Warga Cipinang Melayu Mau Lahan Dibebaskan, tetapi Terhalang Administrasi
Banjir akibat meluapnya Kali Sunter di kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu lalu membuka masalah pembebasan lahan untuk normalisasi sungai itu yang tersendat. Kali ini, ganjalan datang dari pemerintah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembebasan lahan di Kelurahan Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, sudah berjalan sejak tahun 2014. Dari sisi warga pun tidak ada penolakan. Akan tetapi, masalah justru datang dari pihak pemerintah yang mempermasalahkan kelengkapan surat resmi mengenai status kepemilikan lahan sehingga sampai sekarang pembebasan lahan tidak bisa tercapai secara menyeluruh.
Pada Kamis (15/4/2021) sore di RW (rukun warga) 004 Kelurahan Cipinang Melayu masih tampak sisa-sisa banjir yang berlangsung sampai pukul 02.00. Dinding-dinding rumah menunjukkan bayangan basah setinggi 1 meter. Di rumah-rumah warga berbagai barang, seperti sofa, karpet, dan seprei, dijemur di garasi ataupun di atas pagar.
Menurut pengakuan Tamiah, salah satu warga RW 004, sejak Februari sudah terjadi tiga kali banjir. Semuanya dengan ketinggian mencapai 1 meter. Penyebabnya juga sama, hujan lebat mengakibatkan air Kali Sunter yang terletak 50 meter dari rumahnya meluap. Biasanya petugas dari kelurahan dan pemadam kebakaran memompa air ke Kalimalang yang terletak di dataran lebih tinggi.
Tahun 2014 dari pihak RW mengajukan 69 bidang berupa rumah ataupun tanah kosong ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk dibebaskan. (Irwan Kurniadi)
Penjelasan lebih lengkap dikemukakan Ketua RW 004 Cipinang Melayu Irwan Kurniadi. Sejatinya gagasan mengenai pembebasan lahan untuk normalisasi Kali Sunter telah berlangsung sejak tahun 2014. Warga juga menyetujui ide itu karena beban untuk tinggal di bantaran sungai dan terkena banjir setiap kali hujan deras sangat berat.
”Tahun 2014 dari pihak RW mengajukan 69 bidang berupa rumah ataupun tanah kosong ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk dibebaskan,” katanya.
Menurut dia, juru ukur dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta dan Dinas Sumber Daya Air (SDA) telah datang dan melakukan pengukuran serta menyetujui 69 bidang yang diusulkan itu. Akan tetapi, pada 2017 baru 21 bidang yang berhasil dibebaskan dan menerima ganti rugi.
Tahun 2019 pihak RW 004 mengajukan 18 bidang dan hanya 6 bidang yang dibebaskan. Sekarang mereka mengajukan 23 bidang lagi untuk dibebaskan, tetapi belum ada tanggapan dari BPN Jakarta ataupun dinas SDA. Artinya, masih ada 42 bidang lahan yang menunggu pembebasan.
Masalah berkas
Irwan mengungkapkan, permasalahan mandeknya pembebasan lahan karena ketidaklengkapan berkas. Warga tidak memiliki sertifikat hak milik, sebagai gantinya mereka memiliki surat girik ataupun akta jual beli (AJB). Ketika surat-surat ini diajukan kepada BPN, ternyata warga tidak memiliki bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
”Ketika kami cek ke warga, memang banyak dari mereka yang menunggak PBB. Ada yang menunggak selama lima tahun, bahkan ada yang sampai 15 tahun. Saat BPN menyuruh mereka melunasi PBB agar pembebasan lahan bisa diproses, warga keberatan karena mereka umumnya pekerja serabutan yang tidak memiliki uang tunai sebanyak itu,” tuturnya.
Namun, Irwan mengatakan, warga bersikap kooperatif. Mereka justru menyatakan bersedia uang ganti rugi dari BPN dikurangi jumlah sesuai tunggakan PBB asalkan pembebasan tanah segera dilakukan.
Selain itu, juga ada persoalan ketidaksesuaian nama di surat girik atau AJB dengan nama pemilik tanah saat ini. Hal ini terjadi karena pemilik tanah yang baru tidak pernah mengurus surat ganti nama ketika membeli tanah atau rumah dari pemilik sebelumnya. Bahkan, ada pemilik tanah yang rutin membayar PBB tetapi tetap tidak bisa dibebaskan lahannya karena nama yang tertera di AJB berbeda dengan nama di tanda pembayaran PBB.
”Bisakah pemerintah tidak kaku dalam mengurus pembebasan lahan? Kan mereka yang butuh lahannya. Warga merasa dipersulit. Mungkin kami bisa diberi pendampingan,” kata Irwan.
Berkas penyerta
Pakar hukum pertanahan Universitas Trisakti, Endang Pandamdari, memaparkan bahwa BPN wajib berhati-hati dalam mengurus pembayaran pembebasan lahan. Penerima uang ganti rugi harus orang yang namanya tertera di surat girik ataupun AJB. Apabila ganti rugi dibayarkan kepada orang selain nama itu, BPN justru melanggar aturan dan bisa dikenakan sanksi pidana.
Jalan tengah yang bisa diambil ialah dengan melibatkan Lurah Cipinang Melayu serta Camat Makasar sebagai penjamin keabsahan informasi. Mereka sebaiknya menginventarisasi ulang mengenai jumlah warga yang terkendala penunggakan PBB. Orang-orang ini kemudian membuat surat penyataan bahwa mereka tidak mampu melunasi tunggakan PBB karena tidak punya uang. Oleh sebab itu, mereka bersedia tagihan PBB dipotong dari uang ganti rugi. Surat-surat pernyataan ini dicap oleh lurah dan camat.
”Jadi jangan cuma pernyataan lisan warga bersedia uang ganti ruginya dipotong. Harus ada dokumen resmi yang ditandangani pihak berwenang, baru diserahkan kepada BPN,” kata Endang.
Terkait perbedaan nama di AJB dengan pemilik saat ini, Endang menjelaskan bisa diselesaikan dengan membuat surat pernyataan dari pemilik. Isinya menjabarkan bahwa pemilik itu telah tinggal di rumah tersebut dengan menyebut jangka waktu yang jelas. Tetangga dan ketua rukun tetangga turut menandatangani surat itu sebagai saksi, kemudian surat dicap oleh lurah dan camat.
Sejak akhir tahun 2020, Dinas SDA Jakarta yang saat itu masih dikepalai Juaini Jusuf menyatakan akan membebaskan lahan di bantaran sungai Ciliwung, Sunter, Jatikramat, Pesanggrahan, dan Angke. Program ini dilanjutkan ketika Kepala Dinas SDA diambilalih oleh Yusmada Faizal sejak awal tahun 2021.
Menurut Yusmada, ketika dilantik pada Februari, di kelima ruas sungai itu ada 630 bidang lahan yang telah dipetakan dan harus dibebaskan. Pembangunan tanggulnya akan dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane.