Masyarakat Takut Penerimaan Siswa Baru di DKI Tahun Ini Kembali Berbasis Umur, Bukan Jarak
Kabar yang tersiar adalah Pemprov DKI Jakarta akan menyiapkan zonasi berbasis rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dan kelurahan. Namun, di dalamnya tetap memakai umur anak sebagai penentu penerimaan di sekolah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan peserta didik baru atau PPDB untuk tahun 2021 akan diadakan pada Mei-Juli. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada awal tahun mengatakan prosedurnya sama dengan tahun 2020. Hal ini membuat para orangtua di DKI Jakarta khawatir sistem yang dipakai oleh pemerintah provinsi tetap mengutamakan usia, bukan jarak rumah ke sekolah.
”Kabarnya memang masih simpang-siur karena belum ada pernyataan resmi dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Akan tetapi, kalau memang diputuskan sama dengan tahun 2020, artinya umur anak menjadi faktor penentu,” kata Jumono, Juru Bicara Suara Peduli Orangtua Murid dalam diskusi ”PPDB DKI 2021: Usia Lagi?” di Jakarta, Rabu (31/3/2021).
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 menyatakan PPDB tetap berbasis zonasi. Artinya, setiap anak berhak bersekolah di satuan pendidikan yang paling dekat dengan tempat tinggal masing-masing. Penentuan jarak dan zona ini diserahkan kepada tiap-tiap pemerintah daerah.
Jumono mengatakan, kabar yang tersiar adalah Pemprov DKI Jakarta akan menyiapkan zonasi berbasis rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dan kelurahan. Namun, di dalamnya tetap memakai umur anak sebagai penentu penerimaan di sekolah.
Kabar yang tersiar adalah Pemprov DKI Jakarta akan menyiapkan zonasi berbasis rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dan kelurahan. Namun, di dalamnya tetap memakai umur anak sebagai penentu penerimaan di sekolah.
Artinya, sekolah tidak memilih calon murid berdasarkan jarak terdekat, tetapi usia yang lebih tua. Sistem ini dinilai tidak adil oleh orangtua karena ada banyak anak yang rumahnya dekat dengan SMP dan SMA negeri, tetapi harus gigit jari karena usia mereka tergolong muda. Anak yang usianya lebih tua diterima walaupun jarak rumahnya lebih jauh.
Pengalaman tersebut dialami oleh putra Shandra Pratiwi yang bernama Andra pada tahun 2020. Jarak rumah mereka ke SMAN 103 Jakarta hanya 50 meter, tetapi Andra tidak diterima karena ada anak yang usianya lebih tua dari dia. Padahal, anak-anak berusia senior itu rumahnya ada yang 6 kilometer dari sekolah.
Shandra kemudian berupaya memasukkan putranya ke jalur prestasi akademik. Masalahnya, cara menghitung nilainya ialah nilai rata-rata Andra dikalikan dengan nilai akreditasi SMP asalnya. Berhubung SMP itu akreditasinya bukan A, nilai Andra menurun lima poin sehingga ia pun tidak lulus jalur prestasi akademik.
Setelah itu, ia mencoba jalur Bina RW. SMAN 103 berada di RW 004, sementara rumah Shandra sudah masuk RW 007. ”Anak saya, Andra, tetap tidak lulus karena RW yang dihitung hanya RW yang langsung bersebelahan dengan sekolah, walaupun dari segi jarak rumah kami hanya 50 meter dari sekolah,” keluhnya. Andra akhirnya masuk ke sebuah SMA swasta.
Jumono mengatakan, Pemprov DKI Jakarta tidak konsisten menjalankan perintah dari Kemendikbud. Orangtua sesungguhnya memahami ketersediaan bangku di sekolah-sekolah negeri terbatas, tetapi seleksinya tetap harus sesuai dengan amanat aturan, yaitu jarak dari sekolah ke rumah. Dalam setiap jalur, seperti jalur prestasi akademik, prestasi nonakademik, afirmasi, dan Bina RW sekalipun pengurutan calon murid baru tetap harus berbasis jarak.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan sekolah swasta diikutsertakan proses PPDB, Jumono mengatakan, orangtua akan menerima. ”Selama sekolah swasta disubsidi oleh pemerintah sehingga biaya pendidikan tidak dibebankan kepada wali murid. Alasan animo masyarakat terhadap PPDB tinggi karena mengincar sekolah negeri yang bebas biaya,” ucapnya.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengenai petunjuk teknis PPDB 2021. Pada tahun 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjabarkan alasan sistem PPDB ialah kuota sekolah negeri di Jakarta di bawah 50 persen jika dibandingkan dengan jumlah lulusan. Sebagai gambaran, hanya 46,17 persen lulusan SD sederajat yang tertampung di SMP negeri. Adapun SMA negeri hanya bisa menampung 32,94 persen lulusan SMP sederajat (Kompas, 7 Juli 2020).
Sejumlah pengamat pendidikan mengatakan, apabila sekolah negeri tidak bisa menambah jumlah bangku, jalan keluarnya adalah pelibatan sekolah swasta secara intensif. Hal ini membuat pihak swasta lebih terlibat menjangkau masyarakat dan dari pemerintah sekolah swasta yang ikut PPDB bisa diintensifkan peningkatan mutunya.
Ditolak
Ketidakpuasan masyarakat atas PPDB 2020 disalurkan melalui koridor hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun, pengacara yang menangani kasus itu, Judianto Simanjuntak, mengatakan, pengadilan menolak gugatan masyarakat dengan alasan tidak masuk tindakan pemerintah yang konkret. Padahal, gugatan warga bukan mempermalahkan keabsahan petunjuk teknis dari Dinas Pendidikan, tetapi karena tidak ada alternatif yang berpihak kepada masyarakat.
”Kami telah mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, tetapi belum ada tanggapan,” tuturnya.