Tugu Sepeda dan Jejak Polemik Tengara Kota di Jakarta
Tengara adalah penanda lokasi dan petunjuk arah. Namun, ia justru menonjol sebagai salah satu unsur yang memperkaya ruang urban. Tengara bisa mewakili penggalan sejarah kota, dinamikanya, dan pengaruh politik atau rezim.
Berkendara menembus Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin di Jakarta kini terasa ikut berpacu dengan derap berbagai proyek pembangunan di etalase utama Ibu Kota tersebut.
Jalur sepeda terus dipoles. Selepas Bundaran Hotel Indonesia ke Monumen Nasional atau Monas, proyek lanjutan MRT Jakarta makin digenjot. Di kanan kiri jalan, gedung-gedung sedang dibangun, direnovasi, atau direvitalisasi. Mal pertama di Indonesia, Sarinah, termasuk yang kini dalam fase bersolek.
Dari kesibukan aktivitas yang seperti tak tersentuh kelesuan akibat pandemi, lahirlah struktur fisik yang mau tak mau menjadi penanda atau tengara baru di pusat Jakarta. Salah satu yang jadi pembicaraan publik adalah Tugu Sepeda. Tugu ini ada di sudut kiri antara Jalan Sudirman dan Jalan Setiabudi Raya, bisa dilihat pengendara yang melaju dari arah Bundaran HI ke Senayan.
Keberadaan tugu yang masih dalam tahap pengerjaan itu kini kurang menonjol karena bagian bawahnya tertutup lembaran seng. Sekilas, tugu ini berbentuk lingkaran besar padat layaknya meja bundar dalam posisi berdiri sedikit tengadah, sisi luar penampangnya menghadap arah Jalan Sudirman. Didominasi sewarna tembaga, lingkaran-lingkaran lebih kecil menghiasi permukaan luar. Di baliknya, lingkaran-lingkaran berbagai ukuran layaknya spion memantulkan bayangan siapa saja di depannya.
Tengara kota bisa berwujud apa saja dan tiap individu dapat memiliki pengalaman serta tengara sendiri dalam ingatannya akan suatu lokasi di area urban.
Dalam sebuah wawancara, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyatakan, Tugu Sepeda bagian dari upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun fasilitas bagi pesepeda di Ibu Kota yang kian berlipat ganda. Dana Rp 28 miliar dari pihak swasta—denda pelanggaran koefisien lantai bangunan (melebihi batas lantai sesuai aturan pemerintah)—dialokasikan untuk pembangunan jalur sepeda dan tugu sepeda.
Tugu Sepeda menyerap sekitar Rp 800 juta. Sisanya untuk menyokong pembangunan jalur sepeda hingga 80 kilometer pada tahun ini. ”Jadi, tidak membebani APBD DKI. Diharapkan nanti sepeda tidak hanya untuk hobi dan olah raga, tetapi juga sebagai moda transportasi,” demikian lebih kurang disarikan dari hasil wawancara Ahmad Riza.
Keberadaan Tugu Sepeda nanti diproyeksikan menjadi lokasi baru warga kota untuk bersenang-senang, termasuk untuk latar swafoto.
Masih di ruas Sudirman, Pemprov DKI juga sedang memulai peremajaan jembatan penyeberangan orang (JPO) Karet Sudirman. JPO bertema Kapal Phinisi ini turut didedikasikan sebagai ikon untuk mengenang para tenaga kesehatan yang berjuang serta berkorban selama pandemi Covid-19.
Sama seperti Tugu Sepeda, JPO Karet Sudirman dibangun dengan dana non-APBD. JPO ini ramah pesepeda dan kaum disabilitas dengan adanya fasilitas lift khusus. Peremajaan JPO tersebut lanjutan dari program revitalisasi 21 JPO di Jakarta yang sempat tertunda pada 2020 akibat terdampak pandemi.
Baca juga : Gerakan ”Slow Cities agar Hidup Lebih Hidup
Pun sama seperti Tugu Sepeda, JPO Karet Sudirman tak luput dari sorotan tajam publik. Keterkaitan antara JPO dengan penghormatan terhadap tenaga kesehatan dituding tidak jelas alias terlalu mengada-ada.
