Menciptakan Keadilan bagi Mereka yang Hidup dari Transportasi Umum
Menata stasiun tidak sekadar fisik bangunan dan memastikan kenyamanan di area dalam, tetapi juga pengelolaan kawasan sekitarnya. Ada nasib tukang ojek, tukang bajaj, hingga pedagang kecil yang butuh ikut dirangkul.

Integrasi antarmoda diinisiasi PT MITJ di empat lokasi, termasuk di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Foto diambil Selasa (19/1/2021).
Dalam dua tahun terakhir, pengelolaan transportasi di DKI Jakarta perlahan dibenahi. Wajah stasiun yang dulu identik dengan kemacetan coba dikikis dan dikelola lebih baik. Harapannya tidak hanya memberi kemudahan pergerakan dan perjalanan, tetapi juga memberikan keadilan bagi mereka yang hidup di dalamnya dan tentu saja yang terdampak adanya penataan.
Selasa (21/4/2021), penumpang kereta rel listrik (KRL) berhamburan keluar begitu pintu kereta terbuka setelah tiba di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat, pada jam sibuk pagi itu. Para penumpang kemudian bergegas turun dari peron stasiun menggunakan tangga. Jumlah penumpang pagi itu cukup banyak sehingga mereka mesti mengantre untuk turun. Kendati demikian, para penumpang tidak saling berebut menuruni anak tangga.
Sesampainya di pintu selatan yang menjadi pintu keluar Stasiun Juanda, deretan pengojek pangkalan sudah menanti. Mereka mengacung-acungkan jari sembari menawarkan jasa ojek dengan cara memanggil para penumpang.
Tepat di samping para pengojek pangkalan itu, para pengojek daring berbaris menanti penumpang kereta menghampiri mereka. Bedanya, para pengojek daring tidak bersusah payah memanggil penumpang kereta yang baru menuruni tangga.
Beberapa penumpang lalu menghampiri pengojek daring tersebut sembari menunjukkan layar ponselnya. Ketika kode pesan cocok, pengojek daring langsung menyalakan sepeda motornya dan mengantar penumpang itu ke tempat tujuan.

Calon penumpang menunggu kereta KRL di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (2/4/2021).
Di Stasiun Tanah Abang, suasana serupa terlihat. Wiryoko (30), warga Klender, Jakarta Timur, yang hendak menuju kawasan Jati Baru, Tanah Abang, bengong sesaat. Setelah pada Senin (19/04/2021) tiba di Stasiun Tanah Abang, ia mengikuti arus penumpang keluar dari kereta untuk keluar stasiun. Di luar gerbang pembayaran, ia terdiam.
”Tanah Abang jadi berubah begini, ya? Saya sempat bingung tadi mau keluar setelah hampir satu tahun tidak naik KRL. Bagus, ya?” katanya.
Tanah Abang jadi berubah begini, ya? Saya sempat bingung tadi mau keluar setelah hampir satu tahun tidak naik KRL. Bagus ya.
Namun tak lama, ia berkerut dahi saat kakinya melangkah. Suara riuh pengojek pangkalan yang bergerombol di area pejalan kaki bersahut-sahutan dengan pengemudi bajaj dan angkutan kota menawarkan jasa. ”Tidak, Pak. Saya mau jalan kaki. Dekat ini,” tolaknya pada tawaran ojek pangkalan.
Yono (56), warga Kota Depok, Jawa Barat, yang sehari-hari mengandalkan KRL menuju tempat kerjanya di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, mengapresiasi penataan stasiun yang telah dilakukan pemerintah. Baginya, arus keluar masuk penumpang KRL di dalam dan luar stasiun kini lebih tertata rapi.
Hari-hari ini pemandangan semacam itu mudah ditemui di empat stasiun yang sudah ditata kawasannya, juga di stasiun KRL lainnya. Pemandangan di mana penumpang dengan bebas memilih naik ojek daring atau naik ojek pangkalan atau malah bus Transjakarta sebagai angkutan lanjutan.

