Bareskrim Ungkap Obligasi ”Dragon” Palsu, Rugikan Korbannya hingga Rp 3 Miliar
Investasi obligasi palsu yang ditawarkan dengan nama obligasi ”Dragon” merugikan para nasabahnya. Tiga orang yang menjadi korban penipuan itu mengaku mengalami kerugian hingga Rp 3 miliar.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Reserse Kriminal Polri mengungkap penipuan berdalih investasi obligasi palsu yang telah berlangsung selama tiga tahun terakhir. Setidaknya tiga korban penipuan ini mengalami kerugian hingga Rp 3 miliar.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (2/6/2021), menjelaskan, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengungkap penipuan dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berkedok investasi obligasi palsu. Perkara ini berasal dari laporan tiga korban pada 16 Mei 2021. Ketiganya mengaku telah dirugikan selama tiga tahun terakhir.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Polri Brigadir Jenderal (Pol) Helmy Santika melanjutkan, ketiga korban diiming-imingi investasi obligasi yang diterbitkan di China. Mereka mengenalnya dengan nama obligasi ”Dragon”.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Helmy Santika melanjutkan, ketiga korban diiming-imingi investasi obligasi yang diterbitkan di China. Mereka mengenalnya dengan nama obligasi ”Dragon”. Dalam jangka waktu tertentu, surat utang itu bisa dicairkan, nilainya setara dengan Rp 100 miliar.
Untuk bisa mencairkan instrumen investasi tersebut, para korban diminta menyetorkan uang secara bertahap untuk keperluan administrasi. ”Dari sejumlah uang yang disetorkan kepada pelaku, total kerugian dari para korban sekitar Rp 3 miliar,” kata Helmy.
Helmy mengatakan telah menangkap dua tersangka dalam perkara ini, yaitu AM dan JM. Keduanya sudah beraksi sejak 2019 di Jakarta; Cirebon, Jawa Barat; dan Tegal, Jawa Tengah. Adapun JM ditangkap di Tegal dan AM di Cirebon. Kini, mereka ditahan di Bareskrim Polri.
Dari para tersangka, polisi menyita 700 lembar obligasi yang nilainya bervariasi, mulai dari 1.000 dollar Hong Kong hingga 1 triliun dollar Hong Kong. Selain itu, dari kedua tersangka, polisi juga mendapatkan sejumlah uang yang diduga palsu, di antaranya 9.800 lembar uang pecahan 5.000 won Korea, 2.100 lembar uang pecahan 1 juta euro, dan 2.600 lembar uang pecahan 100 dollar AS.
Helmy mengatakan telah menangkap dua tersangka dalam perkara ini, yaitu AM dan JM. Keduanya sudah beraksi sejak 2019.
Selain obligasi dan sejumlah uang tersebut, kata Helmy, pihaknya juga menyita delapan mobil dan satu sepeda motor. Sejumlah kendaraan itu diduga merupakan pencucian uang hasil penipuan.
Oleh karena itu, JM dan AM dijerat pasal berlapis, antara lain Pasal 372 dan 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penggelapan dan penipuan. Mereka juga disangka melanggar Pasal 345 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 36 dan 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Kendati demikian, penyidikan belum tuntas. Penyidik masih mendalami asal sejumlah mata uang palsu serta adanya dugaan penggunaan uang hasil kejahatan untuk pembelian aset lain dan untuk membiayai tindak pidana lain.
Jejaring penipuan dengan dalih investasi obligasi ”Dragon” ini juga terus dicari karena korban diduga lebih dari tiga orang yang telah melapor tersebut. ”Penelusuran kami, kerugian dari korban-korban lainnya mencapai Rp 36 miliar,” kata Helmy.
Penelusuran aset
Menurut Helmy, penipuan yang dilakukan JM dan AM menambah jumlah penipuan berkedok investasi yang ditangani Bareskrim sejak akhir 2018. Tercatat sudah ada 16 kasus penipuan serupa. Selain penegakan hukum, polisi juga menelusuri aset hasil kejahatan.
”Kami menggunakan konsep penegakan hukum dan juga bagaimana pemanfaatan hukum itu bisa diperoleh oleh masyarakat melalui tracing asset sehingga pengembalian kerugian kepada para korban bisa maksimal,” kata Helmy.
Salah satu penelusuran aset yang sedang dilakukan Bareskrim adalah kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta yang terjadi pada periode 2012-2019. Aset yang ditelusuri bukan hanya atas nama korporasi, melainkan juga perorangan, di dalam dan luar negeri.
”Ada aset yang di Australia, Singapura, berbentuk vila, kapal pesiar, itu semua tengah kami verifikasi,” kata Helmy.
Verifikasi yang dimaksud terutama untuk membuktikan waktu perolehan dan cara mendapatkan aset. Hal itu membutuhkan waktu cukup lama sehingga membuat penyidikan perkara Indosurya terkesan lambat.
Selain itu, Bareskrim juga membuka kanal pengaduan bagi nasabah Indosurya. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 1.200 pengaduan sehingga total kerugian mencapai Rp 5 triliun.
Perkara Indosurya bermula dari 19 laporan dengan korban 29 orang. Kerugian mereka mencapai Rp 196 miliar. Atas laporan tersebut, telah ditetapkan tiga tersangka individu dan korporasi Indosurya sebagai tersangka lainnya. Barang bukti yang disita adalah rekening bank dengan simpanan Rp 29 miliar, 46 kendaraan, dan sejumlah dokumen pembukaan rekening.
Menurut Helmy, penyidikan sudah tuntas. Pihaknya akan menggelar perkara bersama para pengawas internal pada Kamis (3/6/2021). Menurut rencana, berkas perkara akan diserahkan ke Kejaksaan pada Jumat (4/6/2021).