Terjerat Kasus Korupsi, Komisi B Minta Dana Pembelian Lahan PT Sarana Jaya Harus Kembali
Agar kasus korupsi di tubuh BUMD DKI Sarana Jaya yang menangani proyek rumah uang muka Rp 0 berlangsung tuntas dan mencegah kerugian DKI lebih banyak, anggaran pembelian lahan sebelumnya diminta dikembalikan.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi B Bidang Perekonomian DPRD DKI Jakarta meminta agar anggaran yang dipakai Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya guna mengadakan lahan untuk rumah dengan uang muka atau DP Rp 0 dan tersandung kasus korupsi bisa kembali ke kas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Komisi B juga meminta Badan Pembina Badan Usaha Milik Daerah atau BP BUMD DKI menyempurnakan prosedur standar operasi pengadaan tanah bagi BUMD.
Abdul Aziz, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, dalam agenda audiensi dengan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BP BUMD DKI Jakarta Riyadi dan Plt Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Indra Sukmono Arharrys, Rabu (31/3/2021). mengatakan, saat ini kasus pengadaan tanah untuk melaksanakan penugasan program DP Rp 0 oleh Sarana Jaya memang sedang dalam proses hukum. Tepatnya, kasus dugaan korupsi yang menyeret mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory C Pinontian itu sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jangan sampai uang ini lenyap entah ke mana karena ini kerugian negara statusnya.
Namun, Abdul Aziz meminta, saat proses hukum berjalan, anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta senilai Rp 200 miliar yang dipakai untuk pengadaan lahan di Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, harus kembali ke Pemprov DKI Jakarta. ”Jangan sampai uang ini lenyap entah ke mana karena ini kerugian negara statusnya,” kata Abdul Aziz.
Menurut Abdul Aziz, meski saat ini proses hukum di KPK tengah berlangsung, upaya pengembalian anggaran milik Pemprov DKI harus diupayakan semaksimal mungkin. Sebab, dengan kasus korupsi ini, Pemprov DKI mengalami kerugian waktu akibat transaksi yang tidak bisa berjalan. Selain itu juga rugi biaya dan rugi karena ada pejabat pemprov terkena kasus hukum.
Taufik Azhar, anggota Komisi B, dalam audiensi itu menegaskan, dengan terjadinya proses hukum atas pengadaan lahan tersebut, ia menyayangkan langkah Sarana Jaya yang ia nilai tidak hati-hati terhadap penggunaan dana penyertaan modal daerah (PMD).
”Sarana Jaya tidak hati-hati dalam menggunakan PMD. Itu bisa dilihat dari anggaran yang dikeluarkan untuk pembelian lahan menjadi masalah. Padahal, harus disadari bahwa anggaran pembelian lahan itu adalah uang rakyat yang harus dikawal penggunaannya,” ucapnya.
Riyadi saat dikonfirmasi soal permintaan itu menjelaskan, saat ini proses hukum terhadap kasus dugaan korupsi dalam pengadaan lahan untuk program DP Rp 0 itu sedang berlangsung. ”Kita ikuti dulu proses hukumnya,” kata Riyadi.
Indra juga menjelaskan hal yang sama dengan penjelasan Riyadi. ”Kita usahakan seoptimal mungkin, masukan dari Komisi B. Jadi, memang ini masih berproses. Kita tunggu saja,” ujarnya
Sebagai BUMD, Sarana Jaya mendapat penugasan melaksanakan program DP Rp 0 oleh Pemprov DKI. Untuk bisa membangun unit hunian yang terjangkau, Sarana Jaya mesti melakukan pengadaan tanah karena unit itu akan dimiliki atau dibeli warga, tidak disewa.
Bidang tanah yang dimaksud adalah bidang di Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Dalam pembelian lahan itu, Sarana Jaya berhubungan dengan PT Andonara selaku makelar. Anggaran Rp 217 miliar yang sudah dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta tidak kunjung diterima pemilik lahan. Hal itu yang memunculkan adanya pelaporan kepada Pemprov DKI dan lalu diusut.
Dalam audiensi itu pula, Komisi B meminta sejumlah hal kepada Sarana Jaya dan BP BUMD DKI Jakarta. Komisi B meminta Sarana Jaya untuk membuka data terkait pembelian lahan.
Gilbert Simanjuntak, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, dalam audiensi itu mengingatkan Sarana Jaya seharusnya bisa memberikan data detail mengenai lahan-lahan yang sudah dibeli Sarana Jaya. Sayangnya, Sarana Jaya hanya memaparkan data gelondongan terkait lahan yang dibeli pada 2018-2020, yaitu pembelian lahan untuk bank tanah (land bank) dan lahan DP Rp 0 di Jakarta Utara seluas 51 hektar dan di Jakarta Timur seluas 15 hektar.
Padahal, dalam paparan dua minggu lalu di Komisi B, Sarana Jaya memaparkan ada pembelian lahan seluas 70 hektar, tetapi itu juga tidak rinci sehingga audiensi dilanjutkan hari ini. ”Sebaiknya itu dituliskan di mana saja dan lokasinya untuk apa,” kata Simanjuntak mempertanyakan sikap Sarana Jaya.
Dalam paparan dua minggu lalu di Komisi B, Sarana Jaya memaparkan ada pembelian lahan seluas 70 hektar, tetapi itu juga tidak rinci sehingga audiensi dilanjutkan hari ini.
Selain meminta data detail, Komisi B juga meminta BP BUMD untuk menyempurnakan SOP pengadaan lahan. Itu karena dengan munculnya kasus hukum dalam pengadaan lahan, menunjukkan SOP pengadaan lahan belum mencakup keamanan-keamanan transaksi.
”Sebenarnya SOP ini sudah ada di BP BUMD. Namun, dengan kejadian ini berarti SOP ini belum mencakup keamanan transaksi. Jadi, SOP ini sebaiknya diperbarui, ditambah klausul-klausul pengamanan transaksi, salah satunya tanah yang akan dibeli harus bersertifikat hak milik,” kata Abdul Aziz.
Menurut Abdul Aziz, SOP harus disempurnakan supaya ada standardisasi, khususnya SOP dalam hal pengadaan lahan. ”Sampai ada kejadian seperti ini, berarti SOP-nya lemah. Kami terpanggil untuk memberikan masukan bahwa SOP ini sudah tidak layak, sudah harus diperbaiki,” ujarnya menambahkan.