Sopir bajaj menunggu penumpang dalam uji coba penataan Stasiun Tanah Abang di Jakarta Pusat, Selasa (2/6/2020).
Meski terkesan ”tidak dilirik”, penataan kawasan dirasa menghadirkan keadilan, setidaknya bagi Widodo Jumantri (51), salah seorang pengemudi ojek pangkalan (opang). Menurut Widodo, sebelum penataan, antara opang dan ojek daring kerap terlibat keributan karena berebut penumpang. Keributan itu terjadi di tengah kemacetan jalanan sehingga makin menambah kacau suasana.
Kekacauan dan keributan itu, kata Widodo, membuat semua pihak merugi. Baik pengguna jalan yang terjebak macet, pengendara ojek yang saling bertikai, maupun penumpang yang terlambat masuk kantor.
”Sekarang, setelah penataan, sudah enggak ada kesenjangan. Pokoknya saling mengerti karena sistemnya adil. Sudah aman, lancar, enggak ada kemacetan. Malulah kalau ribut terus,” katanya.
Baca juga: Dukung Mobilitas, Kawasan Stasiun Terpadu Diresmikan
Bagi M Rofiq (45), pengemudi ojek pangkalan di Stasiun Tanah Abang, penumpang itu raja sehingga terserah mereka mau memilih angkutan yang mana untuk menuju tujuan. ”Kami sudah bersepakat dengan pengelola stasiun. Ojek pangkalan di dekat halte Transjakarta, ojek online di ujung. Terserah penumpang mau naik angkutan yang mana,” kata bapak tiga anak itu.

Penumpang menunggu di halte bus Transjakarta dalam uji coba penataan Stasiun Tanah Abang di Jakarta Pusat, Selasa (2/6/2020).
Rofiq mengakui, dengan berjajar di depan area keluar masuk stasiun, penumpang selalu ada. Hanya memang karena pandemi, jumlah penumpang yang ia antar menurun sehingga pendapatan juga menurun. Saat normal tanpa pandemi, ia bisa mengantarkan 10 penumpang, tetapi saat pandemi bisa mengatarkan lima orang sudah lumayan.
Penataan di pintu keluar Stasiun Jakarta Kota, membuat bajaj-bajaj menunggu penumpang di sebuah lahan parkir yang terletak di timur stasiun. Sementara angkot hanya diperkenankan mengangkut penumpang di depan stasiun dengan durasi yang tidak lama. Bila dirasa terlalu lama menunggu penumpang, ada petugas dishub yang menghalau para sopir angkot.
Sebelum ini, atas nama kemudahan, pintu keluar stasiun Jakarta Kota yang berada di tikungan kerap dipenuhi pengojek daring, angkot, dan bajaj sehingga titik itu kerap macet pada jam-jam sibuk, terutama sore hari.
Pengelola stasiun sekarang memasang tali pembatas untuk mencegah pengojek daring menunggu penumpang hingga mengambil badan jalan utama. Adapun sopir bajaj dilarang berjejer menunggu penumpang di depan stasiun.
Nur Edi (64), salah seorang sopir bajaj, menjelaskan, dirinya dan sopir bajaj lainnya terpaksa pindah menunggu penumpang dari depan stasiun ke lahan parkir tersebut setelah dilarang. Mereka kemudian membuat sistem antrean. Satu bajaj dipersilakan menunggu penumpang di pintu depan stasiun, sementara bajaj lainnya menunggu di lahan parkir. Setelah mendapatkan penumpang, bajaj di belakangnya akan maju untuk mendapat giliran mengangkut penumpang.

