”Black Day”, Cara Publik Kritis Melihat Jalur Khusus Sepeda Balap
Koalisi dari sejumlah gerakan masyarakat meminta DKI menjelaskan kepada publik terkait kajian penetapan jalur khusus pesepeda balap di jalan layang Kampung Melayu-Tanah Abang. Kebijakan pemerintah harus merangkul semua.
Oleh
Helena F Nababan
·7 menit baca
Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI memfasilitasi jalur sepeda khusus untuk sepeda balap atau road bike kian banyak menuai protes masyarakat. Komunitas Bike to Work (B2W) bersama Road Safety Association (RSA), Koalisi Pejalan Kaki dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mengajak para pegiat sepeda, pejalan kaki, serta pengguna roda dua dan roda empat untuk mengikuti aksi Black Day.
Melalui akun di media sosial Instagram B2W, Rabu (9/6/2021), disebutkan aksi yang akan digelar pada Minggu (13/6/2021) pagi tersebut terkait dengan dispensasi yang diberikan kepada pesepeda balap untuk menggunakan jalan layang nontol (JLNT) Tanah Abang-Kampung Melayu. Aksi Black Day rencananya akan dilakukan di ujung JLNT yang mengarah ke mal Kota Kasablanka sebagai bentuk kontrol sosial terhadap pemangku kebijakan agar konsisten dengan aturan dan tidak diskriminatif.
Poetoet Soedarjanto, Ketua B2W Indonesia, Kamis (10/6/2021), menegaskan, aksi yang akan dilakukan esok hari itu bukan aksi untuk menentang sepeda balap dan jalurnya.
”Namun, aksi besok lusa merupakan keprihatinan kami atas kebijakan yang diambil Pemprov DKI, dalam hal ini Dishub DKI, terkait jalur khusus road bike. Karena kebijakan harus diberlakukan dengan prinsip kesetaraan dan proporsional sehingga semua jenis moda transportasi harus diperlakukan sama dan setara di jalan raya,” kata Poetoet.
Adanya aturan baru (yang tidak ada landasan hukumnya) yang memperbolehkan sepeda (jenis road bike) melintas, ini justru menimbulkan konflik sosial baru, bahkan punya ekses terhadap negatifnya pesepeda.
JLNT, yang diputuskan Dinas Perhubungan DKI sebagai lokasi uji coba jalur khusus sepeda balap, sesuai aturan yang ada sejak 2017 adalah roda dua dilarang melintas di sana. Poetoet mengingatkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), pada Pasal 287 Ayat 1 dan 2, dijelaskan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dan melanggar aturan rambu bisa didenda Rp 500.000 atau penjara paling lama 2 bulan.
Rambunya yang merupakan turunan dari UU itu pun sudah ada. Bahkan, penilangan terhadap pelanggaran tersebut sudah rutin dilakukan. Namun, dengan adanya aturan baru (yang tidak ada landasan hukumnya) yang memperbolehkan sepeda (jenis road bike) melintas, ini justru menimbulkan konflik sosial baru, bahkan punya ekses terhadap negatifnya pesepeda.
Ketua Tim Advokasi B2W Indonesia Fahmi Saimima menambahkan, aksi itu untuk mengingatkan pemangku kebijakan agar tidak menubruk aturan yang berlaku.
Menurut Fahmi, mereka pun memandang tidak elok terkait rambu yang dibuat dishub dengan deskripsi redaksional road bike dan dipasang di JLNT. ”Yang kami tahu di dunia tidak ada rambu seperti ini. Dari segi arti, maksud, istilah dan juga fungsi kata road bike tidak akan ditemui di UU mana pun. Makanya, rambu ini dibuat tidak dalam kajian yang baik,” katanya.
Rio Octaviano, Badan Kehormatan Road Safety Association (RSA), menambahkan, saat masih uji coba dan sudah ada rambu sepeda dengan tulisan road bike. RSA pun meminta analisa dari Dishub DKI soal penempatan rambu tersebut.
”Seharusnya saat uji coba, cukup dengan spanduk saja bukan dengan rambu seperti itu. Ini juga yang kami minta ke Pemprov DKI hasil analisis saat penempatan rambu juga soal keselamatan dengan menggunakan JLNT. Justru dengan sudah adanya rambu ini, kami jadi menerka-nerka uji coba ini hanya sebagai legitimasi saja,” katanya.
Justru, kata Rio, dengan adanya aksi ini, baik RSA, Koalisi Pejalan Kaki, ataupun B2W tidak melarang. Ini lebih pada aspek keselamatan dan aspek aturan.
Terkait keselamatan jalan, Herry Vaza, anggota Komite Keselamatan Konstruksi Subkomite Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, menjelaskan, secara konstruksi jalan, semakin tinggi konstruksi, maka angin makin kencang bertiup.
”Ya kalau konstruksi kuat. Tetapi terpaan angin itu makin tinggi bangunan, terpaan angin makin besar,” kata Herry. Pada level tertentu, makin ke atas bangunan atau konstruksi, makin cepat angin. Angin ini bisa terjadi kapan saja.
”Ada semacam gradient. Makin ke atas makin besar. Apalagi JLNT kan terbuka, terpaan angin makin besar. Itu cukup berbahaya karena tidak ada halangan di kanan kiri, apalagi dengan pembatas atau pagar jalan rendah sekali,” kata Herry.
