Bima Arya: Kota Bogor Memiliki DNA Toleransi dan Akar Kuat Keberagaman
Negara ini tidak dibangun atas nama amarah, tetapi dibangun melalui solidaritas, cinta kasih, dan kebersamaan. Dari sejarah, tokoh muda dari latar belakang berbeda memiliki peran besar membangun negara ini.
Oleh
AGUIDO ADRI
·6 menit baca
Di tengah isu intoleransi dan narasi kebencian, Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, berkomitmen menjaga toleransi, kerukunan umat beragama dan suku bangsa. Untuk itu Pemkot Bogor terus bergerak untuk mewujudkan persatuan, mulai dari ruang dialog, kegiatan kebudayaan, hingga memasukkan nomenklatur kerukunan toleransi dan perdamaian ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, pemerintah memiliki peran penting untuk membuka dan membangun ruang dialog, komunikasi, dan kolaborasi yang melibatkan semua elemen. Itu menjadi kunci dalam kehidupan bertoleransi. Ruang-ruang itu untuk menjadi kuat untuk merawat nilai toleransi dan keberagaman yang sudah diwariskan di Kota Bogor melalui jejak sejarah dan kebudayaan masa lalu.
Keterbukaan ruang itu, menurut Bima, harus berjalan karena pemerintah tidak bisa menjadi penjaga tunggal. Oleh karena itu, Pemkot Bogor menggandeng dan berkolaborasi bersama Forum Kerukunan Umat Beragama, badan sosial lintas agama, komunitas kepemudaan dan keagamaan, Asia Foundation, Universitas Paramadina, Komnas HAM, dan Setara Institute, dan lainnya.
Penghormatan kepada keyakinan lain itu bisa dilakukan tanpa mengurangi keimanan kita. Jadi, hari ini kita semestinya mengurangi, bahkan menghilangkan perdebatan soal ucapan, kunjungan, dan lainnya. (Bima Arya)
Ruang dialog ini juga sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan kebersamaan, keberagamaan, dan toleransi hingga ke akar rumput. Pesan dan nilai-nilai itu harus selalu disampaikan secara konsisten tidak hanya melalui pesan saat acara keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Bima pun tak sungkan untuk masuk ke rumah-rumah ibadah saat perayaan besar keagamaan. Meski menimbulkan pro-kontra, kedatangan ingin memberikan pesan kerukunan dan kebersamaan.
”Penghormatan kepada keyakinan lain itu bisa dilakukan tanpa mengurangi keimanan kita. Jadi, hari ini kita semestinya mengurangi, bahkan menghilangkan perdebatan soal ucapan, kunjungan, dan lainnya. Seharusnya kita sudah melewati itu karena founding father kita, pendiri bangsa, dan tokoh besar sudah memberikan dan menunjukkan pesan yang luar biasa terkait persatuan,” kata Bima, Rabu (2/6/2021).
Untuk menguatkan pesan dan nilai-nilai itu, tambah Bima, juga perlu ada langkah atau aturan kebijakan dari pemerintah. Pemkot Bogor pun memasukkan nomenklatur kerukunan toleransi dan perdamaian ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2019-2024.
Bima menjelaskan, dalam RPJM harus mencantumkan kata sakti, yaitu ’kebersamaan dalam keberagaman’. Semua dinas harus membawa roh keberagaman itu dalam tugasnya dan kata sakti itu sampai ke masyarakat.
”Seperti di satuan Dinas Pendidikan, muatan roh kebersamaan dan keberagaman harus sampai kepada siswa. Ini penting karena terkait pendidikan membangun karakter. Makanya saya titip ada muatan lokal, konten lokalitas kebudayaan untuk memperkuat pemahaman para murid tentang nilai keberagaman dan toleransi. Kita pun punya latihan character building untuk siswa-siswi. Ada pula beasiswa yang diselipi nilai itu tadi,” jelasnya.
Selain di Dinas Pendidikan, lanjut Bima, dalam pelayanan publik, contohnya, tidak boleh ada diskriminasi, minoritas atau mayoritas, tidak boleh ada keberpihakan, semua hak dan kedudukan sama, termasuk izin pendirian rumah ibadah dan lainnya.
Berdasarkan laporan Setara Institute pada 2020, sebanyak 86 persen dari 94 kota di Indonesia belum memiliki RPJM yang inklusif memayungi aspek toleransi dan kerukunan.
Ditemukan pula 61,7 persen kota masih memiliki kebijakan diskriminatif. Sebagian dari regulasi yang diskriminatif merupakan kebijakan turunan dari provinsi. Data itu menunjukkan peraturan serta tindakan dan ujaran pejabat publik memiliki peran penting dalam upaya menghadirkan ekosistem yang toleran.
