Mereka Rela Antre dan Menginap demi Bantuan Tunai Rp 1,2 Juta
Pandemi Covid-19 begitu memukul pelaku usaha kecil. Meski hanya Rp 1,2 juta, bantuan langsung tunai atau BLT begitu berharga bagi mereka. Tak heran mereka rela menginap dan menunggu berjam-jam demi mencairkan BLT.
Jam dinding di mushala GOR Pajajaran baru menunjukkan pukul 02.30, masih ada 7,5 jam lagi untuk Ema (64), warga Situ Gede, Bubulak, Bogor Barat, Jawa Barat, menunggu pencairan bantuan langsung tunai gelombang kedua dari program Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Hujan baru saja reda, tubuh Ema meringkuk gemetar menahan embusan angin, jeketnya tak cukup tebal membungkus tubuh ringkihnya. Matanya merah dan berair menahan kantuk dan letih. Baru saja ia mau membaringkan tubuhnya di ubin teras musala, seorang satpam mendekatinya untuk meminta formulir dan kelengkapan persyaratan pencairan BLT sebesar Rp 1,2 juta.
Tak terbayangkan bagi Ema, begitu melelahkan dan merepotkannya mengurus BLT kali ini. Butuh tiga hari bagi Ema untuk mengurus semuanya. Senin, hari pertama, Ema sudah datang sejak pukul 08.00. Apa daya antrean mengular panjang. Setelah menunggu hampir tiga jam berdiri di lapangan sepak bola, ia terpaksa pulang karena kuota pada hari itu sudah penuh. Dalam sehari, hanya dilayani 500 orang atau 500 pencairan BLT.
Selasa, hari kedua ia datang dua jam lebih awal. Saat sudah masuk dalam barisan antrean dan menunggu hampir dua jam lebih, serta sudah berhadapan dengan salah satu satpam BRI, Ema kaget dan bingung karena satpam itu mengatakan, Ema salah masuk antrean.
Emak butuh BLT ini. Enggak apa-apa harus antre, ribet mengurusnya, dan capek karena emak butuh sekali untuk kebutuhan harian. (Ema)
Ema harusnya masuk dalam barisan antrean pengambilan formulir dan nomor antrean terlebih dahulu. Namun, karena ia tidak mendapat informasi yang jelas dan ramainya warga sehingga membuatnya bingung. Ema justru masuk dalam barisan antrean warga yang sudah memiliki kelengkapan persyaratan pencairan BLT, nomor antrean, dan sudah mengisi lengkap formulir. Ema akhirnya harus pulang dengan tangan kosong.
Rabu, hari ketiga, ibu tiga anak itu sudah tiba di GOR Pajajaran pukul 22.30. Padahal, malam itu Kota Bogor diguyur hujan deras. Ia sengaja datang lebih awal agar bisa mendapat nomor antrean lebih awal dan tidak berdiri berjam-jam seperti hari sebelumnya. Ia datang dengan membawa tas kecil berisi minuman dan makan untuk sahur.
”Emak butuh BLT ini. Enggak apa-apa harus antre, ribet mengurusnya, dan capek karena emak butuh sekali untuk kebutuhan harian. Jualan nasi uduk emak selama pandemi ini enggak menentu. Banyak rugi dari pada untung. Sehari pernah enggak laku sama sekali. Sehari kadang hanya dapat Rp 30.000. Emak harus bantu bapak menghidupi ekonomi keluarga. Jika mengandalkan hasil berkebun dari bapak saja tidak cukup,” tutur Ema yang sudah berjualan nasi uduk sejak 1972, Kamis (22/4/2021).
Dari jualan nasi uduk itu pula Ema bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus SMA. Bahkan, anak bungsunya bisa ia kuliahkan. Dengan anak-anak yang telah dewasa, bukan berarti ia bisa menyandarkan hidup pada mereka. Hidup tetap sama-sama masih susah. Dengan usaha nasi uduknya, Ema dulu percaya diri bisa mandiri. Ia tidak menyangka, kini pandemi begitu memukul usahanya.
