Mereka yang Memaknai Lebaran dengan Kesederhanaan...
Kondisi pandemi Covid-19 membuat banyak kelompok masyarakat di Jakarta harus menjalani ujian lebih berat saat Ramadhan kali ini. Persiapan Lebaran 2021 pun dilakukan lebih sederhana, sembari tetap bersyukur.
Mengayuh hidup pada pedal becak adalah jalan yang harus ditempuh oleh Idim Saputra (57), salah seorang penarik becak sekaligus Koordinator Serikat Becak Jakarta Utara. Di tengah kondisi pandemi Covid-19, Ramadhan dan Lebaran kali ini harus dijalani dengan lebih sederhana. Tidak ada baju baru dan makanan berlimpah. Hanya kegembiraan kecil bersama keluarganya di rumah kontrakan.
Rabu (28/4/2021) siang yang terik, Idim dan sejumlah rekannya duduk di atas becak mereka, menunggu penumpang di suatu sudut di Jalan Lele. Jalan tempat mangkal para pengayuh becak itu berada di kawasan Teluk Gong, yang termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara.
Hari itu, panas tak terkira menyengat kulit. Jalan lengang saja dan tidak tampak ada calon penumpang menghampiri Idim ataupun rekannya, Yanto (50). Bersama mereka, ada lima becak lain yang berjajar tanpa si pengayuh.
”Para penariknya lagi pulang kampung gara-gara pendapatan turun selama Covid-19. Ada yang pulang ke Jawa Tengah, Jawa Timur, macam-macam, deh,” kata Idim menerangkan kondisi rekan-rekannya.
Sebagai Koordinator Serikat Becak Jakarta Utara, Idim memahami betul kondisi sulit yang dihadapi rekan-rekannya sesama penarik roda tiga. Sebelum Covid-19 menerpa Ibu Kota, para tukang becak di Jakut bisa memperoleh pendapatan harian yang lumayan, sekalipun di tengah kebijakan pengetatan pergerakan becak yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sejak 2007, becak secara resmi dilarang beroperasi di Jakarta. Namun, di sejumlah bagian di Jakarta, para penarik becak masih bisa ditemui dengan pergerakan yang terbatas. Di Kelurahan Pejagalan, misalnya, becak hanya bisa beroperasi di sekitar Teluk Gong dan menyeberang ke Kelurahan Kapuk di Cengkareng, Jakarta Barat. Jarak tempuhnya paling jauh adalah 2 kilometer.
Dengan pembatasan gerak itu, para penarik becak bersyukur masih bisa kebagian rezeki. Sebelum pandemi, mereka melayani pelanggan dan penumpang dengan berbagai tujuan. Pelanggan becak terbanyak adalah siswa sekolah dan ibu-ibu yang hendak berbelanja ke pasar. Setiap persimpangan jalan di Teluk Gong dipenuhi oleh becak yang berderet.
Di Teluk Gong saja ada pasar dan tujuh sekolah. Para penumpang dan pelanggan pun antre untuk naik kereta roda tiga tersebut. ”Pelanggan sampai antre. Pagi dari pukul 06.00 sampai pukul 08.00 saja satu orang bisa enam kali narik becak, sudah dapat Rp 60.000,” kenang Idim, yang asli Sukabumi, Jawa Barat, itu.
Kala itu, satu penarik becak bisa memperoleh pendapatan Rp 150.000-Rp 200.000 setiap hari. Rezeki yang lumayan itulah yang menjadi alasan banyak perantau datang ke Jakarta, untuk mencoba peruntungan sebagai tukang becak.
Hal ini pula yang menjadi alasan bagi Yanto, salah satu rekan Idim, meninggalkan kampung halamannya di Indramayu, Jabar. Keluarganya adalah buruh tani di persawahan. Menurut dia, tidak banyak kesempatan kerja di kampung.
”Sawah itu, kan, ramainya cuma waktu panen. Kalau pas bertani harian cukup dikerjakan sedikit orang. Daripada menganggur, saya ikut ayah mertua ke Jakarta dulu tahun 1995. Kebetulan dia penarik becak,” tutur Yanto yang meneruskan pekerjaan menarik becak setelah mertuanya meninggal dunia.
Baca juga: Balada Becak Jakarta
Uang hasil menarik becak ia kirim ke Indramayu untuk menghidupi keluarga. Yanto biasanya pulang kampung sebelum panen padi, yakni akhir April atau awal Mei untuk memperoleh penghasilan tambahan di sawah. Akan tetapi, sudah dua tahun ini ia tidak menginjakkan kaki di kampung halaman akibat larangan mudik demi mencegah penularan Covid-19. Yanto pun hanya bisa pasrah dan terus bekerja.
