Saat sebagian orang takut berdekatan pasien positif, pelacak kontak erat justru mendatanginya, melacak warga yang pernah berinteraksi langsung dengan pasien. Mereka seharusnya mendapat alat perlindungan yang aman.
Oleh
Insan Alfajri, Dhanang David Aritonang, Irene Sarwindaningrum, Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
Berbekal masker dobel, perawat yang juga pelacak kontak menyusuri permukiman di Kelurahan Pademangan Timur, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (18/3/2021) siang. Hari itu, dia dan tiga rekannya mencari dua warga yang terpapar Covid-19. Namun, seorang yang dicari tidak dapat ditemukan.
Tak menemukan titik terang di lokasi pertama, Anas dan tim mencari warga kedua di RW 008 Pademangan Timur. Warga ini tinggal di rumah toko (ruko) yang juga menjadi tempat usaha konfeksi. Saat bertatap muka dengan petugas pelacak kontak di depan ruko, lelaki itu menceritakan keluhannya. Anas dan teman-temannya mengabarkan bahwa dia positif Covid-19. Sambil menunggu tindakan lebih lanjut dari dokter pemantau, Anas dan tim mendata kontak erat yang bersangkutan.
Aktivitas tatap muka dengan pasien Covid-19 seperti itu sudah biasa dijalaninya sejak empat bulan terakhir. Targetnya pelacak kontak mesti dapat kontak erat paling tidak 10 hingga 30 orang per hari. Dia semakin terbiasa menghadapi situasi seperti itu. Anas terlihat semangat meski insentif Februari tahun ini belum cair. Dia pacu sepeda motor dari rumahnya di Kabupaten Tangerang, Banten, ke Pademangan dengan waktu tempuh dua jam perjalanan di setiap hari kerja.
Menambah pelindung
Selama bertugas, lulusan D-3 Keperawatan ini menambah alat perlindungan masker medis berlapis masker respirator KN95. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merekrutnya membekalinya dengan rompi, ID card, topi, tas, dan beberapa lembar masker kain. ”Kalau masker kain, kan, tak sesuai standar, makanya saya beli sendiri,” katanya.
Masker KN95 dia beli seharga Rp 25.000 per kotak berisi 10 lembar. Artinya, satu masker harganya Rp 2.500. Nilai ini lebih rendah dari harga masker respirator standar AS (N95) di tingkat distributor resmi sekitar Rp 20.000 per lembar. Dia memakai masker ini saat melakukan pelacakan kontak saja. Sementara saat berada di Puskesmas dia menggantinya dengan masker medis biasa.
Soal asli atau tidak masker yang dikenakannya, Anas tak tahu lantaran masker itu dibeli istrinya. Istri Anas merupakan asisten apoteker dan bekerja di salah satu puskesmas di Jakarta. Biasanya, ada saja orang yang menawarkan masker respirator dengan harga miring kepada istrinya. Masker inilah yang kemudian dibeli oleh istrinya.
Penelusuran Kompas, saat ini banyak beredar masker respirator yang kualitasnya bermasalah. Mayoritas dari masker itu tak memiliki izin edar dari Kementerian kesehatan sehingga tak bisa dipastikan kualitasnya.
Anas tahu dirinya dapat berisiko tertular. Sebab, dia termasuk tenaga kesehatan pertama yang berinteraksi dengan pasien Covid-19. Kendati demikian, dia meyakini bahwa potensi penularan juga ditentukan oleh tindakan di lapangan.
”Usahakan selalu aman dengan menjaga jarak dan memakai masker. Setelah itu, ya, kita pasrahin saja. Tetapi, alhamdulillah saya belum pernah terinfeksi,” tambah pelacak kontak yang bertugas di Puskesmas Kecamatan Pademangan, ini.
Meski dia yakin dengan alat pelindung itu, sebagian temannya terpapar Covid-19. Beberapa di antaranya mengundurkan diri, sebagian tetap menjalankan tugasnya sebagai pelacak kontak.
Salah satunya pelacak asal Kepulauan Seribu, Jakarta, Ulul Elmah (22). Entah dari mana, bidan lajang ini terpapar pada 10 Februari. Sebelum terinfeksi virus, Ulul rutin berkunjung ke rumah warga untuk melacak kontak erat pasien positif Covid-19 dan bertemu dengan banyak orang. ”Memang ada banyak OTG (orang tanpa gejala) juga yang kami temui,” ujarnya.
