Penataan Fisik Stasiun Baru Langkah Awal
Setelah fisik stasiun kereta api di Ibu Kota diremajakan dan ditata apik, sejumlah pekerjaan lain menunggu. Salah satunya adalah mendidik penumpang dan pelaku kegiatan di sekitar stasiun agar disiplin mengikuti aturan.
Wacana menata kawasan stasiun kereta komuter di wilayah DKI Jakarta sudah terungkap lama. Untuk PT KAI, gagasan menata sudah muncul sejak 2012–2013. Dari Provinsi DKI Jakarta, merunut ke belakang, muncul sejak era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau sejak 2015, yang berlanjut pada era Gubernur Anies Baswedan.
Penataan kawasan stasiun ini tidak lebih dari sekadar menata, tetapi juga demi mewujudkan integrasi antarmoda angkutan yang membuat nyaman perjalanan dan perpindahan moda oleh penumpang. Selain itu, penataan ini juga untuk mengurai kemacetan di kawasan stasiun. Hasil penataan kawasan betul-betul terwujud lima tahun kemudian.
Itu bisa dilihat pada 17 Juni 2020 saat Menteri BUMN Erick Tohir bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar, serta jajaran direksi PT KAI meresmikan penggunaan empat stasiun terintegrasi. Empat stasiun itu hasil penataan yang terencana dan dikerjakan bersama-sama antara Dinas Perhubungan, PT MRT Jakarta, PT KAI, dan PT MITJ.
Melongok ke tahun sebelum 2020, setiap pengendara yang melewati kawasan stasiun mana pun di Ibu Kota pastilah menggerutu. Perjalanan tersendat lantaran badan jalan disesaki ojek pangkalan, ojek daring, bajaj, ataupun angkutan kota, serta penumpang kereta. Sementara trotoar kehilangan fungsinya lantaran diokupasi pedagang kaki lima dan menghambat pergerakan penumpang. Semua tumpah, padat, bergerombol, dan menjadi biang kemacetan menahun.
Upaya mengatasi kemacetan dan kesemrawutan tak kunjung tuntas. Hingga menjelang akhir 2019, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengumumkan rencana penataan sejumlah kawasan stasiun. Sebagai bentuk keseriusan penataan, pada awal 2020 bahkan Dishub DKI bersama PT MRT Jakarta dan PT KAI mengumumkan pembentukan PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (PT MITJ).
Baca juga: Dukung Mobilitas, Kawasan Stasiun Terpadu Diresmikan
PT MITJ, perusahaan gabungan antara PT MRT Jakarta dan PT KAI itulah yang akan mengelola kawasan stasiun. Pada tahap awal penataan, penataan dimulai dari Stasiun Juanda, Stasiun Tanah Abang, Stasiun Sudirman, dan Stasiun Pasar Senen.
Meski pekerjaan sempat terganggu karena pandemi Covid-19 yang merebak diawal 2020, transformasi keempat stasiun itu menimbulkan decak kagum. Kawasan yang sebelumnya padat, semrawut, dan terkesan kumuh bisa ditata rapi.
Di Stasiun Tanah Abang, misalnya, setiap moda angkutan umum dibuatkan tempatnya sendiri-sendiri. Bahkan, rambu atau tanda-tanda yang semula minim sekarang bisa ditemui dengan mudah.
Asalkan para penumpang rajin membaca dan mencermati, penanda yang dipasang itu sangat membantu perpindahan dan pergerakan perjalanan. Begitu keluar dari gerbang pembayaran stasiun di sisi utara, sejumlah penanda yang memandu penumpang berganti moda sangat jelas terlihat.
Di sisi kanan, penumpang langsung mendapati halte Transjakarta yang lebar dan bus-bus sesuai rute datang dan pergi sesuai jadwal. Belok ke kiri, penataan memanfaatkan lahan yang semula lahan terbuka dan hanya ditutup pagar, lahan itu diubah dan ditata sebagai lokasi bagi shelter ojek daring, ojek pangkalan, juga antrean angkutan kota dan bajaj.
Di Stasiun Juanda, penataan serupa terlihat. Di sana tersedia area antar-jemput penumpang ojek daring, pengendapan ojek pangkalan, penyediaan jalur antre untuk bajaj, dan pengendapan untuk ojek daring di sisi utara stasiun Juanda. Sejumlah fasilitas juga ditambahkan, seperti papan informasi, penunjuk arah, dan penanda jalan.