Tidak bisa pulang kampung juga dialami oleh Ali, warga Banyumas, Jawa Tengah. Istri dan anaknya menetap di sana, sementara Ali mengayuh becak di Teluk Gong sejak 2010. Semenjak pandemi, pendapatannya berkurang drastis. Bisa dapat Rp 50.000 sehari saja sudah bersyukur. Bahkan, terkadang ada hari-hari yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa.
Kesehariannya kian berat karena satu-satunya telepon genggam yang ia punya diberikan kepada anaknya demi memungkinkan siswa kelas II SD itu bisa melakukan pembelajaran jarak jauh. Setiap bulan, Ali mengirim uang kepada istri untuk biaya hidup dan biaya membeli pulsa agar anaknya bisa belajar. Jika kangen keluarga, ia meminjam telepon genggam tetangganya untuk berkomunikasi dengan keluarga di Banyumas.
Idim mengungkapkan, sejak pertengahan 2020, para penarik becak perlahan pulang kampung. Mereka melihat situasi di Jakut semakin sulit untuk mencari nafkah. Di Teluk Gong dan Kelurahan Kapuk, contohnya, dari 285 becak yang biasa beroperasi, kini tinggal 100 yang masih berjalan.
Idim merupakan koordinator penarik becak di 16 kelurahan di Jakarta Utara. Total ada 1.685 becak yang masuk ke dalam serikat tersebut. Kini, di setiap kelurahan, jumlah becak yang beroperasi berkisar 60 hingga 80 unit. Para penariknya memilih meninggalkan Jakarta demi mencari peruntungan di kampung halaman.
Ali, misalnya, sudah ingin meninggalkan Jakarta, tahun lalu. Ia ingin mencari pekerjaan lain di Banyumas. Jika pun tetap di Jakarta, ia ingin mencari pekerjaan dengan pendapatan yang lebih baik daripada menarik becak. Akan tetapi, lamarannya ke berbagai pabrik ataupun tempat usaha ditolak semua.
”Bos-bosnya bilang mereka terpaksa melepas pekerja yang sudah bertahun-tahun mengabdi karena perusahaannya hampir bangkrut gara-gara pandemi, enggak mungkin mereka merekrut pekerja baru. Mau melamar jadi ojol (ojek daring), enggak punya sepeda motor sama HP. Mau buka usaha, enggak punya modal. Ya sudah, tetap narik becak, deh,” tuturnya.
Baca juga: Becak Butuh Zonasi
Tak ada pilihan
Di dalam benak para perantauan penarik becak, seperti Ali dan Yanto, bulan puasa kali ini ujiannya lebih berat karena pandemi belum beringsut pergi. Lebaran yang ada di depan mata menyisakan kegundahan mengenai hari depan dan nasib keluarga di kampung. Belum lagi memikirkan baju Lebaran atau keperluan lain keluarga di kampung halaman, mereka harus memikirkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka di Jakarta.
Kalaupun ada uang yang dapat ditabung, Ali ataupun Yanto lebih mementingkan nasib keluarga di rumah. ”Dulu setiap bulan bisa nengokin anak istri. Sekarang saya udah tujuh bulan enggak ketemu mereka. Pilihannya kalau saya pulang kampung, duitnya habis untuk biaya perjalanan. Saya memilih mendingan tetap di Jakarta, tapi duitnya bisa dikirim ke kampung. Keluarga juga ikhlas mengerti kondisi sekarang,” ujar Ali.
Perjuangan berat juga dilakoni para pengamen ondel-ondel Jakarta. Di kampung ondel-ondel di Kelurahan Kramat, Senen, Jakarta Pusat, dua remaja pemeran ondel-ondel, Farhan dan Bima, yang sama-sama berusia 19 tahun, terlihat sibuk mengikat satu ondel-ondel laki-laki di atas sebuah bajaj.
Seperti biasa, mereka harus mengangkut boneka ondel-ondel itu ke tempat tujuan untuk memperoleh sejumput nasi. Setelah berhasil diikat di atas bajaj, mereka memasukkan gerobak yang berisi ember bekas cat untuk tempat uang saweran dan pelantang suara ke dalam bajaj. Kedua pemuda yang tidak tamat sekolah itu hendak mengamen di kawasan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.
