Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, meningkatkan kesadaran dan kepedulian akan lingkungan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat perkotaan di Indonesia.
Oleh
Agustina Purwanti (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Masuknya tiga kota metropolitan di Indonesia sebagai kota paling terdampak bahaya lingkungan menjadi alarm bahwa meningkatkan kesadaran dan kepedulian akan keberlanjutan lingkungan mendesak dilakukan.
Menurut laporan Verisk Maplecroft, perusahaan konsultan asal Inggris, Jakarta menjadi kota yang paling berisiko akan bahaya lingkungan. Risiko itu merupakan kombinasi dari polusi udara, pasokan air menipis, tekanan suhu, dan kerentanan terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan penilaian, Jakarta masuk dalam kelompok merah atau kategori ekstrem bersama dengan Delhi, kota di India yang menduduki posisi kedua. Selain Jakarta, kota Surabaya dan Bandung turut masuk dalam 10 besar kota terdampak bahaya lingkungan itu. Laporan yang dirilis pada 12 Mei 2021 tersebut mencatat, Surabaya menduduki posisi keempat, sementara Bandung berada di posisi kedelapan.
Sebagai ibu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi, polusi udara yang merupakan salah satu dimensi penilaian sudah menjadi persoalan laten bagi Jakarta. Tahun 2017, merujuk catatan Greenpeace Indonesia, stasiun pemantauan udara milik kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan menunjukkan, hanya 14 hari kualitas udara di Jakarta masuk kategori ”baik” sepanjang Januari hingga September 2017. Bahkan, di tahun 2019 hanya 10 hari udara sehat tercatat di Jakarta, berdasar parameter kadar debu partikulat (PM 2,5).
Timbunan sampah
Bagi ketiga kota metropolitan tersebut, hal lain yang membahayakan bagi keberlangsungan lingkungan hidup adalah persoalan sampah. Sampah yang kian menumpuk secara tidak langsung berdampak pada kelangkaan air bersih dan polusi udara, yang berujung pada perubahan iklim.
Merujuk Statistik Lingkungan Hidup 2020 yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS), ketiga kota tersebut juga masuk dalam kategori 10 besar produsen sampah terbanyak, dari 34 kota yang dicatat. Lagi-lagi Jakarta berada di urutan pertama, dengan produksi sampah sebanyak 8.291,81 ton per hari pada 2019.
Hanya 92,9 persen sampah di Jakarta yang terangkut setiap harinya, sementara hanya sekitar tiga perempat sampah di Surabaya dan Bandung yang berhasil diangkut.
Hal itu tak lepas dari tingginya jumlah penduduk yang tinggal di Ibu Kota. Menurut Survei Penduduk tahun 2020, jumlah penduduk Jakarta sebanyak 10,56 juta orang. Tak heran jika sampah yang dihasilkan pun sangat besar.
Sementara Surabaya berada di urutan keempat dengan produksi sampah sebanyak 2.223,90 ton per hari, sedangkan Bandung di urutan keenam dengan 1.736 ton sampah setiap harinya. Jumlah tersebut 7,8 persen lebih banyak dibandingkan tahun 2018.
Sayangnya, sampah yang dihasilkan tersebut tidak semuanya terangkut truk sampah. Hanya 92,9 persen sampah di Jakarta yang terangkut setiap harinya, sementara hanya sekitar tiga perempat sampah di Surabaya dan Bandung yang berhasil diangkut.
Minimnya fasilitas seperti truk sampah, gerobak sampah, dan tempat pembuangan sampah (TPS) menjadi penyebabnya. Dengan produksi sampah sebanyak seperempat dari sampah di Jakarta, sarana kebersihan yang dimiliki semestinya pada proporsi yang sama.
Namun, kepemilikan sarana kebersihan di Kota Surabaya dan Kota Bandung hanya 5 persen dari yang dimiliki Jakarta. Truk sampah, misalnya, Jakarta memiliki sebanyak 2.062 di tahun 2019, sementara Surabaya hanya 173 truk sampah dan hanya ada 105 yang tersedia di Bandung.
Ketidakpedulian Lingkungan
Kondisi tersebut kian diperparah dengan perilaku pengelolaan sampah yang tidak ramah lingkungan. Dalam Laporan Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup tahun 2018 disebutkan, lebih dari separuh responden (53 persen) membakar sampah yang menumpuk. Hal tersebut berujung pada kualitas udara yang memburuk karena asap yang ditimbulkan.
Alih-alih membuang sampah ke TPS atau mendaur ulang, sekitar sepersepuluh responden membuang sampah ke sungai atau saluran air lainnya, bahkan mengubur atau membuang sembarangan. Perilaku tersebut berdampak pada tercemarnya air maupun tanah yang berujung pada menipisnya pasokan air bersih.
Pilihan sikap tersebut juga mengindikasikan masih tingginya ketidakpedulian masyarakat akan lingkungan. Hal tersebut tecermin dari nilai indeks perilaku ketidakpedulian lingkungan hidup (IPKLH) Indonesia pada 2017 sebesar 0,51.
Dimensi pengelolaan sampah mencatat nilai indeks yang paling tinggi, yakni 0,72, di mana semakin mendekati nilai satu (1) maka tingkat ketidakpedulian lingkungan makin tinggi. Tiga dimensi lainnya yang turut diukur adalah penggunaan transportasi pribadi (0,71), penghematan air (0,44), dan pengelolaan energi (0,16).
Dari 34 provinsi, Jawa Barat dan Jawa Timur masuk lima besar provinsi dengan IPKLH tertinggi, yakni 0,54 dan 0,53, di atas rata-rata nasional. Artinya, Bandung dan Surabaya menjadi bagian dari kelompok tersebut, sementara nilai IPKLH DKI Jakarta sama dengan rata-rata nasional.
Fakta terbaru bahwa masyarakat Indonesia masih tergolong abai terhadap isu lingkungan juga dicatat dalam laporan Verisk Maplecroft. Dari 12 negara yang disurvei, kesadaran masyarakat Indonesia akan perubahan iklim sebagai masalah utama masih sangat rendah, yakni 33 persen. Hal tersebut membawa Indonesia menduduki posisi terendah kedua setelah Afrika Selatan.
Beragam fakta tersebut menunjukkan bahwa meningkatkan kesadaran dan kepedulian akan lingkungan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat. Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, restorasi ekosistem yang diangkat menjadi tema perayaan ke-47 tahun ini mestinya turut dikerjakan.
Upaya pemulihan tersebut dapat dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi tekanan bagi alam. Salah satu caranya dengan mengelola sampah dengan baik. Aksi kecil restorasi lingkungan akan memberi ruang bagi alam untuk pulih.