Nastar dan Kastengel Tak Tergeser dari Meja Orang Betawi
Hidangan kue lebaran seakan belum afdal jika tak ada nastar dan kastengel tersaji di atas meja. Bagi sebagian masyarakat Betawi, penganan dengan sentuhan budaya Eropa itu tak tergantikan.
Idul Fitri 1442 Hijriah baru akan dirayakan sepekan kemudian, meja tamu di rumah Asuroh yang akrab disapa Hajah Iyoh (64) telah ditata bak etalase kue. Warga Kampung Kemanggisan, Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat, itu sudah menyediakan berbagai jenis kue untuk menyambut tamu dan sebagian dikirim kepada anak-anaknya saat Lebaran pada 13 Mei 2021.
Berdiri enam stoples kaca beragam bentuk yang di dalamnya tersusun rapi berbagi jenis kue, seperti kue sagu, kue satu, putri salju, nastar, kastengel, serta biji ketapang. Semuanya diolah Iyoh selama lebih dari satu hari.
”Tadinya enggak mau bikin, tapi kagak enak juga kalau enggak bikin,” ucap pasangan Haji Kartono (67) itu. Membuat kue pada saat Lebaran sudah jadi kebiasaan baginya sejak puluhan tahun silam. Serasa ada yang kurang jika Lebaran dilewatkan tanpa kue kesukaan tersaji di atas meja.
Pada persiapan Lebaran tahun ini, Iyoh mengeluarkan biaya sekitar Rp 400.000 untuk membeli bahan kue. Hasilnya cukup untuk kebutuhan mereka. Putri salju dan kastengel, misalnya, masing-masing dua stoples, sedangkan kue nastar totalnya delapan stoples.
Nastar yang berbahan tepung terigu, gula halus, mentega, susu, kuning telur, dan isian selai nanas itu menjadi menu favorit keluarga besar Kartono-Iyoh. Sebanyak tujuh stoples akan dibagikan kepada tujuh anak mereka yang kini sudah berkeluarga. Iyoh selalu menyediakan kue itu bagi anak-anaknya sehingga mereka pun terbiasa menanti.
Kartono memuji, kue buatan istrinya itu lebih enak dibandingkan dengan kue yang pernah ia beli di pasar ataupun di toko. Menurut dia, kue dimaksud diolah dengan bahan adonan yang sengaja diefisienkan. ”Yang dari toko kurang gurih,” ujarnya memberi kesan rasa.
Baca juga : Gula dan Teh Dinanti Lebaran Berikutnya
Bermacam sensasi tersaji dalam butir-butir kue berdiameter 2,5 hingga 3 sentimeter itu. Kue buatan Iyoh renyah, tetapi tidak meninggalkan kelembutan. Juga diperkaya rasa gurih serta selai nanas dengan paduan rasa asam dan manis yang menambah sensasi. Belum selesai nastar dikunyah, ibu jari dan telunjuk sudah kompak mengambil sebutir lagi dari dalam stoples.
Kastengel buatan Iyoh pun menggugah selera dengan gurih khas keju. Kue-kue berbentuk balok ini dicetak dengan ketebalan 1,5 sentimeter serta panjang 3-4 sentimeter. Para penggemar kastengel biasanya memburu kue yang renyah, mudah hancur ketika digigit, dan gurihnya pas. Selain itu, mereka juga mendamba tekstur parutan keju kering hasil pemanggangan yang bisa dikecap oleh lidah.
Nastar dan kastengel merupakan pelafalan orang Indonesia terhadap nama asli makanan-makanan tersebut, yaitu ananas tart (tar nanas) serta kaas stengels (batang keju).
Iyoh mulai akrab hingga jatuh cinta pada nastar dan kastengel pada dekade 1980-an. Berbekal resep dari kawan-kawannya, ia berhasil mencoba dan kemudian rutin membuat kue-kue itu mulai 1995. Bagi dia, kue nastar dan kastengel tergolong modern.
”Pas kecil, enggak ada kue-kue beginian. Ibu itu bikinnya kue satu kacang ijo, kue putu kering, geplak bakar, uli, sama dodol,” kata Iyoh menyebutkan kudapan-kudapan tradisional. Kala itu, dodol Betawi jadi menu wajib di setiap meja hidangan rumah warga Betawi saat Lebaran, yang seiring waktu amat jarang disajikan.
Budaya Belanda
Kue nastar dan kastengel yang sudah sangat populer sebagai penganan hari raya itu sejatinya terpengaruh oleh budaya kuliner Belanda, bangsa yang pernah berkuasa di Tanah Air selama ratusan tahun. Nastar dan kastengel merupakan pelafalan orang Indonesia terhadap nama asli makanan-makanan tersebut, yaitu ananas tart (tar nanas) serta kaas stengels (batang keju).
