IPM Kota Bogor turun menjadi 76,11. Tidak hanya itu, data lain menunjukkan sektor ekonomi turun 6,57 persen, pengangguran naik 3,6 persen, tingkat kemiskinan naik 0,91 persen menjadi angka 6,68 persen.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19, Indeks Pembangunan Manusia atau IPM di Kota Bogor pada 2020 turun menjadi 76,11. Semua perangkat daerah diminta mengawal dan memastikan penyerapan anggaran untuk meningkatkan kualitas hidup warga.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, selain penanganan pandemi, ada kondisi darurat lainnya yang saat ini sedang menjadi fokus di Kota Bogor, terutama untuk rencana pembangunan tahun 2022 mendatang.
”Kenapa darurat? IPM (Indeks Pembangunan Manusia) kita turun. IPM ini adalah indikator yang paling lazim yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan,” kata Bima, Senin (5/4/2021).
Berdasarkan data, IPM Kota Bogor tahun 2020 turun 0,12 poin menjadi 76,11. Tidak hanya itu, data lain menunjukkan sektor ekonomi turun 6,57 persen, pengangguran naik 3,6 persen, tingkat kemiskinan naik 0,91 persen menjadi angka 6,68 persen. Sejumlah 77 persen warga mengalami pengurangan penghasilan, 37 persen mengalami pemutusan hak kerja (PHK), dan 19 persen warga harus menjual asetnya untuk bertahan hidup.
Meski ada catatan minus, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor mencapai 117 persen dari target atau meningkat 13 persen dibandingkan dengan 2019 sehingga pendapatan tahun 2020 mencapai Rp 2,4 triliun. Sementara realisasi belanja sebesar 89 persen atau 1 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun kemarin. Hal itu karena efisiensi anggaran perjalanan dinas, konsumsi, dan rapat setelah banyak pertemuan dilaksanakan secara daring. Penurunan realisasi belanja juga karena alokasi belanja tak terduga (BTT) yang sepenuhnya tidak terserap.
Pada 2024, Pemkot Bogor memiliki target meningkatkan PAD sebesar 78,89 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Namun, menurut Bima, target itu akan sulit terealisasi jika tak serius mengejarnya. Untuk itu, tahun ini dan 2022 mendatang, ia mencanangkan akselerasi untuk mengatasi ketertinggalan realisasi.
Kenapa darurat? IPM (Indeks Pembangunan Manusia) kita turun. IPM ini adalah indikator yang paling lazim yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan.
Sejumlah langkah dilakukan untuk meningkatkan sektor-sektor yang minus karena pandemi. Di antaranya fokus pada pemulihan ekonomi atau mengurangi pengangguran melalui padat karya pada program-program pemerintah. Dalam waktu dekat, untuk meningkatkan promosi UMKM, Pemkot akan meluncurkan program wirausahawan atau UMKM milenial. Dengan target mencetak 1.000 wirausahawan milenial baru.
Untuk itu, Bima meminta semua perangkat daerah untuk benar-benar mengawal dan memastikan APBD atau APBN bisa dinikmati oleh warga Kota Bogor. ”Memang, kita tidak bisa melakukan intervensi, tetapi semaksimal mungkin kita ikhtiar untuk mendorong agar warga menikmati itu, mereka yang mengerjakan kegiatan dan sebagainya,” ujar Bima.
Pemkot Bogor telah melakukan beberapa upaya dan langkah penanggulangan dampak pandemi, seperti bantuan sosial untuk 90.000 warga miskin sebesar Rp 44 miliar. Selain itu, bantuan iuran BPJS untuk 200.000 warga senilai Rp 90 miliar dari APBD Kota Bogor dan Jawa Barat, serta Wi-Fi gratis untuk sekolah daring di 797 titik senilai Rp 6 miliar, insentif bagi 797 RW Siaga senilai Rp 2,3 miliar. Ada pula pengembangan wisata alam Mulyaharja senilai Rp 2,3 miliar, pembukaan pusat UKM Dekranasda yang membina 485 UKM, program rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni (RTLH) sebanyak 5.512 rumah, insentif bagi 2.596 guru ngaji, bantuan kepada 500 keluarga Program Jaga Asa, dan 922 unit sarana kesehatan di RSUD senilai Rp 68 Miliar.
Bima mengatakan, untuk meningkatkan IPM dan PAD, tidak saja membutuhkan penguatan secara fisik, tetapi juga perlu penguatan sumber daya manusia (SDM). Jika SDM tidak tersentuh, sulit untuk warga berkembang dan meningkatkan kesejahteraan serta berkontribusi terhadap pembangunan di Kota Bogor.
Penguatan SDM itu disinggung Bima karena ia masih menemukan warga usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan secara utuh atau wajib belajar 12 tahun. ”Saya masih menemukan warga usia sekolah yang tidak sekolah itu dibiarkan. Bahkan, kemarin saya kaget luar biasa, umur 17 tahun putus sekolah sejak kelas 3 SD. Kok bisa gitu, ke mana lurahnya, masa RT/RW-nya didiamkan,” tutur Bima.
Selain pendidikan, tingkat kesejahteraan warga juga perlu diperhatikan. Seperti di Kelurahan Bojongkerta, sekitar 40 persen keluarga di wilyah itu berada di bawah garis kemiskinan. Untuk itu, program seperti benah kampung, rumah tidak layak huni, dan keluarga miskin juga akan terus gencarkan.
”Artinya, 1 dari 3 kepala keluarga adalah keluarga miskin. Kenapa miskin? Karena putus sekolah. Kenapa miskin? Karena menganggur,” kata Bima.
Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto mengatakan, unsur legislatif terus bekerja sama dengan Pemkot Bogor dalam bidang pembangunan. Menurut Atang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar target pembangunan tercapai.
Pertama, Pemkot Bogor harus memperhatikan regulasi dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 sebagai acuan utama. Permendagri ini mengatur tentang tata cara perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah; tata cara evaluasi rancangan peraturan daerah tentang rencana pembangunan jangka npanjkang daerah dan rencana pembangunan jangka menengah daerah; serta perubahan tata cara rencana pembangunan. Kedua, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) harus berpedoman atau berpacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang sudah disusun.
”Saat ini masuk di RPJMD yang keempat dari RPJP tahun 2005-2025. RPJMD menjadi bagian dari grand desain agar pembangunan sesuai dengan yang kita rencanakan pada saat sebelumnya,” kata Atang.
Ketiga, penyesuaian kebutuhan dalam situasi pandemi Covid-19. Semangat untuk menghadapi pandemi menunjukkan bahwa ikhtiar Kota Bogor untuk keluar dari kondisi pandemi bisa terwujud. Keempat, memperhatikan usulan-usulan masyarakat yang mendesak, bahkan aspirasi yang sudah bertahun-tahun tidak terealisasi.
”Dari empat hal tadi, diharapkan pemerintahan daerah bisa menjadi regulator sekaligus fasilitator, termasuk menjadi dinamisator pembangunan,” kata Atang