Di Stasiun Sudirman, di mana kereta bandara, KRL, MRT Jakarta, Transjakarta, dan nantinya LRT Jabodebek bertemu, penumpang dimanjakan dengan plaza atau area pejalan kaki yang lebar, bersih, nyaman, dan bebas dari PKL saat hendak berpindah moda. Angkutan lanjutan semacam ojek daring juga dibuatkan tempatnya sendiri.
Baca juga: Setelah Empat Stasiun, Ditargetkan Penataan Lima Kawasan Terpadu di DKI
Penataan ini membuat para penumpang KRL merasa nyaman. Esriana (33), warga Kota Bogor, Jawa Barat, misalnya, hampir empat tahun terakhir menggunakan KRL untuk bekerja di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Ia sudah merasakan kondisi di luar stasiun kini lebih manusiawi.
Bila dua tahun lalu kemacetan kerap melanda area jalan raya di depan stasiun, sekarang tidak lagi. ”Sekarang jalanan lebih lancar dan tenang. Hanya saja, karena penataan, memang saya harus berjalan agak jauh untuk bisa pesan ojol (ojek online),” kata Esriana.
M Singgih (30), warga Duren Sawit, Jakarta Timur, yang ditemui di Stasiun Pasar Senen, Sabtu (17/4/2021), seusai mengantar saudara yang hendak ke Kutoarjo, Jawa Tengah, kaget dengan perubahan stasiun. Sejak pandemi Covid-19 merebak, ia memang lebih banyak di rumah. Ia sungguh tidak menyangka ada perubahan di stasiun.
”Sekarang lebih rapi. Ada tempat terbuka untuk pejalan kaki. Sebagai pengantar, tadi juga rapi di pintu masuk,” katanya.
Butuh edukasi
Eva Chairunisa, Kepala Humas PT KAI Daerah Operasi 1 Jakarta, menjelaskan, sejak penataan kawasan, diikuti pula pengaturan arus penumpang, baik penumpang kereta api jarak jauh maupun KRL.
Dari empat stasiun pertama yang ditata, hanya Stasiun Pasar Senen yang melayani penumpang kereta antarkota dan kereta dalam kota. Pengaturan arus penumpang dilakukan sejak proses ticketing dan itu terpisah. Kemudian, untuk penumpang yang baru turun dari KRL dan hendak melanjutkan perjalanan dengan kereta api jarak jauh (KAJJ) dapat langsung menuju area tunggu di samping area hall tiket KRL, begitu sebaliknya. Penumpang yang hendak menuju moda lanjutan lainnya bisa melewati area plaza pedestrian yang dibangun saat penataan kawasan.
Kerapihan itu memang ditemui selama pandemi dan selama kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB ketat diberlakukan. Artinya, masih ada pembatasan volume penumpang dan frekuensi perjalanan kereta ataupun angkutan pengumpan.
Namun, sekarang, setahun pandemi dan menjelang hari raya, meski kebijakan pembatasan masih berlaku, jumlah penumpang KRL kembali meningkat. Erni Sylvianne Purba, VP Corporate Communication PT KAI Commuter, menjelaskan, untuk penumpang per hari saat ini sudah di angka 300.000-450.000 orang per hari atau masih 40 persen dari rata-rata penumpang harian pada masa normal yang mencapai 1,1 juta penumpang per hari.
Dengan kebijakan pembatasan mikro hari ini, jam operasional kereta sudah ditambah. Itu tentu saja berpotensi memunculkan kerumunan dan kepadatan kembali.
Bagi pengemudi ojek pangkalan, bajaj, juga angkutan kota yang tidak tergabung dalam sistem Jaklingko, tentu saja kepadatan itu merupakan magnet. Lihat saja di Stasiun Tanah Abang atau Stasiun Juanda.
Pengemudi ojek pangkalan sudah kembali memadati jalan keluar dan saling berteriak menawarkan jasanya, membuat tidak nyaman penumpang. Lalu di lay-by atau halte Transjakarta yang harusnya terisi bus selalu didapati angkot ataupun bajaj berhenti menunggu penumpang. Suasana padat ruwet kembali terasa.
Pengamat tata kota Yayat Supriyatna mengatakan, penataan itu bisa dilakukan, tetapi yang paling berat adalah pengelolaannya. Ia lantas mempertanyakan kelembagaan yang disepakati mengatur dan menata di dalam dan di luar kawasan stasiun.
”Yang paling berat dan paling susah itu adalah mengatur yang di luar kawasan. Kalau di dalam stasiun, kalau terkait dengan penumpukan penumpang di peron yang terbatas, dengan kereta yang terjadwal, penumpang bisa diangkut. Tetapi yang di luar ini, untuk ojolnya, untuk ojeknya, untuk bus,” ujar Yayat.