Untuk semakin menguatkan persatuan dan menjaga semangat toleransi, Pemkot Bogor pun menggelar berbagai festival kebudayaan, festival Merah Putih, dan berbagai agenda keagamaan lainnya. Acara itu bertujuan agar warga semakin merangkul dan menunjukkan sejarah panjang kehidupan toleransi yang tumbuh sejak lama.
”Dan inilah Bogor yang memiliki DNA toleransi dan akar kuat keberagaman dalam persatuan antar-umat dan suku bangsa,” ujar Bima.
Penyelesaian GKI Yasmin
Terkait kasus GKI Yasmin, Bima menyebutkan, upaya dialog terbuka terus berlangsung sejak dua tahun lalu dan sudah ada titik balik penyelesaian. Melalui tim 7 yang dibentuk pihak Sinode dan GKI Yasmin untuk bersama berkomunikasi dengan Pemkot Bogor dihasilkan titik temu.
”Saya ingin sampaikan, penyelesaian GKI Yasmin sudah di ujung. Dalam hitungan hari, saya bersama GKI Yasmin dan Sinode akan menyampaikan perkembangan penyelesaian gereja GKI Yasmin yang insya Allah tuntas,” lanjut Bima.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo mengatakan, kedudukan penghayat kepercayaan setara dengan umat beragama. Artinya, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan seharusnya tidak terjadi karena mereka dilindungi negara. Ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
”Orang yang menghayati Pancasila akan menghargai perbedaan agama dan keyakinan. Esensi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengakuan terhadap Sang Khalik yang diaplikasikan dengan welas asih atau ketuhanan yang memanusiakan manusia,” kata Benny (Kompas.id, 2/6/2021).
Menurut Benny, sikap tenggang rasa dan menghargai perbedaan kini kendur. Dominasi kelompok mayoritas terhadap minoritas masih kerap terjadi. Padahal, toleransi adalah salah satu bentuk penghayatan Pancasila.
”Pancasila belum menjadi habituasi masyarakat sehingga (mereka) kerap menghakimi orang yang keyakinannya berbeda. Ini mengapa internalisasi nilai Pancasila penting ditanamkan sejak dini,” ucapnya.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, ruang perjumpaan umat beragama dan penghayat kepercayaan perlu diperbanyak. Hal ini diyakini bisa membangun toleransi di masyarakat.
Secara kelembagaan, seharusnya ini kewenangan Kementerian Agama. Ada kesan bahwa rekognisi dari negara masih setengah hati.
Menumbuhkan toleransi juga butuh peran pemimpin daerah dan tokoh masyarakat. Keberpihakan mereka terhadap penghayat kepercayaan yang setara dengan warga negara lain diyakini jadi dukungan sosial bagi penghayat.
”Hal lain yang tidak kalah penting adalah memastikan penanganan serius ke kelompok intoleran. Jika tidak, intoleransi akan menjalar (di masyarakat),” ucap Halili.
Halili melanjutkan, putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan. Itu sekaligus jaminan pemerintah agar penghayat kepercayaan bisa mengakses haknya sebagai warga negara.
Meski demikian, pengakuan ini dinilai belum optimal karena urusan penghayat kepercayaan masih sekadar ditangani Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. ”Secara kelembagaan, seharusnya ini kewenangan Kementerian Agama. Ada kesan bahwa rekognisi dari negara masih setengah hati,” ucap Halili.
Di momen Hari Lahir Pancasila, Bima berpesan, semua elemen, khususnya generasi muda, harus belajar dari sejarah bahwa harga yang paling utama adalah persatuan. Persatuan yang diperjuangkan oleh para pejuang, tokoh muda, dan para pemimpin harus dipertahankan dan diperjuangkan di tengah isu intoleransi, ujaran kebencian, dan semua hal yang bisa memecah kesatuan bangsa.
”Kita harus berpikir jauh. Ucapan dan postingan kita di media sosial menentukan apakah mengoyak atau menguatkan persatuan. Kita butuh anak muda dengan berbagai karyanya untuk membangun bangsa lebih kuat. Anak muda yang memberikan semangat persatuan dari karya dan postingan positif di media sosial,” kata Bima.
Tidak hanya generasi muda, ujar Bima, hal ini juga berlaku bagi pemangku kebijakan atau pejabat agar juga memiliki tanggung jawab. Tidak bisa dimungkiri, perpecahan dan konflik justru dipicu oleh tokoh demi kepentingan politik.
”Negara ini tidak dibangun atas nama amarah, tetapi dibangun melalui solidaritas, cinta kasih, dan kebersamaan. Dari sejarah kita, tokoh muda memiliki peran besar membangun negara ini. Tokoh muda dari latar belakang berbeda bersatu, bersepakat, berjuang, untuk kesatuan dan keberagaman sehingga bisa bersatu seperti ini,” lanjutnya.