Lantas, bagaimana bisa camilan yang tertular pamor kuliner ”Negeri Kincir Angin” itu kini jadi kudapan khas Lebaran, termasuk di rumah-rumah warga Betawi?
Sejarawan JJ Rizal menduga hal itu merupakan buah dari interaksi orang Betawi dengan orang Belanda atau Indo di era kolonial (Kompas, 14/10/2006). Indo merujuk pada keturunan hasil perkawinan antar-ras, biasanya antara Belanda dan pribumi. Istilah keren saat ini adalah blasteran.
Dalam buku Warisan Budaya Betawi (2000), Ridwan Saidi menjelaskan, pada masa penjajahan, orang kampung (Betawi) ikut mengapresiasi Kerstmis (Christmas atau Natal). Mereka datang ke rumah orang Indo, biasanya malam hari, memberi ucapan selamat, dan mereka dijamu tuan rumah. Salah satu jamuan adalah kue-kue tersebut.
Anak-anak di kampung juga senang dengan kehadiran Sinterklaas (dilafalkan Sinyo Kolas) yang membawa kantong berisi mainan. Mereka terkesan pula dengan pendamping Sinterklaas, yaitu Zwarte Piet atau Piet Si Hitam, yang berkebalikan dengan Sinterklaas. Piet membawa kantong yang diyakini sebagai wadah bagi anak-anak nakal. Orang kampung juga bertandang ke rumah warga Indo pada malam Tahun Baru.
Sebaliknya, sinyo ikut merayakan malam Lebaran dengan bermain petasan dan kumpul-kumpul di kampung. Pada saat Idul Fitri, toewan dan nyonya menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada tetangga-tetangga yang orang Betawi. Sinyo merupakan sebutan bagi anak atau pemuda dari kaum Indo, sedangkan mereka yang sudah cukup berumur dipanggil toewan besar atau menir untuk pria dan nyonya besar untuk perempuan.
Lebih lanjut Rizal mengatakan, kastengel yang ditemui saat Natal seperti di masa penjajahan dulu membuat orang Betawi mengenal dan turut menggemarinya. Bahkan, makanan khas perayaan Natal lainnya, nastar, juga jadi tambahan sajian ketika Lebaran.
Di luar itu, sejumlah kue khas Betawi juga terpengaruh budaya bangsa lain. Ia mencontohkan, kue satu yang berbahan tepung kacang hijau dan gula halus ”disumbang” oleh dapur orang China. Karena itu, ia memaknai kue-kue Lebaran, baik yang dinilai masyarakat tergolong tradisional maupun modern, sebagai simbol persaudaraan mengingat terdapat jejak pengaruh warisan budaya bangsa-bangsa lain.
Pemerhati budaya Betawi, Rachmad Sadeli (47), berpendapat, orang Betawi terbuka terhadap budaya bangsa lain asal tidak bertentangan dengan norma yang dipegang teguh. Contohnya, makanan yang memanjakan lidah akan populer di rumah-rumah warga Betawi asalkan halal menurut ajaran agama.
Penyediaan kue-kue orang Barat sebagai hidangan Lebaran pun bagi Rachmad juga kental dengan nuansa gotong royong, sebagaimana yang menjadi jati diri orang Indonesia. Ia mengenang, sewaktu kecil dirinya ikut membantu ibunya membuat kue seusai shalat Subuh. ”Misal, dulu naruhin cengkeh ke nastar, saya yang naruhin, kemudian mengoleskan telur supaya kuningnya dapet,” ucapnya.
Sajian kue Lebaran tak hanya melambangkan akulturasi budaya sebagaimana di dalam adonan nastar dan kastengel. Di luar itu, ada semangat gotong royong yang melekat pada setiap potongannya.
Di era sebelumnya, gotong royong persiapan Lebaran dalam masyarakat Betawi pun tampak pada pembuatan dodol. Yahya Andi Saputra dan kawan-kawan lewat buku Siklus Betawi: Upacara dan Adat Istiadat (2000) menulis, persiapan itu mulai terasa seminggu sebelum Idul Fitri, termasuk pembuatan dodol. Proses pengolahannya yang memakan waktu dua hari dua malam ramai terdengar di permukiman penduduk.
Perempuan bekerja membuat adonan, sedangkan laki-laki kebagian tugas yang membutuhkan kekuatan fisik lebih besar, yakni mengaduk adonan dodol di kawa (semacam penggorengan besar). Ini kental dengan nuansa kerja sama.
Sajian kue Lebaran tak hanya melambangkan akulturasi budaya sebagaimana di dalam adonan nastar dan kastengel. Di luar itu, ada semangat gotong royong yang melekat pada setiap potongannya.
Baca juga : Kedua Kalinya Lebaran di Tengah Pandemi, Berikut Kisahnya dari Penjuru Nusantara