Di masa lampau, sungai jadi tempat lahirnya peradaban-peradaban besar. Kini, sungai perlahan mulai dilupakan. Masyarakat kian tak acuh dan memunggungi sungai, menjadikannya bagian antara ada dan tiada dalam kehidupan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·7 menit baca
Pagi belum sepenuhnya sempurna, tapi 20 pria paruh baya sudah berbaris rapi di hamparan tanah berumput di Kampung Wisata Kranggan, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (11/4/2021). Hari itu mereka bakal mengikuti kegiatan susur Sungai Cisadane yang juga merupakan bagian dari peringatan Hari Bumi 2021.Kegiatan ini diadakan oleh Link Care Cisadane, perkumpulan lintas komunitas yang menaruh perhatian terhadap isu-isu lingkungan.
Setelah mendapat beberapa pengarahan dari panitia, mereka meninggalkan Kampung Wisata Kranggan untuk menuju Cisawang, Jawa Barat. Susur sungai mengambil posisi awal di Cisawang yang dipatok menjadi bagian hulu kegiatan tersebut. Petualangan susur sungai dimulai dari Cisawang, kemudian menuju dermaga di Kampung Wisata Kranggan, dan berakhir di kawasan Gading Serpong.
Sesampainya di tepian Sungai Cisadane di Cisawang, tujuh perahu karet sudah menanti. Peserta susur sungai kemudian membagi tim dan memilih perahu mana yang akan mereka tumpangi. Cuaca pagi itu cukup terik, pancaran sinar matahari seakan membakar kulit wajah. Namun, mereka tetap antusias mengenakan pelampung, mengambil dayung, dan kemudian menggiring perahu menjauhi daratan.
Bukannya enggak boleh bangun perumahan di dekat sungai begini, ya? (Oki)
Awal mula perjalanan mengarungi sungai, air mengalir tenang dan menghanyutkan. Suasana sekitar sepi, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan bermotor. Hanya terdengar suara serangga yang memekik bersahut-sahutan di tengah cuaca panas. Melodi serangga berpadu dengan gemercik air sungai menjadi semacam katarsis bagi jiwa-jiwa yang merindukan kesunyian.
Ketenangan segera beranjak begitu perjalanan memasuki area sungai berarus deras. Peserta susur sungai berusaha sekuat tenaga mengendalikan laju perahu agar tak terantuk batu atau terbalik karena dihantam arus. Kadang kala perahu karet berputar beberapa kali di atas air karena sebagian peserta tak kuasa mendayung perahu dan mengendalikan laju perahu.
Perjalanan mengarungi sungai itu agak terganggu dengan banyaknya sampah di kanan dan kiri sungai. Ada sampah plastik, bekas makanan ringan, botol, bungkus detergen, dan ranting kayu. Beberapa sampah tampak menumpuk dan sebagian di antaranya telah mengeras dan menyatu dengan tanah.
Begitu memasuki tiga perempat perjalanan, para peserta sibuk membahas sebuah perumahan baru yang berdiri di bantaran Sungai Cisadane. ”Bukannya enggak boleh bangun perumahan di dekat sungai begini, ya?” bisik Oki, salah seorang peserta susur sungai.
Potensi besar
Pelopor dan pendiri Link Care Cisadane, Alwani, mengemukakan, kegiatan sisir sungai bertujuan melihat serta menggali potensi besar yang belum dimanfaatkan dari Sungai Cisadane. Peserta juga diharapkan bisa semakin menyadari arti penting menjaga kelestarian lingkungan. Menurut Alwani, Sungai Cisadane menghadapi sejumlah masalah, antara lain, pencemaran limbah, pendangkalan, serta penyempitan sungai.
Keberadaan perumahan elite yang mulai mengambil tempat di bantaran sungai bagi Alwani adalah bentuk pelanggaran. Itu juga menandakan betapa keberadaan sungai diacuhkan, dinilai semakin tidak penting.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, pada pasal 15 di aturan itu menyebutkan jika terdapat bangunan dalam sempadan sungai, bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.
Untuk garis sempadan sungai tak bertanggung di dalam kawasan perkotaan ditetapkan paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter. Semakin dalam sungai, maka jaraknya semakin jauh. Sementara untuk sungai bertanggul dalam perkotaan ditentukkan paling sedikit berjarak 3 meter.
”Kami khawatir nanti ke depannya Cisadane ini hanya sebatas nama. Nantinya makin sempit, kotor, dan tercemar dengan limbah-limbah,” ujar Alwani.
Fenomena itu juga ditangkap oleh pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga. Nirwono, di harian ini pada 13 Januari 2019, berpendapat, selama ini kebijakan tata kota cenderung tidak menghargai kesinambungan hidup air. Danau (situ), sungai, dan tepi pantai menjadi ”halaman belakang” yang kotor dan tempat membuang limbah, sampah, serta hajat.
Di beberapa kota besar di Indonesia, badan sungai menyempit dipenuhi bangunan tidak berizin. Sungai mendangkal akibat penggundulan hutan di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ yang menjadi tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai justru diuruk atas nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang sampah.
Air pun berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai dan saluran air penuh sampah, berwarna hitam pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber penyakit lingkungan seperti kolera, diare, gatal-gatal, dan demam berdarah. Air sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air pasang di tepi pantai (rob) dan pada musim hujan air sungai meluber membanjiri kota.
