga.
Alasan kedua adalah terkait kesehatan. Sebanyak 31,5 persen responden menyatakan tidak memenuhi syarat donor darah. Sementara kebugaran menjadi faktor utama saat akan mendonasikan darah. PMI setidaknya mensyaratkan donor darah dalam keadaan berat badan minimal 45 kilogram, tekanan darah normal, dan kadar hemoglobin di atas 12,5 g/dL.
Alasan ketiga yang disampaikan publik mengapa urung melakukan donor darah bersifat personal. Sebanyak 14,4 persen responden menyatakan belum ada keinginan dan 9,7 persen karena takut pada jarum suntik atau darah.
Tingkat kebugaran masyarakat yang masih rendah serta kebutuhan informasi yang memadai, detail, dan terkini, khususnya bagi perempuan, menjadi pekerjaan rumah bersama demi meningkatkan partisipasi warga untuk berdonasi darah.
PMI sebagai gerbang darah yang memasok hampir 90 persen kebutuhan darah perlu turut memformulasi cara edukasi yang tepat bagi warga. Apalagi, kinerja PMI diapresiasi oleh 46 persen responden. Bahkan, 27,6 persen lainnya menyampaikan salut atas kinerja yang sangat baik.