Aktivitas warga di depan Stasiun Jakarta Kota atau Beos di Jakarta Barat, Sabtu (29/10/2016), ketika belum tersentuh penataan.
Pengelola stasiun tak menyediakan lahan atau area bagi sopir bajaj untuk menunggu penumpang. Mereka berinisatif berbaris menunggu giliran di lahan parkir dengan dikenai tarif Rp 10.000 per hari. Jumlah yang dirasa cukup memberatkan bagi Edi yang kini mulai jarang mendapatkan penumpang.
”Mau bagaimana lagi, kami ikuti aturan saja biar tidak melanggar. Uang yang didapat seharian itu harus dibagi lagi untuk setoran, bahan bakar, dan sekarang untuk bayar tarif parkir lagi,” kata Edi. Ia berharap pemerintah atau pengelola stasiun bisa mencarikan solusi bagi sopir bajaj agar tetap bisa tertib mengikuti aturan penataan tanpa harus membayar tarif parkir.
Muhammad Sunardi (28), sopir bajaj di Stasiun Tebet, merasa keberatan apabila nantinya terdampak penataan stasiun. Stasiun Tebet termasuk satu dari lima stasiun yang sedang ditata oleh Pemprov DKI Jakarta pada tahap kedua ini. Ada halte bus Transjakarta baru yang tengah dibangun. Halte itu nantinya akan terintegrasi dengan stasiun sehingga penumpang begitu turun dari KRL langsung bisa menaiki bus.
Baca juga: Setelah Empat Stasiun, Ditargetkan Penataan Lima Kawasan Terpadu di DKI
Sunardi keberatan karena menilai penataan stasiun akan membuatnya harus menunggu penumpang jauh dari pintu keluar stasiun. Padahal, sejak setahun terakhir atau selama pandemi penghasilannya sebagai sopir bajaj turun separuh jika dibandingkan dengan sebelum pandemi melanda.
Ia tak bersedia mengungkapkan jumlah penghasilannya dalam sehari. Namun, Sunardi menggambarkan, dulu sebelum pandemi bisa mendapatkan hingga lebih dari 10 penumpang per hari di Stasiun Tebet. Kini ia hanya bisa mendapatkan maksimal sebanyak lima penumpang dalam sehari.
”Kalau penataan nanti kami, para sopir bajaj, juga dipindah, kemungkinan besar akan makin susah dapat penumpang. Sekarang saja penumpang sudah semakin jarang,” ujarnya.

Aktivitas penataan kawasan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (30/3/2021).
Kendati keberatan, bila pun nanti tetap harus pindah, ia berharap pihak stasiun bisa memperbanyak jumlah pintu keluar bagi penumpang. Salah satunya bisa ditempatkan di lokasi dekat para sopir bajaj dikhususkan menunggu penumpang.
Lain sopir angkutan, lain pula cerita para pedagang. Di stasiun Tanah Abang, para pedagang kaki lima terlihat kucing-kucingan dengan Satpol PP yang berjaga di kawasan stasiun. Sementara proyek penataan Stasiun Tebet membuat penghasilan Dulloh (51) sebagai pedagang sate menurun. Sebelum proyek penataan dimulai, Dulloh bisa mengantongi keuntungan hingga Rp 150.000 sehari.
Setelah proyek penataan dimulai, Dulloh harus pindah sementara ke area tepian stasiun yang cukup jauh dari pintu keluar penumpang. Para pelanggannya kebingungan karena tempat berjualan Dulloh dipindahkan.
Kondisi itu membuat penjualannya menurun hingga dia hanya bisa memperoleh keuntungan Rp 100.000 per hari. Selain penataan stasiun, Dulloh menyebut pendemi Covid-19 yang berdampak sangat besar terhadap penurunan penghasilannya.
”Penurunan penghasilan berdampak ke keluarga. Saya harus irit-irit ngatur keuangan,” katanya.
Penurunan penghasilan itu membuat Dulloh sampai harus berpindah kontrakan. Ia merasa tak sanggup membayar biaya kontrakan sebesar Rp 800.000 per bulan. Kini Dulloh bersama istrinya menghuni kontrakan dengan biaya sewa Rp 300.000 sebulan. Selain itu, Dulloh mulai membatasi diri dalam merokok untuk menekan pengeluaran.

