Ada Pelonggaran, Unit-unit Usaha Harus Taat Betul akan Protokol Kesehatan
Kebijakan pelonggaran kegiatan masyarakat di Jakarta harus dipastikan dibarengi kepatuhan pada protokol kesehatan. Di luar sana, masih ada varian baru virus korona jenis baru yang lebih ganas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Berbagai pelonggaran selama bulan puasa 2021 seperti perpanjangan jam buka rumah makan dan izin untuk melakukan kegiatan buka bersama tetap harus dicermati dan dilaksanakan dengan sangat hati-hati. Ketegasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengawasi dan memberi sanksi dari administratif sampai pencabutan izin usaha menjadi kunci pelaksanaan yang tertib.
“Memang untuk saat ini tampaknya sukar mengatur masyarakat. Lebih baik mengatur melalui instansi seperti rumah makan, perusahaan transportasi publik, dan penyedia layanan karena mereka semua beroperasi berdasarkan izin pemerintah dan apabila standar operasional tidak terpenuhi bisa dijatuhi hukuman,” kata epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono di Jakarta, Rabu (14/4/2021).
Ia menjabarkan bahwa saat ini DKI Jakarta dan Indonesia secara umum sama sekali belum mampu menangani pandemi Covid-19. Dari segi statistik memang tampak penurunan jumlah kasus mingguan, akan tetapi ini justru menunjukkan masa transisi virus.
Masih ada berbagai strain (galur) virus korona yang ditemukan di berbagai negara. Jangan anggap Indonesia tidak akan kemasukan virus ini (Pandu Riono)
Menurut Pandu, virus korona jenis baru atau SARS-Cov-2 jenis lama yang menyebar di Indonesia di tahun 2020 memang menurun penularannya. Namun, fakta menunjukkan ada mutasi baru, yaitu varian galur B.1.1.7. Ada pula risiko mutasi varian 501Y.V2.
“Masih ada berbagai strain (galur) virus korona yang ditemukan di berbagai negara. Jangan anggap Indonesia tidak akan kemasukan virus ini,” tuturnya.
Ia menjelaskan, situasi saat ini ialah virus jenis lama tengah menurun perkembangannya dan virus-virus galur baru masih belum melonjak penularannya. Apabila masyarakat terlena dengan statitik penurunan jumlah kasus, kewaspadaan akan melonggar dan di saat itu galur-galur baru ini menyerang. Galur B.1.1.7 misalnya telah terbukti memiliki kecepatan penularan melebihi galur pertama. Apalagi Jakarta tetap sebagai kota pusat keramaian dan transit.
Galur baru ini meskipun tingkat risiko kematiannya rendah tidak boleh dipandang remeh. Pandu menjelaskan, penularan cepat berarti jumlah yang tertular juga berisiko lebih banyak. Artinya kian banyak penduduk yang berhadapan terkena Covid-19.
Oleh sebab itu, jika Pemprov DKI Jakarta hendak melonggarkan jam buka rumah makan dan kafe sampai dengan 22.30 seperti tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 434 Tahun 2020, harus ada pemastian penerapan protokol kesehatan. Pandu mengatakan harus ada pengecekan ke lapangan mengenai kuota setiap rumah makan, ketersediaan ventilasi yang baik serta mitigasi bagi staf maupun pengunjung.
Hal serupa juga terjadi dengan mudik. Adanya larangan mudik mengakibatkan sejumlah orang memutuskan untuk meninggalkan Jakarta lebih awal. Menurut Pandu, apabila penyedia transportasi publik bisa memastikan semua penumpang yang menaiki kendaraan mereka mengantongi hasil negatif dari tes antigen, mudik masih bisa dikendalikan.
“Jangan lupa di daerah tujuan mudik harus ada percepatan vaksinasi lansia. Kelompok-kelompok rentan ini yang harus dipersenjatai daya tahan tubuhnya ketika akan menyambut kedatangan banyak orang,”ujarnya.
Protokol ekstra
Pekan lalu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia wilayah DKI Jakarta Sutrisno Iwantono meminta kepada pemprov agar mendorong liburan di dalam kota atau staycation. Selain itu, ia juga berharap pemerintah mau memberi kesempatan kepada restoran untuk menyelenggarakan kegiatan berbuka bersama.
Hal itu ditanggapi oleh Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Gumilar Ekalaya sebagai kegiatan yang boleh dilakukan. Syaratnya ialah penerapan protokol kesehatan yang ketat. Setiap restoran wajib menggunakan kuota maksimal 50 persen dari daya tampung penuh.
Salah satu pengusaha restoran, Unggul Yudaningrat yang memiliki restoran Motto Kopi di Lebak Bulus mengatakan pengalaman sejauh ini pengunjung juga telah sadar sendiri akan protokol kesehatan. Kafe itu mewajibkan pengunjung menjaga jarak minimal 1,5 meter ketika duduk. Masker hanya boleh dibuka saat makan dan pelayan pun mengingatkan agar jangan mengobrol.
“Sejak tahun lalu ada perubahan besar di gaya pengunjung ngopi-ngopi. Mereka enggak tinggal berjam-jam lagi untuk nongkrong atau kerja memakai laptop. Sekarang semuanya begitu selesai makan, cuma mengobrol sampai 10-15 menit terus pulang,” katanya.
Di restoran itu, selain penyemprotan dengan cairan disinfektan juga dilakukan sterilisasi memakai lampu ultraviolet. Lampu ini dinyalakan dari malam ketika restoran tutup sampai pagi ketika restoran buka.
Terkait dengan kegiatan berbuka bersama, Unggul berpendapat tidak akan membawa banyak perubahan karena ada pembatasan jumlah pengunjung yang bisa masuk ke restoran. Kemungkinan akan ada sif lama pengunjung boleh tinggal sebelum meja harus dikosongkan untuk pengunjung berikutnya.
“Itu pun harus melihat kondisi. Awal puasa begini masih sepi karena masyarakat memilih berbuka di rumah. Mungkin nanti minggu kedua orang-orang baru buka di luar,” ujarnya.
Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Universitas Tarumanagara memantau perkembangan mingguan kasus Covid-19 di Jakarta memang menurun, tetapi belum stabil. Kasus aktif tanggal 30 Maret adalah 6.944 kasus, pada 6 April ada 6.017 kasus, dan pada 12 April ada 6.217 kasus.
Peneliti senior Centropolis Suryono Herlambang memaparkan bahwa data seperti ini belum bisa dikatakan ada laju penurunan kasus. Bahkan, dari segi peta, mayoritas kelurahan di Ibu Kota masih berwarna merah dengan kisaran kasus 1-90.
“Setiap kelurahan juga masih fluktuatif. Mungkin adanya vaksinasi Covid-19 membantu penurunan kasus, tapi kalau tidak hati-hati nanti bisa terjadi lonjakan sampai ratusan ribu kasus per hari seperti di India,” katanya.