PN Jakarta Pusat Tunda Sidang Putusan Gugatan Pencemaran Udara
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunda sidang putusan gugatan warga negara atas pencemaran udara di DKI Jakarta. Penggugat menyayangkan berlarutnya persidangan yang sebelumnya juga sempat dibatalkan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menunda sidang putusan gugatan warga negara atas pencemaran udara di DKI Jakarta yang direncanakan digelar hari ini, Kamis (10/6/2021).
Sidang gugatan pencemaran udara dari Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) dengan nomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst, pada pagi hari ini, hanya berlangsung kurang dari 5 menit. Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri mengatakan, sidang ditunda karena banyaknya materi kasus untuk dipelajari dan dirundingkan putusannya.
”Mohon dimaklumi, hari ini putusan belum bisa kami bacakan. Kami sepakat untuk menunda keputusan dua minggu ke depan (24 Juni). Mohon maaf, dengan alasan yang kami sampaikan tadi, putusan belum bisa kami bacakan,” ujar hakim ketua di ruang sidang.
Sidang hari ini dilakukan, setelah rencana pembacaan putusan yang sempat dijadwalkan pada 20 Mei lalu dibatalkan. Rencana sidang putusan yang ditunda beberapa kali itu pun dipertanyakan para penggugat, termasuk Ayu Eza Tiara, kuasa hukum dari 32 penggugat.
Penundaan yang berlarut, menurut Ayu, bukanlah hal yang bisa dianggap wajar. Proses peradilan, menurut dia, harus sesuai asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
”Kami sangat berharap ke depannya majelis hakim tidak lagi mengulur-ulur waktu agar ada kepastian bagi para pencari keadilan, khususnya terhadap kasus gugatan 32 warga negara yang telah kami ajukan sejak 4 Juli 2019. Kami juga masih sangat mengharapkan majelis hakim dapat mengabulkan seluruh tuntutan dari para penggugat,” kata Ayu.
Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menduga ada perdebatan yang alot di antara majelis hakim tentang apakah akan berpihak terhadap lingkungan hidup yang sehat atau tetap membiarkan warga Jakarta menghirup udara yang tercemar polusi.
”Putusan majelis hakim sangat ditunggu warga untuk memastikan masa depan kualitas udara yang kita hirup di Jakarta,” ujarnya.
Berdasar rilis Greenpeace Indonesia hari ini, yang mengutip laporan Greenpeace Asia Tenggara, analisis data satelit menunjukkan polusi udara jenis nitrogen dioksida (NO2) telah pulih di sejumlah kota di dunia, termasuk di Jakarta.
Berdasarkan laporan, pemberlakuan pembatasan mobilitas di berbagai belahan dunia, termasuk di Jakarta, di awal pandemi Covid-19, menurunkan polisi udara dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Analisis memperlihatkan polusi udara NO2 turun sekitar 30 persen pada April 2020, dibandingkan rata-rata pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, polusi kembali naik pada April 2021 hingga 28 persen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa faktor penyumbang emisi lebih berperan besar ketimbang faktor cuaca.
Yuyun Ismawati, salah seorang penggugat, menimpali, para ahli menyatakan ada lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di Jakarta tahun 2010. Perkiraan beban biaya perawatan medis dari kasus-kasus penyakit tidak menular akibat polusi udara pada 2020 bisa mencapai Rp 60,8 triliun.
”Penundaan putusan gugatan berdampak pada peningkatan beban biaya kesehatan. Semakin lama putusan ditunda, implementasi kebijakan perbaikan kualitas udara juga tertunda, dan konsekuensinya biaya kesehatan juga akan terus meningkat,” tuturnya.