Penyalah Guna Elpiji Bersubsidi di Jakarta Barat Raup Untung Rp 7 Miliar
Para pelaku terancam menjalani hukuman penjara hingga lima tahun dan membayar denda maksimal Rp 40 miliar.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Personel Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI meringkus dua pengendali penyalahgunaan elpiji bersubsidi di Jakarta Barat. Mereka memindahkan elpiji dari tabung 3 kilogram yang disubsidi pemerintah ke tabung 12 kg, lalu dijual sebagai elpiji non subsidi ke warga yang tidak tergolong miskin. Keuntungan yang diraup diperkirakan mencapai Rp 7 miliar.
Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Komisaris Besar M Zulkarnain, menjelaskan, penangkapan tersangka berinisial DF dan T itu merupakan bagian dari tugas Dittipidter Bareskrim mengawal program subsidi pemerintah. Selain terhadap gas, pihaknya juga mengawasi distribusi pupuk dan minyak bersubsidi.
“Gas 3 kg ini tujuannya adalah untuk membantu masyarakat miskin dalam kehidupan sehari-hari maupun melakukan bisnis kecil-kecilan,” ucap Zulkarnain di salah satu lokasi pemindahan gas DF dan T di Kelurahan Meruya Utara, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, Selasa (6/4/2021). Dengan demikian, bisnis haram keduanya sudah mengurangi volume elpiji (LPG atau liquefied petroleum gas) bersubsidi yang disediakan pemerintah bagi kelompok masyarakat miskin.
Dalam bisnis selama sekitar dua tahun, polisi memperkirakan pelaku meraup keuntungan sekaligus merugikan negara sebesar Rp 7 miliar
Zulkarnain menuturkan, petugas menangkap DF dan T pada Senin (5/4). Terdapat tiga tempat penyuntikan gas ilegal di Kecamatan Kembangan yang dikendalikan keduanya. Sebanyak dua tempat berlokasi di Kavling DKI Kelurahan Meruya Utara. Dari ketiga lokasi, polisi menyita 1.732 tabung gas 3 kg, sebanyak 307 tabung gas 12 kg, serta 100 selang yang digunakan untuk memindahkan elpiji dari tabung 3 kg ke tabung 12 kg.
Pengakuan sementara dari para tersangka, bisnis berjalan sejak 2018. Mereka membeli elpiji bersubsidi dari agen atau pangkalan kemudian memindahkannya ke tabung-tabung elpiji non subsidi di tiga lokasi. Elpiji bersubsidi dibeli seharga Rp 17.000 per tabung 3 kg sehingga mereka mengisi satu tabung elpiji non subsidi dengan gas dari empat tabung elpiji bersubsidi.
Artinya, modal mengisi satu tabung elpiji non subsidi berkisar Rp 68.000. Namun, karena elpiji ukuran 12 kg laku dengan harga Rp 140.000 per tabung, pelaku bisa untung Rp 72.000 per tabung. Dengan menghitung selisih harga tersebut dalam bisnis selama sekitar dua tahun, polisi memperkirakan pelaku meraup keuntungan sekaligus merugikan negara sebesar Rp 7 miliar.
“Ini baru di sini saja, bisa dibayangkan di tempat-tempat lain, karena tidak tertutup kemungkinan ada di tempat lain,” ujar Zulkarnain. Ia mengatakan, petugas Dittipidter Bareskrim Polri sebelumnya juga mengungkap kasus serupa di Deli Serdang, Sumatera Utara. Karena itu, ia mendorong masyarakat dan media segera melapor ke pihak berwajib jika mengetahui terdapat penyalahgunaan-penyalahgunaan semacam ini.
Salah seorang warga Kavling DKI, Siti (38), tidak menyangka jika tempat usaha yang tepat bertetangga dengan rumahnya itu bermasalah. “Saya saja tahu barusan pas datang, kok banyak orang,” kata dia usai kembali dari berbelanja.
Siti memang sudah tahu jika tempat usaha di sebelah rumahnya berbisnis gas, tetapi ia mengira itu usaha legal. Sejak ia mulai menempati rumahnya satu setengah tahun silam, usaha gas DF dan T itu sudah berjalan. Selama ini, ia tidak merasa terganggu dengan usaha tersebut, meski beberapa kali sedikit tercium bau gas.
Zulkarnain mengatakan, DF dan T dijerat dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Pasal 53 UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Itu membuat keduanya terancam menjalani hukuman penjara hingga lima tahun dan membayar denda maksimal Rp 40 miliar.
Zulkarnain menambahkan, DF dan T memiliki sejumlah karyawan tetapi mereka hanya ditetapkan sebagai saksi karena cuma bekerja untuk mendapatkan upah. Namun, polisi bakal menyelidiki ada-tidaknya keterlibatan agen dan pangkalan yang menjual elpiji bersubsidi ke mereka. Sebab, pembelian dalam jumlah besar semestinya menimbulkan kecurigaan.
Penyalahgunaan elpiji bersubsidi dengan dipindah ke tabung 12 kg untuk dijual sebagai elpiji non subsidi bukanlah modus baru. Pada Januari 2020, misalnya, Kepolisian Resor Pemalang Jawa Tengah membekuk IA yang dalam sehari mampu memindahkan gas dari 60 tabung elpiji bersubsidi ukuran 3 kg ke dalam 15 tabung elpiji nonsubsidi berukuran 12 kg. Pelaku diketahui beraksi sejak tujuh bulan sebelumnya.
Selain merugikan negara dan rakyat kecil, pemindahan elpiji bersubsidi ke tabung non subsidi mengandung risiko keselamatan bagi pelaku maupun konsumen. Pejabat sementara Unit Manager Communication, Relations, and CSR Pertamina Pemasaran Regional Jawa Bagian Tengah, Arya Yusa Dwicandra, menuturkan, praktik ini rentan merusak kinerja katup tabung. Itu berpotensi menimbulkan kebocoran gas sampai memicu kebakaran saat terkena sumber panas.
”Pengisian tabung elpiji harus dilakukan di stasiun pengisian pusat bulk elpiji dengan peralatan khusus. Sebelum didistribusikan, tabung gas juga perlu diuji keamanannya dengan standar-standar tertentu,” kata Arya (Kompas.id, 21/1/2020).