Uang jutaan hingga miliaran rupiah itu, meskipun bukan dari APBD, diyakini dapat dialokasikan untuk menambah pundi-pundi upaya penanggulangan dampak pandemi yang langsung berkaitan dengan kepentingan publik yang lebih mendasar.
Menyoal ”landmark”
Berkaca dari Tugu Sepeda, mengemuka pertanyaan, apa urgensi membangun tengara kota atau landmark itu?
Sebelumnya, lebih baik memahami dulu apa itu tengara kota. Kamus Merriam Webster membedakan tiga arti landmark, yaitu (1) sebuah benda atau bangunan di darat yang mudah dilihat dan dikenali, (2) sebuah bangunan atau tempat yang penting dalam sejarah, atau (3) peristiwa yang sangat penting atau prestasi.
Tengara rentan dan mudah sekali aus, bahkan dapat lenyap dari ingatan ketika struktur fisiknya hilang, sengaja dibongkar untuk tujuan tertentu, atau tergantikan oleh struktur fisik lain yang lebih menarik perhatian.
Landmark kemudian menjadi salah satu unsur ruang kota, khususnya ketika Kevin Lynch menelurkan teorinya dalam The Image of the City (1960). Menurut Lynch, ada lima elemen pokok yang digunakan manusia untuk membangun gambaran tentang kota. Kelima elemen tersebut, yaitu jalur (pathways), wilayah (districts), batasan/tepian (edges), tengara (landmark), dan simpul (nodes).
Harmonisasi kelima elemen wajib diperhitungkan saat menata kota sehingga dapat memanen kepuasan masyarakat. Tengara, bagi Lynch, bisa merupakan struktur fisik yang berdiri sendiri, tetapi empat elemen lain pun dapat menjadi landmark kota.
Pada tahun 1984, Lynch memublikasikan teorinya bahwa kota yang ideal bagi penduduknya adalah yang memenuhi enam dimensi. Dalam The Good City Form, Lynch menjabarkan keenam dimensi tersebut, yaitu sense, fit, access, control, efficiency, dan justice.
Baca juga : Akankah Megakota Jakarta Menggeser Tokyo Tahun 2030?
Kota yang baik, menurut Lynch, adalah jika warganya nyaman, senang, juga bangga dengan apa yang dilihat dan dirasakan secara fisik ataupun nonfisik dari ruang urban tempatnya beraktivitas. Warga juga merasa berada di tempat yang tepat dan memiliki akses terhadap fasilitas publik serta hak-hak dasarnya terpenuhi. Selain itu, nyata dapat dirasakan ada kontrol yang tepat dalam penggunaan ruang yang memenuhi unsur efisiensi serta berkeadilan.
Sesuai teori Lynch, membentuk kota yang baik bagi penghuninya tidak bisa bersandar pada satu elemen atau satu dimensi saja. Keberimbangan menjadi patokan mewujudkan kota yang menyenangkan dan berkelanjutan.
Menonjolkan satu elemen atau satu dimensi saja, seperti mengobral pembangunan tengara, memang membuat fisik kota lebih menarik. Namun, hanya ada di permukaan tanpa memberi manfaat lebih kepada masyarakat luas.
Kisah lama
Meskipun masih dianut sampai saat ini, teori Lynch tak selalu dipraktikkan dengan tepat. Di Jakarta saja, sejak pasca-kemerdekaan sampai sekarang, pengaruh politik daerah dan nasional cenderung lebih kuat melatari pembangunan kota daripada perhitungan presisi berdasarkan elemen maupun dimensi Lynch.
Susan Blackburn dalam bukunya, Jakarta, Sejarah 400 Tahun, menuliskan, ”Pada era ini (setelah kemerdekaan) Soekarno memindahkan poros utama kota. Ia bertekad memberikan gambaran modern bagi Jakarta merdeka yang difokuskan di Jalan Thamrin menuju Jalan Sudirman. Daerah ini bersih dari konotasi kolonial, serta akan menampilkan karya-karya hebat para arsitek dan kontraktor Indonesia.”
