Harga Daging Sapi di DKI Turun, Keluhan Pedagang Masih Merugi
Pemerintah menetapkan agar harga daging segar di pasar tidak boleh lebih dari Rp 94.000. Akan tetapi, harga karkas yang dibeli pedagang dari rumah pemotongan hewan biasanya Rp 98.000 ke atas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan indeks perekonomian Ibu Kota di atas kertas masih menunjukkan terjadinya inflasi 0,18 persen untuk Februari 2021. Dari berbagai komoditas yang harganya naik, harga daging sapi justru mengalami penurunan.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta Buyung Airlangga memaparkan dalam ”Rilis Data Inflasi Jakarta Maret 2021” pada Kamis (1/4/2021). Jika inflasi Jakarta dihitung sejak Februari 2020, jumlahnya 1,39 persen.
Angka ini masih dibilang stabil. Dari 56 kota yang mengalami inflasi di Tanah Air, Jakarta menduduki peringkat ke-33. Sejumlah komoditas yang mengalami kenaikan harga adalah cabai merah, cabai rawit, tiket pesawat terbang, dan beras. Adapun komoditas yang mengalami penurunan harga ialah daging sapi, daging ayam ras, tomat, dan perhiasan dari logam mulia.
Pedagang eceran tidak bisa memperoleh stok daging yang banyak karena kami tidak mampu membeli daging dalam jumlah ton. (Tubagus Mufti)
BPS DKI mencatat harga daging sapi dari Rp 150.356 turun menjadi Rp 149.123. Akan tetapi, fakta statistik ini ternyata tidak disambut baik pedagang daging di pasar. ”Harga mungkin turun di atas kertas, tetapi pedagang masih merugi dan bagi masyarakat harga daging masih selangit,” kata Sekretaris Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) DKI Jakarta Tubagus Mufti Bangkit Sanjaya.
Pemerintah menetapkan agar harga daging segar di pasar tidak boleh lebih dari Rp 94.000. Akan tetapi, harga karkas yang dibeli pedagang dari rumah pemotongan hewan biasanya Rp 98.000 ke atas. Akibatnya, pedagang terpaksa menjual harga eceran Rp 120.000-Rp 125.000.
”Itu pun hanya untuk langganan yang sudah dipastikan membeli daging dari pedagang pasar selama bertahun-tahun dan tidak akan berhenti,” kata Mufti. Langganan yang dimaksud adalah pengusaha rumah makan, kafe, restoran, dan katering.
Ia menjelaskan, satu pedagang di masa pandemi biasanya menetapkan kuota penjualan harian, misalnya 50 kilogram. Kuota ini dihitung berdasarkan kepastian langganan yang membeli pada hari tersebut. Pelanggan seperti rumah makan biasanya membeli minimal 5 kilogram setiap hari.
Hal ini membuat para pelanggan dari kalangan rumah tangga yang biasanya membeli daging sapi dalam kisaran 500 gram hingga 2 kilogram sering tidak mendapat stok. Kalaupun pedagang masih memiliki sisa, mereka menjualnya Rp 130.000-Rp 135.000 kepada pembeli dari kalangan rumah tangga.
”Pedagang belum mau menambah kuota harian dari 50 kilogram menjadi 55 kilogram atau 60 kilogram karena kami takut yang tambahan 5-10 kilogram itu tidak laku. Padahal, untuk pelanggan setia saja kami sudah jual rugi,” kata Mufti.
Mufti mengatakan, pemerintah harus memiliki strategi untuk bulan puasa dan Lebaran. Pada masa-masa itu, konsumsi daging sapi di rumah tangga meningkat. APDI Jakarta menghitung dengan adanya larangan mudik, kebutuhan daging sapi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah 30.000 ton dan saat ini pedagang tidak memiliki persediaan daging.
Dalam rapat dengan Kementerian Pertanian, Kamis siang, APDI Jakarta memperoleh data bahwa pasokan daging sapi di importir dan distributor ada sekitar 15.000 ton. Akan tetapi, daging itu khusus untuk industri makanan olahan.
Demikian pula dengan daging beku yang diimpor Badan Urusan Logistik dari India yang jumlahnya mencakup 60 persen daging di pasaran. Daging beku ini juga khusus dijual kepada industri makanan olahan dan restoran waralaba.
”Pedagang eceran tidak bisa memperoleh stok daging yang banyak karena kami tidak mampu membeli daging dalam jumlah ton atau satu kontainer,” kata Mufti.
Ia menjelaskan, pedagang bisa membeli daging secara berkelompok agar mampu mendapat satu kontainer. Permasalahannya, daging itu tidak langsung tersedia. Butuh waktu satu hingga dua pekan daging itu sampai di tangan pedagang. Akibatnya, pedagang tidak tertarik patungan karena mereka tidak mampu menjalankan usaha jika modal tidak langsung balik.
Dalam paparan BPS DKI, Buyung mengatakan, indikator neraca perdagangan Jakarta diharapkan membaik. Alasannya, ada peningkatan di sektor ekspor yang naik menjadi 845 juta dollar Amerika Serikat atau naik 2,5 persen dibandingkan dengan Januari. Komoditas yang laku dijual ke luar negeri saat ini adalah mesin, peralatan mekanik, dan perhiasan. Sebaliknya, impor menurun menjadi 4,2 miliar dollar AS.
Meskipun begitu, Guru Besar Ekonomi Universitas Trisakti Tulus TH Tambunan mengatakan, terlalu cepat menyebut neraca perdagangan membaik. Kondisi di Jakarta tidak bisa mewakili Indonesia secara keseluruhan. Apabila mayoritas wilayah di Tanah Air mengalami inflasi, perdagangan belum pulih.