Pekerja melintas di depan seng pembatas telah didirikan dengan spanduk tampilan proyek di kawasan proyek penataan plaza Stasiun Tebet di kolong jembatan layang Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (26/11/2020).
Pengojek pangkalan di Stasiun Tebet, Haryadi (38), menilai, proyek penataan Stasiun Tebet bakal berdampak sangat besar bagi pendapatannya dalam satu hari. Ketika penataan di Stasiun Tebet rampung, angkot-angkot Jaklingko akan memiliki halte khusus di depan stasiun.
Ia merasa akan kalah bersaing karena penumpang kereta bakal lebih memilih melanjutkan perjalanan menggunakan angkot Jaklingko yang bebas biaya. Padahal, dalam kondisi pandemi sekarang saja penghasilan Haryadi sudah turun dari sebelumnya Rp 200.000 per hari menjadi Rp 100.000 per hari.
Agar bisa bertahan, Haryadi mengaku bakal lebih banyak lagi mencari pelanggan tetap. Saat ini, ia telah memiliki beberapa pelanggan tetap setiap pagi hari. Upaya lainnya agar bisa tetap bertahan, Haryadi memilih menyesuaikan harga agar tidak terlalu berbeda jauh dari ojek daring.
”Kalau mau cari pekerjaan baru, juga susah. Udah umur juga siapa yang mau nerima saya kerja. Saya cuma bisa ngojek begini,” ucapnya.
Menyadari pendapatan yang menurun karena pandemi dan sejumlah aturan pembatasan penumpang, pengojek pangkalan menyiasati dengan berjajar rapi di depan gerbang pembayaran stasiun Tanah Abang. ”Kami juga mencoba lebih rapi dan sopan supaya penumpang mau menggunakan jasa kami,” kata Rofiq.
R Sulaeman (45), pengemudi ojol yang ditemui di Stasiun Sudirman, mengatakan, selama pandemi memang ia juga sempat merasakan penurunan jumlah penumpang. Namun, dengan bergabung bersama penyedia aplikasi, ia melihat itu sebagai keuntungan. Ia menawarkan jasa dengan teknologi.
”Kalaupun saya tidak ikut menunggu di shelter, saya bisa berkeliling dan order mengangkut penumpang selalu masuk. Pemasukan masih ada,” kata Sulaeman.

Sejumlah pengojek menunggu di sekitar kawasan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (5/3/2021).
Merangkul semua
Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta, berpendapat, terkait keadilan bagi semua pelaku angkutan di kawasan stasiun, itu menjadi tugas utama PT MITJ sebagai badan usaha yang dibentuk khusus untuk mengelola integrasi.
”Mengelola itu, ya, termasuk mempertahankan tercapainya tujuan awal penataan kawasan stasiun yang tentu saja tidak hanya sekadar kosmetik. Di sini ada proses bisnis yang kompleks dari sebuah seamless connection,” katanya.
Mengelola itu, ya, termasuk mempertahankan tercapainya tujuan awal penataan kawasan stasiun yang tentu saja tidak hanya sekadar kosmetik.
Bersamaan dengan penataan kawasan, Pemprov DKI juga mengembangkan sistem transportasi Jaklingko, di mana moda angkutan kota, bus kecil, bus medium, dan bus gandeng, serta MRT dan LRT ada dalamnya. Nantinya akan ada integrasi jadwal, tarif, juga sistem tiket.
”Namun, di luar itu ada opang, ojol, bajaj, dan angkutan kota yang masih beroperasi. Pertanyaannya, apakah sistem Jaklingko ini sudah bisa menggantikan moda angkutan itu secara paripurna? Tentu tidak karena tidak ada layanan pintu ke pintu di sistem jaklingko,” kata Damantoro.
Apalagi dilihat dari karakteristik wilayah Jakarta, masih banyak daerah yang hanya bisa dicapai dengan ojek atau bajaj. Damantoro pun mendorong ojek dan bajaj masuk dalam perencanaan infrastruktur dan prosedur sistem operasi manajemen integrasi antarmoda.
Selain itu, sebaiknya tetap ada tempat khusus bagi pedagang kecil di sekitar stasiun. Dengan demikian, semua kalangan dapat menikmati buah penataan yang berkeadilan.

Excecutive Director Center for Infrastructure Studies of Indonesia Damantoro.