Selama Pandemi, Penumpang Angkutan Umum Turun 58,44 Persen
Pada era adaptasi baru, kepercayaan publik harus ditumbuhkan dengan berbagai inovasi yang menjamin kesehatan penumpang agar warga mau naik angkutan umum lagi.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19, jumlah penumpang harian angkutan umum semua moda di DKI Jakarta turun hingga 58,44 persen. Dinas Perhubungan DKI Jakarta berupaya mengubah kebijakan untuk membangun kembali kepercayaan pengguna. Hal serupa dilakukan para operator angkutan umum yang berinovasi untuk menarik kembali minat pengguna.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dalam webinar ”Tiga Tahun LRT Jakarta, Tantangan Integrasi dan Interaksi Transportasi Publik Pasca-Covid-19”, Rabu (14/04/2021), menjelaskan, sejalan dengan merebaknya pandemi Covid-19, untuk menjamin keselamatan dan kesehatan berangkutan umum, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan protokol kesehatan secara total di angkutan umum. Salah satu aturan yang diterapkan adalah pembatasan jumlah penumpang hingga 50 persen serta aturan menjaga jarak, mencuci tangan, hingga memakai masker.
Untuk penumpang harian, baik dari total yang diangkut Transjakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan KRL, mengalami penurunan sebesar 58,44 persen dari masa normal.
Penerapan kebijakan itu dalam satu tahun pandemi, Dishub DKI mencatat terjadi perubahan jumlah penumpang yang diangkut oleh layanan angkutan umum massal Jakarta. Pada periode normal tanpa pandemi, total penumpang harian yang diangkut oleh Transjakarta, MRT Jakarta, KRL, dan LRT Jakarta 2,092 juta penumpang per hari. Pada pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro saat ini, jumlahpenumpang rata-rata harian menjadi 869.550 orang per hari.
”Untuk penumpang harian, baik dari total yang diangkut Transjakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan KRL, mengalami penurunan sebesar 58,44 persen dari masa normal,” kata Syafrin.
Terjadinya penurunan jumlah penumpang di semua moda, menurut Syafrin, menunjukkan kebijakan pembatasan jumlah penumpang dan protokol kesehatan untuk menekan persebaran virus korona baru di angkutan umum berjalan.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam webinar itu juga membenarkan adanya penurunan tren mobilitas selama pandemi. Meski begitu, pemerintah berkomitmen transportasi umum harus tetap beroperasi.
Namun, dengan adanya pandemi, transportasi umum menghadirkan budaya baru karena layanan diberikan dengan memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan.
”Demikian juga perilaku mobilitas di LRT Jakarta, harus diamankan dengan cara yang teliti, konservatif, melihat fakta, dan memberikan inovasi,” kata Budi Karya.
G Indarto Wibisono, Direktur Operasi dan Perawatan PT LRT Jakarta, dalam webinar itu menjelaskan, pandemi sudah menurunkan jumlah penumpang LRT. Sebanyak 75 persen penumpang beralih menggunakan kendaraan yang lebih privat. Di sisi lain, belanja LRT Jakarta tinggi untuk memastikan kebersihan dan kesehatan di sarana-prasarana LRT Jakarta.
Menuju era adaptasi baru dan pascapandemi, Dishub DKI Jakarta bersama operator angkutan berupaya mengembalikan kepercayaan pengguna untuk mau kembali menggunakan angkutan umum. Apalagi, pada masa adaptasi baru, protokol kesehatan tetap diminta untuk diterapkan secara ketat.
Untuk Dishub DKI, kata Syafrin, kebijakan yang ditempuh adalah sejalan dengan perubahan orientasi pembangunan transportasi, dari semula pembangunan berorientasi mobil (car oriented development) menjadi pembangunan berorientasi kawasan (transit oriented development).
Dengan pembangunan berorientasi kawasan, lanjutnya, prioritas ada pada pergerakan pejalan kaki dan pesepeda. Dishub mendukungnya dengan pembangunan jalur sepeda dan dibantu dinas bina marga melakukan revitalisasi trotoar. Langkah itu merupakan cara menyediakan layanan first dan lastmiles (titik awal dan titik akhir perjalanan) serta mendukung penggunaan angkutan umum.
Dengan kebijakan itu, operator LRT Jakarta dan MRT Jakarta membolehkan sepeda nonlipat untuk bisa masuk ke dalam kereta, khususnya di kereta terakhir. ”Kami mulai 24 Maret silam membolehkan sepeda nonlipat untuk masuk kereta, juga menyediakan tempat parkir sepeda di stasiun LRT Jakarta,” kata Indarto.
Baik LRT Jakarta ataupun MRT Jakarta membolehkan sepeda nonlipat untuk masuk di kereta paling akhir dari setiap rangkaian dengan jumlah dibatasi.
Selain itu, Syafrin menambahkan, Dishub DKI juga mendorong penggunaan bike sharing atau sepeda sewa untuk menjawab masalah first dan last miles. Saat ini, sebanyak 487 sepeda ditempatkan di 67 titik dan bisa dimanfaatkan warga untuk mobilitas menuju dan dari tempat tinggal atau tempat aktivitas ke transportasi umum.
Kebijakan lain yang didorong Dishub adalah integrasi antarmoda dalam sistem Jaklingko.
LRTJ ”capacity metric”
Indarto menambahkan, guna meningkatkan kepercayaan publik untuk mau menggunakan kembali angkutan umum, LRT Jakarta bisa saja membuat skenario layanan, yaitu dengan mempersempit headway atau waktu kedatangan dan keberangkatan kereta.
Dari normalnya per 10 menit sekali bisa diatur menjadi tiga menit sekali. Kemudian, jumlah kereta per rangkaian juga dimungkinkan ditambah. Strategi itu, kata Indarto, tentu saja untuk menghindarkan terjadinya kerumunan di stasiun dan kereta. Selain itu juga supaya protokol kesehatan bisa tetap diterapkan pada layanan dan pengoperasian di era pascapandemi Covid-19.
Namun, LRT Jakarta tengah menyusun konsep lain yang disebut LRTJ capacity metric. Dengan konsep ini, LRT Jakarta berupaya bagaimana setiap penumpang mendapatkan informasi yang cukup untuk mendapatkan gambaran tentang situasi di kereta ataupun stasiun yang akan dilewati atau akan menjadi tujuan dari perjalanannya.
Konsep LRTJ capacity metric, kata Indarto, menggunakan beberapa megadata operasi, di antaranya ridership, timetable, serta kapasitas stasiun dan kereta.
Dengan penggunaan kamera cerdas, bisa dilakukan perhitungan kerumunan dan juga pemetaan (mapping) terkait kapasitas, yaitu sejauh mana stasiun masih bisa menampung penumpang, sejauh mana kereta yang sudah diisi penumpang masih bisa menerima tambahan penumpang.
”Jadi, harapan kami, aplikasi sistem ini akan memberikan gambaran kepada penumpang tentang kondisi transportasi, apakah sedang low, medium, atau high capacity. Gambaran itu akan real time atau saat itu juga,” ucap Indarto.
Melalui konsep yang segera diterapkan di LRT Jakarta, Indarto berharap penumpang akan punya gambaran tentang kapasitas di stasiun dan kereta. Sehingga penumpang akan tetap bisa bertransportasi dan sehat serta tetap bisa merencanakan perjalanan dengan memilih moda transportasi yang tercepat dan sehat.