Rawan gesekan
Dihubungi terpisah, Faela Sufa, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Asia Tenggara, menjelaskan, peningkatan jumlah pesepeda bersamaan dengan fenomena meningkatnya penggunaan sepeda balap di ruang jalan di mana para penggunanya cenderung memacu kecepatan setinggi mungkin dan bersepeda dalam kelompok yang besar. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, kelompok pesepeda road bike juga dikawal orang dengan sepeda motor yang menghalau kendaraan lain atau mengambil foto dari kelompok pesepeda tersebut secara konstan.
Hal ini mengundang pengguna kendaraan bermotor untuk terus melanggar peraturan dan menggunakan jalur sepeda terproteksi dengan dalih ruang jalannya telah terambil alih oleh pesepeda balap, serta tak jarang kemudian menimbulkan polemik dan gesekan, baik dengan pengendara kendaraan bermotor maupun dengan warga lain yang bersepeda.
Padahal, selain dari UU No 22/2009 Pasal 284 yang mengatur kewajiban bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda, terdapat juga peraturan dalam penggunaan ruang jalan, yakni sebagaimana dalam Pasal 122 yang melarang kendaraan tidak bermotor untuk menggunakan jalur kendaraan bermotor saat telah tersedia jalur khusus kendaraan tidak bermotor serta Pasal 287 Ayat 1 yang melarang kendaraan bermotor untuk melanggar marka jalan, seluruhnya menegaskan bahwa setiap pengguna moda transportasi baik bermotor maupun tidak bermotor harus menggunakan jalur yang telah ditentukan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan bersama.
Selain itu, terdapat pula aturan yang menentukan batas atas kecepatan, yakni 25 kilometer per jam bagi sepeda (sesuai aturan Dinas Perhubungan DKI Jakarta merujuk Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020), hingga anjuran untuk mematuhi rambu dan alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) serta larangan berkendara dengan berjajar lebih dari dua sepeda (Peraturan Menteri Perhubungan No 59/2020).
Jika pesepeda balap memilih untuk menggunakan ruang jalan, sebagai bagian dari pengguna jalan dengan kedudukan yang sama di mata hukum, wajib untuk menaati peraturan-peraturan tersebut.
Faela menambahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kebutuhan pesepeda balap dan aturan dalam penggunaan ruang jalan yang ada. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta kemudian berinisiatif menjadikan JLNT Tanah Abang-Kampung Melayu sebagai jalur khusus pengguna road bike pada hari Minggu dan memberikan izin bagi mereka untuk berada di luar jalur sepeda khusus di hari kerja pada pukul 05.00-06.30.
Kebijakan penggunaan JLNT sebagai ruang publik perlu dilengkapi dengan sejumlah mitigasi risiko kenyamanan dan keselamatan penggunanya, seperti pembagian lajur cepat dan lambat berdasarkan kecepatan sepeda, kemungkinan kecelakaan akibat kontur yang menanjak, serta komunikasi publik yang jelas menginformasikan aturan dan risiko penggunaan JLNT sebagai prasarana olahraga.
Bisa saja diskresi itu dipakai di JLNT Kampung Melayu, misal dengan cara yang sama reclaim the street for public space. Nanti tinggal diatur jalan sebelah kanan buat ngebut, jalan yang kiri untuk rekreasi berolahraga publik.
Meski begitu, untuk mengimplementasikan mitigasi ini, terutama perihal pembagian kecepatan, sangat sulit untuk diterapkan di JLNT. Berbeda dengan jalan biasa yang aktivitas selain lintasan pesepeda bisa dialihkan ke trotoar atau muka bangunan, pada JLNT kedua lajur tidak hanya harus dibagi untuk pesepeda cepat dan lambat, tetapi juga untuk menempatkan kendaraan evakuasi.
Faela berpandangan, daripada fokus pada penyediaan jalur khusus pesepeda balap di JLNT, lebih baik memperluas kawasan hari bebas kendaraan bermotor (HBKB). Hal ini karena dengan memperbanyak persebaran lokasi HBKB merupakan alternatif yang lebih inklusif dan bermanfaat bagi lebih banyak kelompok masyarakat.
Poetoet melanjutkan, selain akan melayangkan protes, B2W juga memikirkan dan merancang untuk mengajukan solusi bagi polemik tersebut. Jika alasannya untuk balap atau ngebut, Pemprov DKI Jakarta bisa memfasilitasi lokasi atau arena khusus sesuai bidangnya, misalnya sepeda BMX cross di Pulomas, trackbike di Velodrome, BMX flatland di bike park, juga MTB di taman kota.
Semua difasilitasi sesuai dengan jenis genre sepeda dan juga fungsinya. ”Siapa tahu akan tumbuh bakat baru dan atlet baru balap sepeda bagi Kota Jakarta. Kami mengusulkan kawasan khusus bukan jalan umum, seperti di kawasan pulau reklamasi PIK, JIExpo Kemayoran, atau Sentul,” kata Poetoet.
Yang jelas, kata Poetoet, semua pihak mesti belajar terhadap diskresi aturan jalan yang kemudian jadi peraturan daerah terkait HBKB Sudirman-Thamrin atau yang terkait seperti HBKB Antasari, peralihan fungsi jalan untuk ruang publik sebagai tempat berolahraga semua kalangan dan ajang warga bersosialisasi.
”Bisa saja diskresi itu dipakai di JLNT Kampung Melayu, misal dengan cara yang sama reclaim the street for public space. Nanti tinggal diatur jalan sebelah kanan buat ngebut, jalan yang kiri untuk rekreasi berolahraga publik,” katanya.
Meski begitu, penegakan hukum yang tegas, adil, dan penuh kesinambungan sebagai dasar tetap harus dilakukan. Dengan demikian, kota ini bisa tumbuh sebagai kota yang taat hukum demi kebaikan hidup bersama.