Baca juga: Di Tengah Puasa dan Pandemi, Warga Miskin Kian Terimpit
Subuh itu, Ema tidak sendiri tidur di mushala GOR Pajajaran. Ada sejumlah warga yang sudah datang lebih dini agar bisa lebih awal mencairkan dana BLT. Salah satunya Amelia (29), warga Pamoyanan, Bogor Selatan, yang sudah tiba pada Rabu sekitar pukul 18.30.
Polanya tidak efektif. Seharusnya tidak dijadikan satu lokasi. Lebih baik dibuka banyak titik dan bank yang mencairkan BLT, tidak hanya BRI. Ini kan justru bahaya, menumpuk ramai, enggak ada protokol kesehatan. (Amelia)
Tidak jauh berbeda dengan kisah Ema, Amelia juga sudah tiga hari mengurus persyaratan pencairan BLT sejak Senin lalu. Ia juga merasakan berdesakan dalam antrean panjang, berdiri berjam-jam di lapangan GOR Pajajaran yang berubah seperti kubangan lumpur, karena hujan dalam beberapa hari terakhir.
Sebenarnya, Rabu siang kemarin, seharusnya Amelia sudah bisa mencairkan dana BLT. Namun, saat mengantre untuk menyerahkan berkas, petugas menolak berkasnya karena belum lengkap dan meminta untuk melengkapinya kembali.
”Itu artinya saya harus ulang ambil nomor antrean lagi. Ya, sudah setelah melengkapi persyaratan dan mengisi saya putuskan harus menginap di GOR agar dapat nomor antrean lebih awal. Saya datang habis maghrib kemarin (Rabu). Saya dapat nomor antrean pukul 23.00 untuk jadwal pencairan BLT pukul 10.00,” tutur ibu dua anak itu.
Amelia menuturkan, ia sudah berusaha mengurus BLT sejak sejak awal April lalu di kantor cabang BRI tak jauh dari rumahnya. Namun, kuota penerima BLT sudah penuh. Ia pun mencari kantor cabang BRI lainnya, hasilnya sama, kuota pencairan sudah penuh. Amelia lalu disarankan untuk datang ke GOR Pajajaran karena dana BLT bisa langsung dicairkan.
”Tahun lalu gelombang pertama BLT, kan, bisa dicairkan di BRI terdekat. Mudah, tidak ribet, antrean tidak panjang. Nah, tahun ini justru diarahin ke satu titik saja di GOR. Akibatnya tumpah ruah seperti ini. Saya juga tidak menyangka bisa seramai ini. Jadi, kami harus antre lama bahkan harus menginap,” tuturnya.
Menurut Amelia, pola pembagian BLT kali ini tidak efektif. Ia menyarankan penyaluran seharusnya tidak di satu lokasi. Lebih baik dibuka banyak titik dan bank yang mencairkan BLT tidak hanya BRI, semua bank harus terlibat, pemerintah harus melibatkan semua bank. Bank BRI Ini kan justru bahaya, mnumpuk ramai, enggak ada prokes (protokol kesehatan),” katanya.
Meski begitu, Amelia tetap bersyukur dan berterima kasih bisa menerima BLT sebesar Rp 1,2 juta. Program bantuan ini sangat dibutuhkan pelaku usaha seperti Amelia. Sejak awal pandemi hingga saat ini, usaha mi ayam Amelia ikut terdampak. Pembatasan aktivitas jam usaha dan aktivitas warga membuat warungnya tidak lagi ramai seperti tahun-tahun sebelumnya.
Di masa pandemi, kata Amelia, pendapatan harian dari usaha mi ayamnya tidak menentu. Dalam sehari, rata-rata ia hanya bisa menjual 10-30 mangkok atau rata-rata penghasilan Rp 150.000-Rp 250.000. Namun, tidak jarang usahanya hanya laku 5 mangkok saja.
”Jika dibandingkan BLT tahun lalu, tahun ini lebih kecil, hanya Rp 1,2 juta. Tahun lalu dapat Rp 2,4 juta. Namun, bantuan Rp 1,2 juta ini sangat bermanfaat untuk saya. Uang ini akan saya putar untuk modal usaha dan sedikit untuk kebutuhan harian. Jujur pandemi bisa segini mengguncang dan berdampak besar. Makanya, saya tetap bersyukur bisa dapat BLT,” tutur Amelia.
