Kampung Susun dan Hak Warga atas Hunian Layak
Fenomena penataan kampung kota yang menjadi bagian dari kontrak politik pemimpin daerah dinilai wajar terjadi di tengah kondisi pertanahan di Indonesia yang belum merangkul warganya yang terpinggirkan.
Penataan 21 kampung di Ibu Kota memang membantu menyelesaikan masalah permukiman kurang layak yang ada saat ini. Akan tetapi, harus ada pemikiran ke depan untuk menyusun hunian layak dan terjangkau bagi para pendatang di Jakarta yang perencanaannya bebas dari kontrak politik dan berbasis perhitungan pertumbuhan wilayah aglomerasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Saat ini pembenahan kampung diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 878 Tahun 2018 mengenai Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat. Di dalamnya dicantumkan nama 21 kampung di seluruh wilayah Jakarta yang menjadi prioritas. Kampung Aquarium di Penjaringan, Jakarta Utara, mungkin merupakan wilayah yang paling banyak dikabarkan di media arus utama.
Selain Aquarium, Kampung Kunir di Kelurahan Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat, juga masuk dalam daftar tersebut. Mereka juga bermaksud membangun kampung susun yang rancang bangunan serta pemanfaatan lahannya dilakukan oleh warga dengan dampingan dari akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
”Kampung susun ini berbeda dengan rumah susun karena bangunannya tidak tinggi dan unit di dalamnya sesuai dengan jumlah keluarga yang terdaftar,” kata Ketua Koperasi Kampung Kunir Pinangsia Sejahtera Marsha Chaerudin ketika ditemui pada hari Rabu (21/4/2021).
Kesepakatan penataan Kampung Kunir memang lahir dari kontrak politik dengan salah satu kandidat gubernur saat itu. (Marsha Chaerudin)
Pada tahun 2015, sebanyak 76 keluarga di Kunir digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka awalnya tinggal di sepanjang anak Sungai Ciliwung meskipun tidak di bantaran karena dari tanggul sungai ke rumah warga ada jalan selebar dua mobil berjajar rapat.
Alasan penggusuran adalah karena warga menduduki tanah negara dan di wilayah itu akan dibangun jalur tembus ke jalan raya. Warga tidak menerima keputusan begitu saja. Selama dua tahun mereka tetap berkomunikasi meskipun telah mengontrak rumah di wilayah yang berbeda-beda, termasuk Marsha yang terpaksa pindah ke Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tawaran awal dari Pemprov DKI Jakarta ialah memindahkan warga ke Rusun Pesakih di Cengkareng, Jakarta Barat, yang ditolak warga karena terlalu jauh dari tempat mereka bekerja.
Momen pemilihan gubernur pada tahun 2016 menjadi kesempatan bagi warga untuk mencari calon kepala daerah yang mau mendengar aspirasi mereka. ”Kesepakatan penataan Kampung Kunir memang lahir dari kontrak politik dengan salah satu kandidat gubernur saat itu,” kata Marsha.
Baca juga: Pembangunan Kota yang Inklusif Wajib Libatkan Partisipasi Masyarakat
Menurut dia, pada intinya warga tidak menolak pembangunan, tetapi juga tidak mau tersisih dari pembangunan. Mereka ingin terlibat dan dilihat sebagai potensi, bukan sebagai masalah karena status sosial-ekonomi yang miskin. Gubernur Anies Baswedan pada tahun 2018 menyetujui rencana penataan kampung ini dan membangun hunian sementara untuk 33 keluarga yang memutuskan untuk tinggal di Kunir.
Pada Februari 2021 warga mencapai kesepakatan agar hunian sementara itu diganti bangunan permanen dengan konsep kampung susun. Marsha menjelaskan, kampung ini dibangun empat tingkat dan hanya untuk 33 keluarga yang sudah tercatat sebagai warga Kunir. Sistem pengelolaannya memakai koperasi sehingga gedung itu memiliki sertifikat hak guna walaupun berdiri di atas tanah negara.