Baca juga: Seniman Ondel-ondel Melawan Stigma Negatif
Mengamen dengan memakai pelantang suara dan musik dari rekaman sesungguhnya dilarang oleh berbagai aturan ketertiban umum di Jakarta karena disamakan dengan mengemis. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, sebagai perlambangan Ibu Kota, ondel-ondel hendaknya diperlakukan dengan terhormat. Jangan dipakai untuk meminta-minta uang (Kompas.id, 26 Maret 2021).
Di dalam Peraturan Daerah Jakarta No 4/2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi dipaparkan pakem ondel-ondel ialah sepasang, yaitu laki-laki dan perempuan dengan standar ukuran tubuh, kedok, dan kembang kelapa sesuai Peraturan Gubernur Jakarta No 11/2017 tentang Ikon Budaya Betawi. Pasangan ondel-ondel ini hanya boleh diarak oleh kelompok musik tradisional lengkap yang, antara lain, memainkan kendang, gong, tehyan, dan kempul. Para pemusiknya juga memakai busana tradisional dan menggelar kegiatan di acara-acara yang resmi diadakan oleh pemerintah, swasta, ataupun masyarakat.
Namun, apa daya, larangan dan pembatasan itu belum mampu menggantikan pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, para pemuda itu tetap mengamen di tepi jalan.
”Dulu, sebelum ada Covid, saya sering ikutan acara resmi buat main ondel-ondel. Sekarang, kan, acara begitu enggak ada lagi. Mau nyari kerjaan lain buat yang lulus sekolah dan sarjana saja susah, apalagi kami yang enggak lulus. Makanya ngamen jadi jalan keluar, yang penting usaha,” kata Farhan yang mengamen dari sore sampai pukul 21.00 dan biasanya memperoleh Rp 50.000.
Deny Eliansyah, pemimpin Sanggar Alfathir, salah satu sanggar pelestari budaya Betawi yang tercatat di Dinas Kebudayaan Jakarta, mengakui dilema para seniman ondel-ondel independen. Bagi sanggar, meski tidak ada panggilan untuk tampil di acara-acara resmi, mereka tetap sibuk bekerja membuat dan memperbaiki ondel-ondel yang akan dipajang di berbagai perkantoran pemerintah, sekolah, ataupun perusahaan swasta. Mereka juga memiliki jadwal untuk tampil secara daring di kanal-kanal media sosial pemprov ataupun penggiat budaya.
Permasalahannya, bagi banyak pemusik lepas yang tidak terlibat secara khusus di salah satu sanggar, nafkah mereka sangat terkendala selama pandemi. Demikian pula dengan warga kampung ondel-ondel yang sebenarnya bukan anggota sanggar mana pun, tetapi sudah secara turun-temurun mengamen dengan ondel-ondel yang tak sesuai pakem.
”Kalau saya ingatkan, mereka marah dan balas ngomong ’emangnya elu mau ngasih makan keluarga gue?’ Susah, deh, kalau masalah perut begini. Kami para pengelola sanggar juga enggak mau menghalangi rezeki orang lain di zaman sulit,” ucapnya.
Menjelang Lebaran kali ini, situasi pandemi belum bisa sepenuhnya diatasi. Farhan dan Bima belum menemukan pilihan lain untuk bertahan hidup di masa sulit kecuali mengamen dengan ondel-ondel. ”Sarjana saja susah nyari kerja, apa lagi anak putus sekolah,” ucap Farhan.
Dengan daya yang ada, Lebaran kali ini akan lebih sederhana bagi Farhan, Bima, Yanto, Ali, dan Idim. Bagi mereka yang tidak mudik seperti Idim, yang sudah tinggal puluhan tahun di Jakarta, Lebaran dirayakan dengan sederhana di rumah kontrakannya. Rumah kontrakan yang dibayarnya Rp 500.000 per bulan itu menjadi tempat keluarga besar mereka berkumpul.
”Paling kami kumpul saja sama tiga anak dan delapan cucu. Untungnya anak-anak sudah bekerja, jadi ada tambahan. Istri juga berjualan makanan di rumah,” ucap Idim mensyukuri.
Sementara Ali dan Yanto, mereka terpaksa memendam kangen terhadap keluarga di rumah. Mereka hanya bisa mengirimkan tabungan seadanya untuk keluarga di kampung.
Namun, dengan kesederhanaan itu, masing-masing dari mereka tetap bersyukur masih bisa membantu keluarganya dengan segala keterbatasan. Mereka berharap pandemi segera berakhir dan Lebaran tahun depan mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarga tercinta. Semoga....
Baca juga: Dianggap Mengganggu, Ironi Nasib Ondel-ondel Jakarta