Kebijakan larangan mudik tak menghalangi untuk mencicipi ”cita rasa” kampung halaman lewat beragam makanan khas yang lezat menggoda.
Oleh
Yola Sastra/Emanuel Edi Saputra/Saiful Rijal Yunus
·4 menit baca
Kawasan perkotaan di mana pun berada identik dengan penduduk dengan beragam latar belakang, termasuk berbeda-beda asal-usul kampung halamannya. Meskipun telah bertahun-tahun, bahkan beranak cucu di suatu kota, keterkaitan emosi dengan daerah asal tetap kuat. Selain ditunjukkan dengan hubungan erat kekeluargaan, ikatan emosi itu terlihat dari kesukaan kita terhadap makanan dari daerah asal.
Di Jakarta, menikmati makanan khas dari Sabang sampai Merauke sudah terlihat sejak masa pandemi bergulir sekitar satu tahun silam, saat mudik mulai dilarang. Selain memasak sendiri, muncul tren layanan pesan antar berbagai jenis makanan, termasuk aneka masakan tradisional. Menjelang Lebaran seperti sekarang, pesanan gudeg Yogya, opor ayam lengkap dengan ketupat, rendang, seí sapi, ayam betutu, dan lainnya diyakini meningkat. Jajanan tradisional juga tak kalah diminati dan dipesan.
Namun, tak hanya warga Ibu Kota yang rindu masakan ”kampung”. Ini pula yang melatari Indriati (52) menyempatkan diri ke kantor JNE Agen Veteran, Kota Padang, Sumatera Barat. Ia mengirimkan paket ke kakak sulungnya di Bali. Paket berbobot 5 kilogram berisi penganan khas, seperti kue arai pinang, keripik sanjai, dan kue bawang.
Selain ditunjukkan dengan hubungan erat kekeluargaan, ikatan emosi itu terlihat dari kesukaan kita terhadap makanan dari daerah asal.
Kue tersebut sebagian dibelinya di tempat oleh-oleh. Sebagian lagi, seperti kue arai pinang dan kue bawang, ia buat sendiri. ”Dengan dikirimi kue khas Minang, mudah-mudahan kerinduan terhadap kampung halaman sedikit terobati,” kata Indriati, Senin (10/5/2021) pagi.
Hal yang sama dilakukan pula oleh Eli (49), warga Kecamatan Koto Tangah, Padang. Eli mengirimkan 3 kilogram kue arai pinang buatannya untuk putri kembarnya yang kuliah di Politeknik Pos Indonesia, Bandung, Jawa Barat. ”Sudah dua tahun mereka tidak bisa pulang akibat larangan mudik,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Nadia Khairani Nazar (23), mahasiswa Universitas Sebelas Maret di Solo, Jawa Tengah, masih beruntung telah sampai ke rumah kakaknya di Bandung. Meski demikian, tahun ini pengalaman pertama Nadia merayakan Idul Fitri tanpa ibu dan ayahnya di Padang. Ibu dan tante Nadia di Padang pun mengiriminya rendang, rabuang pensi, kerupuk jangek (kulit), keripik talas, dan opak.
”Senang bisa merasakan masakan rumah. Namun, obat rindu terbaik tentu bersua dengan mereka,” kata Nadia.
Kerupuk basah Kapuas Hulu
Lain di Padang, lain pula di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di Kabupaten Kapuas Hulu ada kerupuk basah. Yusri Darmadi, pamong budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalbar, menuturkan, kerupuk basah telah menjadi warisan budaya tak benda dari Kapuas Hulu tahun 2019.
Kerupuk basah terbuat dari daging ikan toman giling, tepung, air, telur, garam, lada, dan penyedap. Ikannya bisa dari berbagai jenis, bisa juga ikan tapah, lais atau baung. Bahan-bahan tersebut diadon kemudian dibentuk batang memanjang. Sebelum dihidangkan, kerupuk basah diiris berukuran kecil sehingga mudah disantap. Kerupuk basah dimakan dengan saus dari campuran kacang, cabai, bawang putih, dan cuka.
Terbayang sudah lezatnya. Terutama saat buka puasa, kerupuk basah adalah menu wajib bagi masyarakat setempat, terutama di pesisir Sungai Kapuas. Kerupuk basah turut dihidangkan saat Lebaran bersama ketupat ataupun opor.
”Bahkan, konsumen yang memesan biasanya hingga dari luar Kapuas Hulu. (Namun) Sejak mobilitas kendaraan umum terbatas permintaan mulai merosot,” ujar Ahmad (56), pembuat kerupuk basah dari Semitau, Kapuas Hulu, Selasa (11/5/2021).
Menjelang Lebaran biasanya pesanan kerupuk basah 500-1.000 batang per hari, tetapi kini hanya 100 batang per hari. Kalau ada pemesan dari luar, kini sulit dipenuhi karena selama larangan mudik ini tidak ada kendaraan umum untuk menitipkan paket kerupuk basah.
Sayur daun kedondong
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sahar (40) harus menahan diri setelah pemerintah mengeluarkan aturan larangan bepergian. Karyawan kontrak di salah satu badan usaha milik negara (BUMN) itu kembali harus berlebaran berpisah dengan istri dan anak di Muna.
Di Muna, selain keluarga terdekatnya, Sahar sungguh merindukan opor ayam, ketupat, dan lapa-lapa (terbuat dari beras). Lainnya yang teristimewa yaitu ayam kuah bening dengan campuran daun kedondong hutan yang menggoda selera.
”Orang bilang masak tawaloho. Tawaloho itu daun kedondong hutan. Ada sedikit asam dan kecut. Meresap sampai ke lambung,” katanya.
Masakan tawaloho tidak neko-neko. Daging ayam, biasanya ayam kampung, dipotong kecil. Setelah dibersihkan, potongan ayam dibumbui merica dan perasan jeruk nipis. Olahan ini lalu dimasukkan ke air mendidih. Setelah diberi penyedap rasa atau garam, ditambahkan daun kedondong hutan, dan beberapa tambahan seperti tomat atau daun bawang.
Tidak hanya daun kedondong hutan, sagu juga menjadi primadona di Sultra. Tepung sagu dibuat menjadi sinonggi. Caranya, sagu disiram air panas, lalu diaduk hingga merata dan mengental. Sinonggi disantap dengan ikan bakar dan sayuran. Olahan ini mirip dengan papeda di Papua atau kapurung di Sulawesi Selatan.
Ah, semoga Lebaran tahun depan kondisi sudah membaik dan menyantap makanan kesukaan bisa kembali dilakukan dengan berkumpul bersama keluarga besar. Untuk saat ini, ayo memasak sendiri dan pesan sebisanya. Nikmati Lebaran dengan hangat dan penuh syukur.