Maksimalkan Layanan, Transjakarta akan Bentuk Anak Perusahaan
PT Transportasi Jakarta tengah memroses pembentukan anak usaha yang akan menjadi operator. Bersama-sama dengan sejumlah operator yang sudah bergabung dalam manajemen, kebijakan ini bisa memberikan layanan yang lebih baik
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta saat ini tengah memroses pembentukan anak usaha yang bakal berperan sebagai operator. Keberadaan anak usaha sebagai operator diharapkan bisa meningkatkan layanan, memperluas cakupan layanan, serta memenuhi aspek keadilan.
Riyadi, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pembina Badan Usaha Milik Daerah (BP BUMD) DKI Jakarta, Jumat (02/04/2021) menjelaskan, untuk proses spin off atau pembentukan anak usaha Transjakarta itu, saat ini masih berproses.
Pilihan membentuk anak usaha itu merupakan hasil kajian yang sudah lama dan lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau dinas.
"Rapat untuk pembentukan anak usaha itu sudah berkali-kali dan kajiannya juga sudah lama. Namun yang terpenting persetujuan dari Pemprov DKI Jakarta sudah ada," katanya.
Angelina Betris, Kepala Divisi Sekretaris Korporasi dan Humas PT Transportasi Jakarta terpisah menjelaskan, untuk spin off Trans Jakarta, saat ini sedang dalam proses. Dalam tahapannya, ada penunjukan konsultan, dimana konsultan tersebut yang membantu menyeleksi mitra untuk sharing saham. "Kita juga minta pendampingan kejaksaan untuk ini," katanya.
Untuk sharing saham ini, sesuai Pasal 107 dalam PP No.54 Tahun 2017 tentang BUMD, minimal kepemilikan saham pada anak perusahaan BUMD adalah sebesar 70 persen dan BUMD sebagai pemegang saham pengendali. Menurut Riyadi, hal ini juga yang masih dalam pembahasan.
Pada saat anak usaha tersebut terbentuk, anak usaha itu akan murni bertindak sebagai operator sama dengan operator lainnya yang saat ini bergabung dalam manajemen Transjakarta. Transjakarta, akan fokus bertindak sebagai Bus Management Company, yaitu perusahaan yang menjadi perpanjangan tangan Pemprov DKI Jakarta untuk menghadirkan layanan transportasi massal kepada masyarakat, bersama-sama dengan anak usaha dan mitra operator lainnya.
Anak usaha itu juga akan menjadi semacam role model bagi operator-operator lainnya yang bergabung dalam manajemen Trans Jakarta. Menjadi role model artinya menjadi benchmark atau perbandingan bagi operator lain yang menjadi mitra TransJakarta dalam hal pelayanan maupun kesejahteraan karyawan.
Dalam hal layanan, anak usaha ini nanti akan bisa melakukan pengembangan layanan angkutan bus hingga ke pinggiran Jakarta atau juga ke daerah penyangga Jakarta.
Haris Muhammadun, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) melihat, dalam hal layanan angkutan, bila Trans Jakarta memiliki anak perusahaan, dia sudah bersaing secara layanan dengan operator lain yang bergabung dengan TransJakarta.
Sebagai BUMD bidang angkutan umum, Transjakarta adalah perpanjangan tangan Pemprov DKI untuk membayarkan public service yang sudah dilakukan oleh para operator. Dengan Transjakarta juga memiliki bus sendiri dan juga memberikan pelayanan, selama ini ada anggapan bahwa Transjakarta seolah-olah membayar dirinya sendiri.
"Nantinya kalau Transjakarta membayar anak perusahaannya, wajar saja, karena dia sebagai entitas bersama-sama dengan operator lain untuk memberikan layanan terhdap masyarakat Jakarta," jelas Haris.
Menurut Haris, spin off menjadi jalan terbaik, karena Transjakarta harus punya satu alat kontrol. Misalnya ketika ada tuntutan dari operator lain di luar Transjakarta atau anak perusahaan Transjakarta yang membuat ada upaya mogok melayani, maka layanan masih bisa dilakukan karena TransJakarta masih memiliki anak usaha yang juga operator. Dengan spin off, Haris melihat, aspek fairness yang berjalan secara sehat pada akhirnya masyarakat akan mendapatkan satu layanan yang lebih baik.
Justru Haris memandang, untuk memaksimalkan aset yang dimiliki Transjakarta, spin off bukan hanya membentuk satu anak usaha, melainkan langsung dua anak usaha. Satu anak usaha yang berperan sebagai operator dan satu anak usaha yang bergerak di bidang nontiket atau non fare box (NFB) seperti pengelolaan halte dan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) sehingga TransJakarta akan punya pemasukan dari NFB.
Dengan cara itu, ia melihat, Transjakarta sebagai induk perusahaan akan lebih maksimal melakukan penugasan dari pemprov, memastikan standar pelayanan, serta memaksimalkan upaya untuk meningkatkan ridership atau keterangkutan jumlah penumpang. Ridership ini salah satunya untuk mendukung target pengguna angkutan umum hingga 60 persen sampai 2030 sesuai Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
Riyadi menambahkan, untuk proses spin off itu ia berharap bisa terbentuk secepatnya.