”Semua warga Kunir menjadi anggota koperasi. Jika ada satu keluarga memutuskan pindah ke tempat lain, unit kampung susunnya tidak boleh dijual ke orang luar, tetapi dikembalikan ke koperasi yang akan memberi dia kompensasi. Nanti koperasi akan memberikan unit kosong tersebut kepada keluarga baru yang sebelumnya harus mendaftar dulu sebagai anggota koperasi,” papar Marsha.
Koordinator Wilayah Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) untuk Kampung Kunir, Susanto, mengatakan, akhir bulan Mei, hunian sementara itu akan dirobohkan dan per Juli pembangunan kampung susun permanen dimulai. Warga oleh pemprov diizinkan mendirikan hunian sementara seperti bedeng-bedeng di sepanjang anak Sungai Ciliwung. Koperasi dan JRMK bertindak sebagai pengawas dan pemasti bahwa ketika kampung susun selesai, 33 keluarga itu pindah ke kampung susun dan membongkar rumah sementara itu.
Mengganti rumah
Di Blok Eceng Muara Angke, Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, warga juga tengah menyusun konsep kampung susun mereka. Kampung ini mengakomodasi kebutuhan warga yang bekerja di sektor perikanan, seperti nelayan tradisional, buruh nelayan, buruh tempat pelelangan ikan, dan pelaku pengolahan limbah ikan.
Ketua Koperasi Blok Eceng, Muslimin atau Miming, mengungkapkan, kampung itu tidak masuk dalam prioritas Kepgub DKI No 878/2018, tetapi telah mengajukan surat kepada Pemprov agar dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Pada tahun 2018, Blok Eceng hendak digusur karena lahannya diperuntukkan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah Zona II.
”Memang warga tidak punya bukti kepemilikan tanah, tetapi, kan, ada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Isinya kalau warga sudah 20 tahun berturut-turut menempati sebuah lokasi yang tidak bersertifikat dan dengan itikad baik boleh mengajukan kepemilikan atas tanah itu, yang jelas kami tidak mau dipindah ke rusun karena jauh dari laut yang jadi mata pencaharian,” ujarnya.
Mereka difasilitasi oleh Pemprov Jakarta apabila bisa dilibatkan dalam pembangunan. Warga menyadari kondisi permukiman mereka jauh dari ideal karena padat, kumuh, dan tergenang air. Akan tetapi, mereka ingin supaya diberdayakan dan ditingkatkan kualitas kehidupannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan, jika warga sudah 20 tahun berturut-turut menempati sebuah lokasi yang tidak bersertifikat dan dengan itikad baik boleh mengajukan kepemilikan atas tanah itu. (Muslimin)
Menurut Miming, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Jakarta memberi peta zonasi Muara Angke. Warga tidak boleh membangun di bawah saluran ultra tegangan tinggi (sutet) dan di bantaran Sungai Angke. Oleh sebab itu, warga setuju dan meminta konsolidasi lahan di sebelah gedung kantor Dinas Perhubungan yang jaraknya sekitar 200 meter dari Blok Eceng.
Sama seperti di Kunir, konsepnya juga kampung susun yang dikelola oleh koperasi warga. Perbedaannya, kampung baru ini merupakan kombinasi rumah tapak dan rusun. Dari 250 rumah di Blok Eceng, ada sejumlah warga yang luas bangunannya di atas 1.000 meter persegi.
Di lahan baru nanti mereka akan memperoleh rumah tapak yang luasnya dikurangi 20 persen dari rumah yang sekarang. Akan ada tiga tipe rumah tapak, yaitu tipe 36 meter persegi, 28 meter persegi, dan 21 meter persegi. Jika rumah asli warga tersebut besar, selain memperoleh rumah tapak baru, mereka juga akan mendapat beberapa unit rusun sehingga jika dulu dalam satu rumah ada 2-3 keluarga, setiap keluarga akan menempati unit tersendiri. Khusus warga yang rumah aslinya adalah tipe 21 ke bawah, mereka akan memperoleh unit rusun.
