Kebakaran Rugikan Pedagang Sepatu hingga Buku di Samping Terminal Pasar Senen
Kebakaran yang terjadi di Jalan Pasar Senen, Jakarta Pusat, merugikan belasan pedagang buku dan pedagang kecil. Mereka pun meratapi musibah di tengah sepinya penjualan selama pandemi Covid-19.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran yang terjadi di area penampungan pedagang samping Terminal Pasar Senen, Jakarta Pusat, merugikan belasan pedagang buku dan pedagang kecil lainnya. Mereka pun meratapi musibah di tengah sepinya penjualan, terutama selama pandemi.
Selasa (18/5/2021) sekitar pukul 21.30 WIB, api tiba-tiba muncul dari belakang kios-kios dagang di pinggir Jalan Pasar Senen dan pintu masuk Terminal Senen. Edward Sihombing (64), pedagang sepatu yang menjadi korban sekaligus saksi, menuturkan, api tiba-tiba muncul dengan cepat saat ia dan beberapa pedagang sedang mengobrol dan bermain catur.
”Ada orang yang melihat api dari belakang toko kami. Apinya ternyata sudah tinggi dan dalam hitungan detik langsung menjalar ke toko saya di pinggir jalan ini,” ujarnya saat ditemui di lokasi kejadian, Rabu (19/5/2021).
Ada orang yang melihat api dari belakang toko kami.
Sekitar 800 pasang sepatu bernilai ratusan juta rupiah yang menjadi dagangan Edward pun tidak sempat diselamatkan. Demikian juga dengan empat kios lainnya yang menjajakan kembang plastik, topi, dan minuman. Belasan kios buku yang berada di sisi terminal dan sudah tutup sejak pukul 18.00 juga ikut terbakar walaupun hanya sebagian.
Ia bersama pedagang yang lain segera mencoba memadamkan api dengan air seadanya, hingga 18 unit mobil pemadam kebaran mendatangi lokasi. Pria yang sudah berjualan di lokasi tersebut sejak tahun 1990-an tidak mengetahui penyebab api tersebut muncul. Setahunya, tidak ada orang di empat kios yang ludes tersebut.
”Saya sudah lama berjualan di sini walaupun yang beli semakin sepi. Belakangan, kami memang diingatkan pengelola untuk pindah sebelum Lebaran. Tapi, kami masih bertahan di sini karena kami tidak dikasih tempat penampungan,” tuturnya.
Sementara itu, Tim Penguji Penyebab Kebakaran Laboratorium Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta masih menginvestigasi penyebab kebaran. Salah satu anggota tim, Nurul Hadi, mengatakan, pihaknya telah mengecek sampel kabel dan memfoto lokasi kejadian. ”Dugaan sementara korsleting listrik,” katanya di tempat kejadian perkara, siang ini.
Kepala Sektor Damkar Kemayoran Unggul sebelumnya menyampaikan, tim pemadam kebaran bisa dengan cepat memadamkan api dengan bantuan 18 unit mobil pemadam kebakaran dan 108 personel.
”Tidak ada kesulitan yang berarti. Namun, karena ada kios berisi buku yang tutup, jadi kami harus maksimal untuk memadamkannya sehingga tidak ada api yang menyala kembali. Asapnya yang banyak,” ujarnya.
Untuk mencegah api merambat ke toko buku lain, pemadam kebaran sempat menjebol salah satu kios buku nomor 57. Hendra, pemilik toko tersebut, memperkirakan hanya ada 20 persen buku yang masih bisa diselamatkan.
”Kemungkinan cuma 20 persen aja. Kerugiannya bisa sampai Rp 100 juta karena saya banyak menjual buku-buku untuk perkuliahan yang original,” kata pria yang sudah berdagang sejak tahun 2002 di Pasar Senen.
Bukan hanya Edward, Hendra pun meratapi musibah yang semakin memukul usahanya yang semakin sepi karena pandemi.
Tidak ternilai
Naomi, istri pemilik salah satu toko buku pelajaran yang ikut terdampak kebakaran, masih mencoba menyisir buku-buku yang masih bisa diselamatkan. Ia mengatakan, musibah yang baru pertama kali terjadi ini sangat memukul usaha suaminya yang telah puluhan tahun berdagang.
”Penjualan buku sekarang lagi sepi. Apalagi sejak sekolah enggak dibuka selama pandemi, jarang anak sekolah beli buku pelajaran di sini,” ujar warga Pulo Gadung tersebut.
Adapun Abdulrahman (66) pasrah melihat buku-buku yang seluruhnya hampir tidak bisa diselamatkan dari kios nomor 59. Pria yang sudah menjual buku di Pasar Senen sejak tahun 1980-an itu menyarangkan buku-buku tua dan langka yang banyak ia jual.
”Di sini banyak koleksi buku langka yang tidak ternilai harganya, seperti buku sejarah Indonesia di zaman perjuangan terbitan tahun 1920 atau buku-buku pengetahuan lain yang penerbitnya sudah enggak ada. Harapannya, 80 persen buku di sini laku terjual, tetapi malah habis semua,” katanya.
Ayah tiga anak tersebut pun menaksir kerugiannya mencapai puluhan juta rupiah, belum termasuk biaya sewa kios. Meski demikian, penyuka buku ini mengatakan, pengetahuan dari buku-buku yang ia jual tidak ternilai.
”Saya, sih, akan tetap jualan buku lagi setelah ini. Mulai dari nol lagi. Mungkin dari modal kecil, karena saya masih bisa beli buku-buku bekas. Jualan buku masih lumayan untuk tambah uang makan walaupun enggak bisa cepat,” tuturnya.