Sudirman-Thamrin di tahun 1960-an hingga 1970-an adalah koridor besar dan lapang dengan gedung baru di kanan kirinya. Di koridor itu, bermunculan Sarinah, Monas, dan Tugu Selamat Datang yang tergolong megah pada masanya. Tak jauh dari Sudirman-Thamrin, ada Monumen Pembebasan Irian Barat (Lapangan Banteng), Tugu Tani, Masjid Istiqlal, dan Gereja Katedral.
Gelontoran dana untuk membuat Jakarta bukan lagi Batavia, menurut Blackburn, menyisihkan program pembangunan perumahan rakyat dan berbagai fasilitas publik lain. Irisan kue anggaran untuk pembangunan sistem transportasi publik, pipanisasi air bersih, dan pendidikan sangat kecil, atau nyaris tidak ada.
Baca juga : Tren Vakansi Sehat Warga Kota di Tahun 2021
Di masa Orde Baru, Jakarta masih menjadi panggung politik nasional. Contohnya, Patung Arjuna Wijaya di Jalan MH Thamrin yang dibuat pada 1987. Patung itu menyiratkan delapan unsur, yaitu Matahari, Bulan, Bumi, angin, hujan, samudra, api, dan bintang, yang berarti pemimpin yang menghidupi, mengayomi, menjadi teladan, penunjuk arah, dan bijaksana serta berpihak pada kepentingan rakyatnya.
Benarkah pemimpin kita kala itu sesuai dengan gambaran sosok Arjuna? Fakta sejarah sudah bisa menjawabnya.
Nasib tengara
Di masa kini, upaya membawa imaji kota yang makmur merangkul semua warganya melalui tengara-tengara tertentu, ternyata masih digemari. Cara ini jadi jurus andalan ketika diperkuat penyebaran informasi massal melalui media sosial.
Dengan mengabarkan fragmen-fragmen informasi tentang suatu hal yang dilengkapi foto dan video cantik, narasi memikat, serta berjuta pengikut, seorang tokoh akan selalu ada dalam pusaran pembicaraan di dunia maya. Bisa jadi, basis massa di media sosial tersebut merembes ke dunia nyata dan kelak memberi keuntungan lain bagi sang tokoh.
Baca juga : Cara Medellin Menghapus Jejak Hitam Pablo Escobar
Kembali menyoal landmark, dalam Landmarks: GIScience for Intelligent Services (2014), dari berbagai studi di banyak kota, tengara bisa berwujud apa saja dan tiap individu dapat memiliki pengalaman serta tengara sendiri dalam ingatannya akan suatu lokasi di area urban.
Urgensi pembangunan struktur fisik untuk tengara dilandasi banyak alasan. Di masa kini, unsur kepentingan bisnis juga turut mendorong dibangunnya berbagai struktur fisik ikonik yang lantas menjadi tengara. Di sisi lain, terkadang ada struktur fisik yang saat dibangun tidak dimaksudkan menjadi tengara. Namun, dikarenakan berbagai hal, justru menjadi tengara.
Yang umum disadari adalah apa pun bentuk dan besarnya, tengara rentan dan mudah sekali aus. Bahkan, dapat lenyap dari ingatan ketika struktur fisiknya hilang, sengaja dibongkar untuk tujuan tertentu, atau tergantikan struktur fisik lain yang lebih menarik perhatian.
Hanya tengara yang memiliki latar belakang sejarah serta dilatari filosofi yang kuat, memiliki ikatan emosional kokoh dengan masyarakat urban setempat, mengalami pemaknaan ulang yang relevan seiring perubahan zaman, dan melalui proses desain, pemilihan lokasi, serta pembuatan yang baik, dapat berusia panjang serta tertanam makin dalam di memori kolektif warga.
Lalu, bagaimana dengan nasib Tugu Sepeda nanti? Biar waktu yang menjawab.