”Lanskap kota tak akan bertahan tanpa air yang lestari. Sejarah mencatat, kota-kota besar dunia, beradab, dan masyhur adalah kota-kota yang dibangun dekat sumber air,” kata Nirwono.
Dinamika antara sungai dan manusia juga dijelaskan dalam buku A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories (2007). Dalam buku tersebut beberapa kali disebutkan masyarakat terbiasa memandang sungai sebagai berkah, tetapi juga penghancur kehidupan. Sungai lantas lebih banyak direkayasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sungai tidak ditempatkan sewajarnya sebagai bagian dari alam dan memiliki hak berbagi ”hidup” yang sama dengan manusia.
Salah seorang warga Kranggan, Kota Tangerang Selatan, Banten, Supiah (64), menyebut Cisadane amat berarti dalam kehidupan warga seperti dirinya yang hidup di tepi sungai. Saat kemarau, air tanah dan sumur warga mengering. Cisadane kemudian menjadi sumber air bagi warga untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Saat kemarau, air tanah dan sumur warga mengering. Cisadane kemudian menjadi sumber air bagi warga untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
”Ada juga warga yang sering mancing di Cisadane, ikannya buat lauk makan keluarga,” kata Supiah.
Di sisi lain, Sungai Cisadane juga mulai tak bersahabat dengan manusia. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten dari daerah pemilihan Tangerang Selatan, Yudi Budi Wibowo, mengaku beberapa kali mendapat keluhan dari warga sekitar Cisadane yang dilanda banjir.
Kebanyakan keluhan itu berasal dari warga di wilayah Kecamatan Setu. Beberapa perumahan yang berdiri di sekitar Cisadane terdampak banjir. ”Mereka meminta ada normalisasi sungai,” kata Yudi saat dihubungi.
Dari apa yang ia amati, Yudi mengakui mulai ada pendangkalan di beberapa lokasi Sungai Cisadane. Kondisi itu yang mengakibatkan luapan air merangsek ke permukiman penduduk pada saat musim hujan.
Daripada menghadirkan bencana, bila dikelola dengan baik, Cisadane menurut Yudi bisa dioptimalkan menjadi sarana transportasi air. Caranya dengan membangun dermaga dan menyediakan perahu-perahu.
Ide lainnya datang dari Alwani yang memiliki visi memunculkan sejumlah obyek wisata baru di sekitar bantaran Sungai Cisadane. Langkah awal sudah ia mulai dengan mendirikan Kampung Wisata Kranggan. Di sana masyarakat bisa menikmati keindahan Cisadane sekaligus belajar memasak olahan pangan lokal dan menikmatinya di saung-saung yang telah disediakan.
”Dengan adanya wisata-wisata baru di tepian sungai, masyarakat bisa merasakan dampak ekonominya. Hidup dari Cisadane. Harapannya mereka pun jadi sadar betapa pentingnya merawat Cisadane. Menghancurkan Cisadane artinya juga membuat mereka kehilangan mata pencarian,” tutur Alwani.
Mulainya peradaban
Di masa lampau, sungai telah menjadi tempat di mana peradaban dimulai. Di tepi Sungai Indus, pada 2800-1800 sebelum Masehi, mekar peradaban yang sekarang dikenal sebagai Peradaban Harappa dan Mohenjodaro. Di lembah Sungai Gangga, berdiri peradaban Aria yang melahirkan agama Hindu dan mewariskan kitab suci Weda.
Demikian pula dengan Sungai Cisadane yang menjadi sumber penghidupan orang banyak di masa lampau. Selama berabad-abad lamanya, dahulu aliran Cisadane dimanfaatkan para pedagang untuk berlayar ke Tangerang.
Panjang Sungai Cisadane mencapai 126 kilometer dari hulu di Gunung Pangrango dan Salak di Jawa Barat. Dari hulu, air sungai mengalir hingga ke hilir di Kecamatan Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang, Banten.
Budayawan Udaya Halim menjelaskan, sejak abad ke-16 Cisadane menjadi jalur transportasi untuk perdagangan. Komoditas balok, pasir, kerikil, dan garam serta produk pertanian warga Tangerang dijual ke Jakarta melalui Cisadane.
Hingga tahun 1990-an, sungai ini masih menjadi akses perdagangan dan pengiriman bambu dari Bogor ke Tangerang. Hingga kini, Cisadane masih menjadi sumber kehidupan warga, termasuk para nelayan. Airnya menjadi bahan baku air bersih perusahaan daerah air minum di Tangerang Raya.
Dalam buku Rivers of The Anthropocene (2017) dikatakan, manusia akan selamanya bergantung pada sungai karena sungai adalah sumber air dan banyak aktivitas penting lain yang bersandar padanya, termasuk menjaga keseimbangan bumi. Namun, pada masa era sekarang dan di masa depan, dibutuhkan simbiosis mutualisme antara manusia dan sungai. Jika tidak, kelangsungan sungai dan manusia juga tidak terjamin.
Oleh sebab itu, kurang tepat rasanya jika kita selalu memunggungi sungai. Perspektif itu pelan-pelan harus diubah. Kita harus menempatkan sungai sebagai ”halaman depan” yang harus selalu dilihat dan tidak boleh dilupakan.