Dampak pandemi
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, pandemi memukul sejumlah sektor usaha, termasuk pelaku usaha kecil. Data menunjukkan sektor ekonomi turun 6,57 persen, pengangguran naik 3,6 persen, tingkat kemiskinan naik 0,91 persen menjadi angka 6,68 persen. Sejumlah 77 persen warga mengalami pengurangan penghasilan, 37 persen mengalami pemutusan hak kerja, dan 19 persen warga harus menjual asetnya untuk bertahan hidup.
Selain bantuan BLT gelombang kedua dari program BPUM Kementerian Koperasi dan UKM untuk 77.911 UKM di Kota Bogor, pihaknya mengambil langkah untuk meningkatkan sektor-sektor yang minus karena pandemi. Di antaranya fokus pada pemulihan ekonomi atau mengurangi pengangguran melalui padat karya pada program-program pemerintah. Dalam waktu dekat, untuk meningkatkan promosi UMKM, Pemkot Bogor akan meluncurkan program wirausaha atau UMKM milenial dengan target mencetak 1.000 wirausaha milenial baru.
Pemkot Bogor juga mengambil langkah penanggulangan dampak pandemi, seperti bantuan sosial untuk 90.000 warga miskin sebesar Rp 44 miliar. Selain itu, bantuan iuran BPJS untuk 200.000 warga senilai Rp 90 miliar dari APBD Kota Bogor dan Jawa Barat, serta Wi-Fi gratis untuk sekolah daring di 797 titik senilai Rp 6 miliar, insentif bagi 797 RW Siaga senilai Rp 2,3 miliar.
Ada pula pengembangan wisata alam Mulyaharja senilai Rp 2,3 miliar, pembukaan pusat UKM Dekranasda yang membina 485 UKM, program rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni (RTLH) sebanyak 5.512 rumah, insentif bagi 2.596 guru ngaji, bantuan kepada 500 keluarga Program Jaga Asa, dan 922 unit sarana kesehatan di RSUD senilai Rp 68 miliar.
Dampak pandemi tidak hanya terjadi di Kota Bogor, secara keseluruhan semua wilayah juga sangat berdampak besar. Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama hampir satu tahun membuat semakin banyak masyarakat jatuh miskin.
Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk miskin per September 2020 naik 2,76 juta orang menjadi 27,55 juta orang atau setara dengan 10,19 persen dari total penduduk dibandingkan tahun lalu.
Kemiskinan naik di hampir semua provinsi pada periode September 2019 sampai September 2020 dengan peningkatan penduduk miskin di wilayah perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di daerah perkotaan, jumlah penduduk miskin naik 1,32 persen, sedangkan di perdesaan naik 0,60 persen. Meski demikian, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan lebih parah daripada perkotaan.
BPS mencatat, dalam waktu setengah tahun, indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,61 pada Maret 2020 menjadi 1,75 pada September 2020. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,38 pada Maret 2020 menjadi 0,47 pada September 2020.
Baca juga: Penduduk Miskin RI Bertambah 2,76 Juta Orang
Pandemi berdampak pada 29,12 juta pekerja Indonesia. Sebanyak 2,56 juta orang kehilangan pekerjaan dan menganggur akibat Covid-19, sementara 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja. Ada pula 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja karena Covid-19 dan 760.000 orang yang teridentifikasi bukan angkatan kerja karena Covid-19.
Berbagai bantuan dari pemerintah pusat dan daerah bagi warga terdampak pandemi sangat berarti serta amat diapresiasi. Meskipun demikian, cara penyaluran bantuan diharapkan diperbaiki agar tidak menambah susah mereka yang tengah kesusahan.
Setelah berjam-jam, bahkan harus menginap dan sahur di GOR Pajajaran, wajah Amelia, Ema, dan warga lainnya yang mulai lelah tampak semringah. Di tangan mereka memang BLT senilai Rp 1,2 juta. Banyak warga yang mengaku uang itu tidak besar, tetapi keceriaan menerima uang tidak bisa mereka tutupi. Uang itu begitu berarti dan menjadi penolong sementara di tengah usaha atau bisnis mereka yang lesu selama pandemi.