Ketika turun lapangan, Ulul menggunakan masker medis biasa, bukan masker respirator. Menurut dia, masker respirator memang lebih efektif melindungi nakes. Namun, dia merasa cukup dengan masker medis biasa dengan catatan tetap menjaga jarak dan menggunakan pelindung wajah.
Padat
Masalahnya, menjaga jarak ideal tidak selalu bisa diterapkan di Pademangan. Banyak permukiman padat penduduk di wilayah itu. Warga cenderung berkerumun apabila melihat petugas dengan rompi BNPB. Pada situasi itu, tidak semua warga mematuhi protokol kesehatan sehingga potensi penularan bisa terjadi di sana.
Sejumlah warga termasuk anak-anak terlihat memakai masker saat berada di luar rumah di kawasan Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (14/1/2021).Selama pandemi, Pademangan pernah menjadi wilayah dengan tingkat penularan tinggi. Kelurahan Pademangan Barat, misalnya, memegang rekor sebagai kelurahan dengan kasus tertinggi (282 kasus) di DKI Jakarta per 4 Agustus 2020. Hingga Jumat (19/3/2021), tiga kelurahan di Pademangan masih memiliki kasus aktif. Rinciannya 55 kasus di Pademangan Timur, 36 kasus di Pademangan Barat, dan 11 kasus di Ancol.
Sebagian pelacak kontak ikut tinggal di pemukiman warga setempat, sebagaimana yang dijalani Zia, petugas pelacak kontak di Pademangan. Bidan ini menyewa kamar kos bersama rekan kerjanya selama menjalankan tugas di sana. Zia menyadari potensi terpapar virus saat bertugas maupun di luar tugas sehari-hari.
Selain terus berusaha mengamankan diri dari paparan virus, dia dan teman-temannya sedang menunggu pencairan gaji mereka yang tertunda. Mereka tetap menjalankan tugas mencari orang-orang yang berkontak erat dengan pasien positif Covid-19. ”Kami belum tahu gaji turun, kami tetap menjalan tugas,” kata Zia.
Masker palsu
Tidak hanya petugas pelacak kontak, sebagian dokter mendapatkan masker dari kalangan orang dekatnya. Di Medan, Sumatera Utara, dr Suwarno Usman (67) selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) ketika praktik di klinik miliknya. Untuk masker, dia menggunakan masker medis dan kadang masker N95. Masker N95 ini diperoleh dari anaknya yang juga dokter.
Namun, dengan semua protokol itu, toh dia masih juga tertular. Istri, anak, pembantu, perawat, serta sopir Suwarno turut terkena Covid-19. Bahkan, Suwarno harus merelakan istrinya karena tak bisa lagi diselamatkan. Dia menduga beberapa kemungkinan tempat penularan. Kalau bukan di pesta pernikahan yang sempat dihadiri, kemungkinan besar tertular oleh pasien.
Belakangan, dia menduga ada orang yang memanfaatkan pandemi untuk keuntungan pribadi. Ini dibuktikan dengan banyaknya peredaran masker respirator tak berkualitas yang mengancam keselamatan nakes.
”Sekarang ini banyak yang palsu. Dulu di awal memang N95 asli. Kita pakai juga terasa itu N95 asli. Sekarang, dilabeli N95 tetapi abal-abal. Orang ini memanfaatkan peluang,” ujarnya.
Dokter gigi di Surabaya, Jawa Timur, Elisea Kimora, menguatkan dugaan peredaran masker respirator tak berkualitas. Dia pernah membeli masker respirator melalui toko daring lantaran toko langganannya kehabisan stok. Saat itu, Elisea mendapat masker yang bolong dan talinya mudah lepas ketika digunakan.
”Sebagai dokter, kami tak bisa menentukan masker yang dibeli itu asli atau palsu. Kan masker ini bukan seperti barang elektronik, ya. Kami tidak bisa melihat ini asli atau palsu. Tetapi, kalau secara kualitas, kami bisa lihat, wah ini kalau talinya gampang putus, apalagi pas tengah-tengah kerja lepas, itu ya kurang bagus dan mutlak tidak bisa dipakai tenaga medis,” paparnya.