Mendesak, Pengetatan Kepemilikan Senjata Non Taktis seperti Airsoft Gun
Penyalahgunaan senjata non taktis bisa beragam, mulai dari koboi jalanan sampai terorisme, Perlu pengendalian lebih serius.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendesak Polri mengendalikan penggunaan senjata non taktis seperti airsfot gun, seiring banyaknya kasus kejahatan atau perilaku teror dengan senjata semacam ini. Pengaturan lebih ketat bisa menjadi opsi awal.
Di Jakarta, kasus terbaru yang diungkap polisi adalah ancaman di wilayah Duren Sawit, Jakarta Selatan, Jumat (2/4/2021) pukul 01.00, menggunakan senjata api non taktis. Pelakunya wiraswasta, MFA. "Ia ditangkap di parkiran sebuah mal di Jakarta Selatan," kata Kepala Divisi Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus.
Kejadian berawal saat mobil Toyota Fortuner bernomor polisi B 1673 menerobos lampu merah. Saat itu, mobil menyenggol dua pengendara sepeda motor, yang salah satunya terjatuh.
Khusus senjata api non taktis seperti airsoft gun dan senapan angin sudah waktunya diatur lebih ketat. Ekses dari senjata ini sudah cukup serius. (Benny Mamoto)
Pengendara motor lain berupaya mengejar Toyota Fortuner tersebut guna meminta pertanggungjawaban dari pengemudi. Bukannya meminta maaf, MFA justru bertindak agresif dan mengacung-acungkan senjata api non taktis berupa airsoft gun.
“Polda Metro Jaya langsung melakukan pelacakan melalui kamera pengawas dan memperoleh nama serta alamat pengemudi itu. Orangnya sudah diamankan,” kata Yusri. MFA akan dikenai pasal pelanggaran lalu lintas sehingga mengakibatkan kecelakaan. Selain itu, pasal pemakaian senjata.
Dalam wawancara terpisah, Ketua Harian Kompolnas Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto mengatakan, sudah saatnya senjata-senjata non taktis, terutama senjata api diatur lebih seksama. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 Tentang Senjata Api hanya mengatur mengenai senjata api taktis, yang tak lain senjata organik polisi dan tentara.
Aturan kepemilikan senjata api bagi masyarakat sipil adalah pejabat pemerintah, pejabat swasta, dan purnawirawan TNI/Polri. Semua kepemilikan itu menyaratkan kemampuan menembak kelas III dengan sertifikat lembaga pelatihan menembak yang mengantongi izin dari Polri. Pemilik juga wajib mempunyai kondisi psikologis yang stabil berdasarkan pemeriksaan medis serta kemampuan merawat, menyimpan, dan mengamankan senjatanya.
“Khusus senjata api non taktis seperti airsoft gun dan senapan angin sudah waktunya diatur lebih ketat. Ekses dari senjata ini sudah cukup serius,” kata Benny.
Ia memaparkan, dari segi bentuk dan penampilan, sukar bagi masyarakat awam, bahkan polisi untuk cepat mengenali senjata api taktis dan non taktis. Perilaku warga sipil membawa senjata api seperti menyelipkannya di balik pakaian dan mengeluarkannya bila terlibat pertikaian juga sudah berlebihan.
“Saya pernah menangkap orang yang gerak-geriknya mencurigakan dan di pinggangnya terselip senjata. Setelah diperiksa ternyata itu airsoft gun,” ujar Benny. Akan tetapi, kecemasan yang ditimbulkan kepada masyarakat sipil tidak bisa diremehkan.
Menurut dia, Polri perlu menertibkan produksi dan peredaran berbagai atribut yang mirip senjata api, karena risiko penyalahgunaannya besar. Senapan angin misalnya, banyak disalahgunakan untuk perburuan ilegal sampai tawuran. Beberapa jenisnya bahkan memiliki kaliber seperti standar olahraga, yaitu 4,5.
Penertiban bisa dilakukan melalui organisasi yang menaungi, misalnya untuk airsoft gun adalah Persatuan Olahraga Airsoft Gun Indonesia. Para penjual senjata api non taktis juga tidak boleh menjual kepada orang yang tidak memiliki kartu anggota organisasi pengelola maupun memiliki sertifikat keterampilan menembak.
"Audit semua klub, termasuk yang sudah dibubarkan. Kalau aturan kepemilikan senjata api taktis dan non taktis tidak dimutakhirkan, penyalahgunaannya bisa mulai dari koboi jalanan sampai pelaku terorisme," ujarnya.