Suasana semrawut kembali terasa karena masih pandemi dan warga membutuhkan uang untuk berlebaran. Banyak yang tiba-tiba muncul mengojek lagi atau berdagang lagi. ”Untuk setiap aspek ini perlu pengaturan dalam konteks kewenangan,” katanya.
Artinya, untuk masalah transportasi, dishub mesti mengatur. Untuk PKL, Satpol PP mesti turun, serta untuk urusan penindakan adalah kewenangan kepolisian. ”Ketiga unsur ini harus saling berkoordinasi untuk mengatur dan menjaga,” ujar Yayat.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengapresiasi penataan kawasan stasiun. ”Sebagai bentuk penataan tata kota, ini bagus. Ini juga langkah awal yang bagus untuk integrasi antarmoda,” kata Aditya.
Sebagai bentuk penataan tata kota, ini bagus. Ini juga langkah awal yang bagus untuk integrasi antarmoda.
Akan tetapi, ia melihat penataan ini baru tahap awal, baru dalam tahap penyediaan infrastruktur secara fisik, belum membangun kultur bertransportasi umum. Di sana ada kapling untuk setiap jenis moda dan ada lajur untuk setiap jenis moda yang beroperasi di empat stasiun.
Aditya menilai, penataan dari segi fisik dan infrastruktur harus diikuti sisi edukasi dan dari sisi penegakan ketertiban. Edukasi ditujukan kepada penumpang kereta dan angkutan pengumpan. Kemudian diikuti pengawasan dan penegakan. ”Dua aspek itu harus dikerjakan secara intens dan konsisten. Kalau tidak, ya, akan kembali seperti semula, apalagi sejalan dengan kepadatan penggunaan kereta,” katanya.
Yayat dan Aditya mengatakan, untuk edukasi serta pengawasan dan penindakan itu bisa disiasati dengan teknologi. Misalnya dengan pemasangan kamera pengawas, juga pengeras suara, untuk mengedukasi penumpang.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, menjelaskan, menjelang satu tahun penataan kawasan stasiun terpadu ada hal baik yang terpantau, yaitu kinerja lalu lintas di sekitar stasiun meningkat, menjadi 30 kilometerper jam. Pergerakan kendaraan, seperti di Stasiun Juanda, katanya, menjadi lancar dan tidak ada penyumbatan lalu lintas.
Dengan kepadatan penumpang yang terjadi serta sejumlah pelanggaran yang masih ditemui di kawasan stasiun, menurut Syafrin, Dishub DKI sudah selalu melakukan penertiban. Melalui pengelola di kawasan, PT MITJ, pengawasan kawasan dilakukan bersama-sama dengan Satpol PP dan kepolisian.
Irwandi, Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, mengatakan, memang pengawasan yang terus-menerus di sekitar stasiun, baik untuk mengawasi PKL, ojek pangkalan, maupun angkot dan bajaj, pihaknya menurunkan Satpol PP. Pengawasan di lapangan dilakukan terus-menerus.
Nantinya, melalui PT MITJ pula, jelas Syafrin, akan dilakukan pengawasan secara digitalisasi, di mana setiap ada pelanggaran akan langsung ditertibkan. ”Cara yang dipakai adalah dengan pemasangan kamera pengawas atau CCTV. PT MITJ juga tengah merancang untuk menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligent yang akan memindai wajah siapa saja yang melakukan pelanggaran, seperti penarikan penumpang. Ini nanti akan dipasang tidak hanya di stasiun yang sudah ditata, tetapi juga di stasiun-stasiun lainnya yang tengah dan akan ditata,” katanya.
Yayat dan Aditya mengatakan, pengawasan dan penertiban harus dilakukan secara intens dan konsisten serta dengan ketegasan. Ketegasan akan menunjukkan kewibawaan petugas menegakkan aturan dan tidak ada ruang negosiasi.
Yang lebih penting, lanjut Aditya, apabila DKI Jakarta, PT MRT, PT KAI, dan PT MITJ mau bicara integrasi dan keterpaduan antarmoda, langkah itu seharusnya sudah lebih jauh lagi. ”Keterpaduan moda tidak hanya integrasi secara fisik, tetapi juga harus diikuti integrasi dari aspek-aspek yang lain, seperti integrasi operasi, jadwal, tarif, sistem pembayaran, dan ticketing,” katanya.