Kaum marjinal seperti pemulung dan penarik becak menyantap sahur dan berbuka puasa dengan menu seadanya. Lebaran nanti pun tak ada opor ayam, apalagi baju baru. Mereka selalu bersyukur dalam kesederhanaan.
Dengan cekatan, Sri Maryati (50) menggerakkan pisau lipat di tangannya, mengupas satu per satu botol plastik bekas di atas trotoar dekat Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis (29/4/2021) malam. Setelah membuang mereknya, ia langsung memasukkan ke dalam keranjang. Uang dari jasa membersihkan plastik itu menjadi bekal Sri menyiapkan menu sahur dan buka puasa untuk keluarganya esok hari.
”Sekarang tambah susah cari plastik. Dulu saya jual kopi, tapi kena razia tibum (petugas ketertiban umum). Karena butuh kasih makan anak tiga, saya ikut bos (pengepul) sampah cari botol plastik,” ucap perempuan asal Sragen, Jawa Tengah, itu.
Dalam semalam membersihkan botol plastik, ia dibayar paling banyak Rp 30.000. Uang itu ia sisihkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan tiga anaknya. Suaminya sudah meninggal. Mereka kini tinggal di rumah kontrakan di Gang Kemandoran, Jakarta Selatan.
Pendapatannya sehari-hari tidak hanya untuk membayar kontrakan dan makan. Ia juga membeli pulsa untuk anaknya paling kecil, yang kini duduk di kelas II SMP. Anaknya memerlukan kuota internet untuk belajar dari rumah selama pandemi Covid-19.
Dengan keterbatasan pendapatan itu, menjalani puasa ataupun tidak seperti hari-hari biasa hampir tak ada bedanya bagi Sri. Ia sudah terbiasa menahan lapar dan haus demi anak-anaknya. Bedanya, di saat Ramadhan, hal itu ia lakoni dengan niat puasa.
”Saya, sih, Lebaran ini pengin diberi sehat saja. Tidak minta yang muluk-muluk. Asal bisa kerja dan tidak sakit saja sudah senang. Maunya, sih, bisa pulang, tapi, kan, kebutuhan banyak. Diberi sehat saja sudah senang,” ujarnya.
Sri mengungkapkan kerinduannya pulang kampung, tetapi tertahan lantaran tak memiliki cukup tabungan. Ditambah lagi kebijakan larangan mudik dari pemerintah demi mencegah penularan Covid-19. ”Ibu saya masih sehat di kampung. Usianya 70 tahun. Pengin sekali pulang, tapi tidak punya uang buat pulang. Anak-anak juga butuh uang,” ucapnya.
Perjuangan perempuan kepala keluarga bukan hanya Sri. Ada juga Rini, pemulung sepuh yang masih terus menyusuri jalanan kota metropolitan Jakarta, berjuang menghidupi diri dan empat cucu yang masih belia.
Saya bersyukur masih bisa ngasih makan cucu-cucu. Saya enggak ngeluh sama Allah. (Rini)
Rini yang mengaku berusia 80 tahun itu mulai memulung setelah berbuka puasa. Setiap malam ia mendapatkan uang paling banyak Rp 35.000. Uang dipakai untuk membeli beras dan lauk seadanya. Jika hasil memulung tak seberapa, Rini hanya membeli dua butir telur kemudian dibagi berlima. Kendati dengan makanan seadanya, Rini masih tetap berpuasa selama Ramadhan ini.
Rini dan keempat cucunya sama sekali tidak tersentuh bantuan pemerintah. Tak ada bahan pokok, apalagi uang tunai. Mereka hanya berharap dari hasil memulung dan pemberian dermawan. Sesekali empat cucunya ikut memulung, dituntun cucu tertua yang berusia 12 tahun.
”Saya bersyukur masih bisa ngasih makan cucu-cucu. Saya enggak ngeluh sama Allah,” kata Rini, Senin (26/4/2021).
Di sudut lain Jakarta, raut mendung terpancar dari wajah Udin (65) saat tiba di samping tempat tinggalnya, sebuah gubuk berukuran 2 meter x 3 meter yang berdinding papan dengan atap terpal dan plastik. Setelah menurunkan karung dari pundaknya, ia menghela napas cukup dalam sambil bergumam kepada istri dan anaknya yang menyambutnya. Mereka tinggal di bantaran Kali Ciliwung, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat.
”Cuma dapat segini,” katanya sambil memperlihatkan tumpukan kardus dan botol bekas dari dalam karung yang jumlahnya tak seberapa. Bagi Udin, hasil memulung hari itu mengecewakan. Berusaha menguatkan hati Udin, sang istri membalas dengan senyuman. Wajah Udin yang semula tampak lelah mendadak semringah. Dia yang sebelumnya hendak duduk bergegas memilah-milah tumpukan barang itu.
Saban hari ia hanya mampu membawa pulang uang hingga Rp 40.000 setelah bekerja pagi, siang, dan malam. Sebelum pandemi, Udin mampu membawa pulang Rp 50.000 hanya dengan berkeliling pada siang dan malam. Uang yang seadanya mereka pakai untuk menyiapkan makanan berbuka dan sahur.
Perjuangan menyambung hidup juga dilakoni Idim Saputra (57), seorang penarik becak sekaligus koordinator Serikat Becak Jakarta Utara. Di tengah kondisi pandemi Covid-19, Ramadhan dan Lebaran kali ini harus dijalani dengan lebih sederhana. Tidak ada baju baru dan makanan berlimpah seperti kue dan opor ayam pada saat Lebaran nanti. Hanya kegembiraan kecil bersama keluarganya di rumah kontrakan.
Makna Lebaran
Di tengah kondisi itu, keluarga Sri, Rini, dan Udin selalu mendapat rezeki tak terduga. Terkadang ada saja dermawan yang memberi mereka makan dan uang. Mereka meyakini, kendati di tengah kondisi yang serba sulit ini, masih ada orang berhati mulia membantu orang miskin. Dunia ini tidak akan kekurangan orang baik.
Profesor riset di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ahmad Najib Burhani, mengatakan, ada banyak aspek dalam Lebaran bagi masyarakat Indonesia. Mudik atau pulang kampung adalah bagian kecil dari aspek sosiologis. Masa keprihatinan seperti sekarang ini membuat sejumlah kelompok masyarakat mengalami kesulitan ekonomi sehingga tidak mudik. Hal itu membuat aspek sosiologis tergerus.
Namun, ada aspek-aspek lain yang tidak bisa hilang dari Lebaran. Aspek spiritualitas, misalnya, saat Ramadhan, orang menilai itu sebagai waktu untuk menahan diri dari hawa nafsu sehingga diibaratkan sebagai kawah candradimuka untuk menjadi orang yang lebih baik saat Idul Fitri.
”Aspek lainnya, yakni teologis, Ramadhan mengajarkan orang untuk lebih memiliki kepedulian kepada orang lain, menjadi menghargai orang lain, dan berusaha menjadi orang yang lebih baik,” kata Najib menjelaskan.
Menurut Najib, kaum marjinal yang menjalani puasa serta merayakan Lebaran dengan sederhana boleh jadi sebagai peraih makna sejati. Mereka mengajarkan bahwa rasa syukur tidak boleh berhenti terucap kendati dalam kondisi apa pun.