Menangani sindikat pencuri air tidak mudah. Mereka kadang lebih galak daripada petugas yang menertibkan praktik ilegal ini. Kekerasan kerap menimpa petugas di lapangan, yang berujung ancaman pada keselamatan mereka.
Oleh
Insan Alfajri / Dhanang David Aritonang / Irene Sarwindaningrum / andy Riza Hidayat
·2 menit baca
Ketika menelusuri kebutuhan air warga di RW 012 Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (7/5/2021), sejumlah warga meminta Kompas agar hati-hati dalam memilih narasumber. Mereka menyarankan Kompas lebih baik bertanya kepada ibu rumah tangga atau lelaki lansia.
”Di sini rawan, hati-hati kalau mau nanya. Jangan nanya kepada yang sebaya sama masnya. Jangan ke arah rel. Rawan,” celetuk salah seorang dari tiga warga perempuan yang berkumpul di sore itu.
Penasaran, Kompas mengarahkan sepeda motor ke rel kereta yang dimaksud. Rel ini berada sekitar 200 meter dari pos RW 012. Ketika melintas di rel, tampak sekelompok anak muda sedang bercengkerama. Salah seorang di antara mereka meminta Kompas berhenti. Merasa ada yang tak beres, Kompas langsung tancap gas dan meninggalkan tempat itu.
Agenda liputan di kawasan ini sebetulnya untuk mengetahui pemanfaatan air yang dijual dari bekas hidran umum. Berdasarkan informasi, sedikitnya ada dua bekas hidran umum yang masih eksis di tempat ini. Satu dikelola RW dan satunya lagi dikelola oleh pensiunan aparat.
Ketua Komite Independen Pelanggan Air Minum Jakarta Utara Jalaludin menyebut, sejumlah kawasan di Jakarta Utara, terutama di daerah yang diduga banyak terdapat kebocoran air PAM, memang dianggap ”angker” oleh sebagian kalangan. Kesan itu ditangkap setelah beberapa kali dia mengajak operator PAM (Aetra) untuk sosialisasi kepada warga dan memeriksa dugaan pencurian air yang terjadi.
Di tahun 2010, katanya, pernah ada karyawan operator PAM ditahan warga di Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Mereka ditahan hingga tengah malam lantaran air warga tak mengalir di tempat itu. ”Saya juga pernah menawarkan ke operator (Aetra) agar sosialisasi di tempat saya, di Priok. Mereka malah takut. ’Jangan Bang, nanti kami enggak bisa pulang.’ Ah, kacangan juga, ” kata Jalaludin.
Kedo, pensiunan pekerja harian PAM yang pernah direkrut oleh Koperasi Karyawan Aetra, mengungkapkan, pekerja harian sering bertemu ”orang tak waras ” di lapangan. Kedo pernah dikejar warga yang menggunakan celurit saat menyegel meteran di salah satu tempat di Jakarta Utara. Dia juga pernah disekap warga di dalam rumah. ”Padahal, saya juga orang Priok (Jakarta Utara), ” ujarnya.
Menurut Manajer Commercial Lost Handling Palyja Rapris Ulisaut Simanjuntak, ancaman dan resistensi warga seakan sudah menjadi makanan sehari-hari timnya. Anggotanya pernah disekap karena menginvestigasi ketidakberesan meteran air milik seorang advokat. Bahkan, dulu anggotanya pernah ditabrak preman ketika menertibkan sambungan ilegal di Kalijodo.