Perempuan Tanggap Bencana Bukan Sebatas Pendidikan bagi Kaum Hawa
Sebaiknya pemerintah dan masyarakat tidak sekadar membuat program yang hanya menyasar perempuan karena justru akan melipatgandakan beban dan tidak akan mengubah persepsi terhadap kesetaraan dan keadilan jender.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Perspektif mitigasi dan penanganan kebencanaan dengan perspektif jender hendaknya tidak sebatas menitikberatkan program kepada perempuan, tetapi memastikan terpenuhinya nilai-nilai kesalingan dan kerja sama antara perempuan dan laki-laki. Di Ibu Kota yang masyarakatnya majemuk serta dinamis, pendekatan ini merupakan kekuatan dibandingkan dengan mendikotomi tugas-tugas tertentu hanya kepada satu jender.
”Mitigasi bencana tercapai apabila seluruh unsur masyarakat memahami jenis dan risiko bencana. Setelah itu, juga harus dibuka akses untuk melibatkan semua unsur masyarakat, termasuk perempuan dalam pencegahan dan penanganan bencana,” kata Kepala Dinas Perlindungan, Pemberdayaan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta Tuty Kusumawati dalam acara diskusi daring ”Perempuan Tangguh Bencana untuk Keluarga Tangguh Bencana” di Jakarta, Senin (26/4/2021).
Dinas PPAPP melakukan pendataan melalui aplikasi Carik Jakarta yang di lapangan dilakukan para kader Dasawisma. Metodenya adalah dari pintu ke pintu. Melalui program ini, sudah terdapat 3.705.707 perempuan yang terdata. Berdasarkan data kependudukan, jumlah penduduk di Jakarta ada 7.401.520 jiwa.
Sebaiknya pihak pemerintah ataupun masyarakat tidak sekadar membuat program yang hanya menyasar perempuan karena justru akan melipatgandakan beban. (Sutriyatmi Rasam)
Data ini kemudian dikerucutkan dan terungkap bahwa 60 persen perempuan Ibu Kota atau setara 1.202.389 orang tinggal di lingkungan rawan kebakaran. Bahkan, berdasasarkan data Dinas PPAPP tahun 2019 857 kasus kebakaran dan 6.619 perempuan yang rumahnya terbakar. Selain itu, ada 170.697 perempuan yang rumahnya selalu dilanda banjir.
Kepala Pusat Data dan Informasi Dinas PPAPP Jakarta Tri Palupi Diah mengungkapkan, beberapa masalah yang ditemui di lapangan adalah tabung gas yang tidak dipasang dan dirawat dengan baik, stop kontak listrik yang sudah menghitam tetapi masih dipakai, serta colokan listrik yang dibiarkan menumpuk dan dicoloki kabel lebih dari tiga.
”Para perempuan yang didata ini umumnya tidak menyadari risiko tersebut. Kalaupun ada yang sadar, mereka tidak langsung membereskannya karena sibuk mengurus keluarga,” kata Tri.
Kepala Seksi Pencegahan Badan Penanganan Bencana Daerah Jakarta Rian Sasono memaparkan bahwa di Jakarta terdapat tujuh jenis risiko kebencanaan. Berdasarkan data lembaga ini selama periode 2017-2020, Ibu Kota telah mengalami 2.658 kasus kebakaran, 45 longsor, 2 gempa bumi, 274 banjir, 851 cuaca ekstrem, 63 konflik sosial, dan 152 kedaruratan lain. Bencana itu belum mencakup pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret 2020 hingga kini.
Beban berlipat
Pakar jender dari Wahana Visi Indonesia, Sutriyatmi Rasam atau Mimi, mengatakan, perempuan selalu terkenan beban ganda akibat berbagai pekerjaan yang oleh masyarakat didikotomikan untuk mereka. Sebagai contoh, perempuan yang terkena bencana sudah berstatus sebagai korban tetap diwajibkan oleh lingkungan sekitarnya untuk terus melakukan pekerjaan keluarga, seperti mengambil air, memasak, mencuci, dan mengasuh anak.
Secara nasional tercatat bahwa pandemi Covid-19 mengakibatkan lebih banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan daripada laki-laki. Rinciannya adalah 58 persen perempuan di sektor formal Indonesia dan 71 persen di sektor informal kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan (Kompas.id, 5 Februari 2021).
”Jadi sebaiknya pihak pemerintah ataupun masyarakat tidak sekadar membuat program yang hanya menyasar perempuan karena justru akan melipatgandakan beban dan tidak akan mengubah persepsi masyarakat terhadap kesetaraan serta keadilan jender. Nanti malah jika ada program selalu diberikan kepada perempuan dan tetap ada ketimpangan pengetahuan di masyarakat,” ujar Mimi.
Hal pertama yang harus dilakukan ialah melakukan asesmen berbasis jender untuk melihat kedalaman pengetahuan pihak laki-laki ataupun perempuan terkait suatu persoalan. Setelah itu, buka akses informasi agar semua orang bisa mendapat pengetahuan yang akurat. Berdasarkan data Dinas PPAPP, sejumlah kegiatan warga yang bisa menjadi jalur akses informasi perempuan adalah kegiatan keagamaan, gotong royong, rukun kematian, arisan, dan posyandu anak balita.
Pendapat itu disepakati oleh Sumiati, kader kebencanaan dari Kelurahan Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara. Menurut dia, sering kali akses informasi perempuan terhalang karena kewajiban mengurus rumah tangga. Padahal, pekerjaan itu sesungguhnya patut dilakukan bersama dengan pasangan.
Uang bukan takaran
Dalam kesempatan yang berbeda, komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menjelaskan bahwa risiko kekerasan domestik dan rumah tangga meningkat semenjak pandemi terjadi. Berbagai keresahan akibat kemiskinan dan kehilangan pekerjaan meledak di dalam rumah tangga dengan perempuan dan anak sebagai korban.
”Ada dua masalah. Pertama, kekerasan karena tidak ada uang yang berakibat kepada tekanan ekonomi. Kedua, uang dijadikan alasan untuk mendominasi pasangan. Misalnya, laki-laki mengharapkan istri melakukan semua jenis pekerjaan tanpa ada bantuan dengan alasan suami sudah mencari nafkah. Ada juga perempuan sebagai pencari nafkah tetapi suami menolak membantu mengurus rumah tangga dengan alasan tugas perempuan,” paparnya.
Pembagian tugas rumah tangga hendaknya kian digaungkan selama pandemi. Sebagai contoh, membantu anak belajar daring jangan hanya dibebankan kepada ibu. Para ayah ketika berada di rumah juga diajak turut serta. Demikian pula dengan tugas bersih-bersih dan memasak. Semuanya bisa dikerjakan dengan saling membantu.