”Kami mengajukan kampung susun lima lantai sesuai dengan jumlah keluarga, tetapi Asisten Pembangunan Pemprov DKI Jakarta waktu itu, Yusmada Faizal, bilang, kampung susun bisa lebih dari lima lantai, 10 sampai 15 lantai juga boleh supaya nanti kalau ada anak warga yang menikah dan berkeluarga bisa menempati unit-unit baru,” kata Miming.
Baca juga: Penataan Kampung dan Aneka Pertanyaan Tak Terjawab
Selain kampung susun, warga juga merancang lokasi penjemuran ikan dan pengolahan limbah ikan menjadi pelet ternak. Selama ini mereka tidak memiliki fasilitas layak untuk mengolah buangan dari pelelangan ikan sehingga berantakan dan kotor.
Salim, warga Blok Eceng yang bekerja sebagai nelayan tradisional penangkap rajungan, mengatakan, adanya koperasi juga bisa mengembangkan unit-unit usaha untuk membantu nelayan, seperti perlengkapan nelayan dan pemasaran tangkapan. Koperasi juga telah menyetujui para nelayan akan memperoleh unit kampung susun yang jaraknya paling dekat ke pesisir Kali Angke sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan perahu mereka.
Masalah sekarang dan nanti
Peneliti kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rusli Cahyadi, menerangkan, konsep kampung susun ini memang menyelesaikan masalah perkampungan yang sudah ada, tetapi tidak mengantisipasi masalah yang akan datang. Kampung kota dalam pengertian hakiki ialah wilayah yang dinamis dan berkembang secara organik karena pertumbuhan penduduk. Misalnya, anak yang telah dewasa dan berkeluarga akan membangun rumah sendiri di dekat rumah orangtua atau bahkan membagi rumah orangtuanya menjadi dua.
”Konsep kampung kota, meskipun secara jargon mempromosikan kekerabatan, sistem permukimannya modern dan rigid secara administratif. Setiap penghuni harus terdaftar dan menjadi anggota koperasi, orang luar kemungkinan besar tidak bisa masuk dan tinggal di sana. Ini menjadi permukiman eksklusif seperti kompleks dan kluster perumahan masyarakat kelas menengah dan atas,” ucapnya.
Kampung kota dalam pengertian hakiki ialah wilayah yang dinamis dan berkembang secara organik karena pertumbuhan penduduk.
Sebagai penyelesaian problema kampung kumuh, langkah ini memang relatif efektif, tetapi juga harus dipikirkan kemungkinan pertumbuhan penduduk. Contoh sederhana ialah jika warga kampung susun anak-anaknya sudah dewasa dan berkeluarga, mereka belum tentu mendapat unit di dalam bangunan tersebut karena semuanya sudah penuh.
”Ke mana mereka harus mencari hunian? Bagaimana dengan para pendatang dari wilayah lain yang melakukan urbanisasi ke Jakarta demi mencari pekerjaan walau serabutan? Ini yang harus dipikirkan, tidak hanya oleh Jakarta, tetapi juga Jabodetabek secara keseluruhan,” kata Rusli.
Apabila Jakarta membenahi semua kampungnya menjadi kampung susun, warga yang mencari hunian baru akan beralih ke Bodetabek. Oleh sebab itu, koordinasi pembangunan hunian layak dan terjangkau di Bodetabek sudah harus dilakukan sejak sekarang.
Terkait dengan penataan kampung sebagai kontrak politik dengan pemerintah, Rusli menyatakan itu fenomena wajar dari sistem pertanahan saat ini yang memang belum mengikutsertakan kelompok marjinal dalam pembangunan sehingga mereka tidak ada pilihan selain mengokupasi lahan demi mendapat hunian. Apalagi ada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan di sisi lain juga terdapat perusahaan swasta yang menguasai lahan-lahan besar selama belasan tahun yang tidak dimanfaatkan tetapi dibiarkan oleh pemerintah. Kebijakan tata ruang juga perlu dibenahi.
Baca juga: Optimalkan Kolaborasi Hingga ke Akar Rumput