Tidak hanya di wilayah permukiman perkampungan, bank sampah juga menggeliat di sejumlah kompleks perumahan kelas menengah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Minimnya pengelolaan sampah di Kota Tangerang Selatan membuat warga berinisiatif mengelola sendiri sampah-sampahnya. Bank-bank sampah bermunculan dan secara perlahan mulai membuat perubahan tata pembuangan kemasan bekas pakai di kawasan permukiman.
”Satu kali nimbang bisa dapat sampai 1 ton lebih. Biasanya dari 30-40 orang nasabah,” kata Ketua Bank Sampah Kresna 18 Irma Yunita ketika ditemui di rumahnya di Pondok Benda, Pamulang, Selasa (30/3/2021). Bahkan, saat penimbangan hari Minggu, 28 Maret, bank sampah ini memperoleh 1,17 ton sampah. Rekor mereka pada Desember 2019 dengan 2,5 ton sampah.
Sampah-sampah itu dipisah menjadi beberapa kategori. Botol minuman plastik tanpa tutup dan merek dihargai Rp 3.000 per kilogram. Apabila nasabah memberikan botol plastik lengkap dengan tutup dan mereknya, harganya jauh lebih murah, Rp 1.500 per kilogram.
Tutup botol yang dikelompokkan tersendiri harganya Rp 1.800 per kg. Plastik-plastik keresek ataupun bungkusan sekali pakai dan sedotan minuman dikategorikan ke dalam sampah ”asoy” yang dihargai Rp 250 per kg. Prinsip bank sampah ialah hampir semua bisa dijadikan uang.
Sampah-sampah itu dibeli pengepul. Umumnya, bank sampah mengambil selisih 10 persen dari harga jual. Dengan harga botol plastik polosan Rp 3.000 per kg, bank sampah mengambil margin Rp 300 untuk kas. Uang ini yang menjadi biaya operasional ataupun kegiatan lain, mencakup pemberian santunan kepada nasabah yang terdampak pandemi Covid-19.
”Lumayanlah bagi ibu-ibu rumah tangga bisa punya penghasilan tambahan dari sampah,” kata Irma.
Apalagi, Bank Sampah Kresna 18 berada di wilayah perkampungan yang memiliki banyak warung kelontong ataupun kios makanan. Para pemilik warung yang selama ini asal membuang sampah ke tempat penampungan sementara, kini menikmati manfaat dari sisa-sisa bungkus makanan dan minuman yang mereka jual.
Sebelum Bank Sampah Kresna 18 berdiri tahun 2019, warga umumnya membakar sampah mereka di lahan-lahan kosong. Sampah daun, sisa makanan, sampai plastik semua dibakar bersama-sama. Meski baunya menyengat, membakar sampah dipilih warga karena gratis dibandingkan membayar tukang sampah mengangkut dengan memakai gerobak.
Tidak hanya di wilayah perkampungan, bank sampah juga menggeliat di beberapa kompleks perumahan menengah ke atas, salah satu contohnya Bank Sampah Daffodil di Perumahan Batan Indah, Setu. Nasabahnya tidak hanya warga kompleks, tetapi juga warga dari Kampung Kademangan di luar kompleks, bahkan para pemulung.
”Salah satu nilai plus bank sampah ialah setiap jenis sampah memiliki ketentuan harga yang jelas dari pengepul. Kami tidak main taksir harga sehingga pemulung pun banyak yang menjual sampahnya melalui kami,” ujar Ketua Bank Sampah Daffodil, Siti Kumala Agus.
Uang hasil penjualan itu disimpan bendahara bank sampah. Bendahara pula yang rutin mencatat pengeluaran dan pemasukan nasabah di dalam buku tabungan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Sebuah bank sampah bila didaftarkan ke kelurahan dan Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan biasanya mendapat bantuan alat maupun buku tabungan.
Kumala menjelaskan, Bank Sampah Daffodil bekerja sama dengan pengepul yang menerima berbagai jenis sampah, termasuk styrofoam, mika, karet, beling, minyak jelantah, dan kain. Proses mencari pengepul ini susah-susah gampang, karena di Tangerang Selatan ada banyak pengepul sampah, tetapi belum tentu baik.
”Mengelola bank sampah ini bukan cuma soal memilah dan menjual sampah, ada tanggung jawab lingkungan dan moralnya. Kami menemukan banyak pengepul yang tidak transparan mengenai proses setelah membeli sampah dari masyarakat,” katanya.
Menurut Kumala, pengepul juga harus terbuka menjelaskan kepada masyarakat sampah-sampah yang mereka beli itu dibawa ke pabrik daur ulang atau justru dijual ke pengepul yang lebih besar. Harus ada pertanggungjawaban bahwa sampah tidak berujung di sungai-sungai atau ditimbun di bawah tanah.
”Akhirnya kami memperoleh kontak pengepul yang bisa menunjukkan bahwa sampah-sampah itu memang dibawa ke pabrik daur ulang," katanya.
Setiap kali menimbang, Bank Sampah Daffodil memperoleh 1-2 ton sampah. Mereka menimbang dua kali dalam satu bulan. Bahkan, sekarang di Daffodil juga mengembangkan Tim Guna Ulang.
”Sampah-sampah elektronik besar, seperti kulkas, dispenser air minum, dan televisi yang hendak dibuang oleh pemiliknya, kami tawarkan untuk diperbaiki supaya bisa mereka pakai kembali,” kata Kumala.
Permasalahan sampah di Tangerang Selatan memang pelik. Pemerintah Kota memilih membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) di Cilowong, Serang, karena TPAS Cipeucang sudah tidak mampu menerima sampah lebih banyak. Data Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan menyebutkan, setiap hari ada 980 ton sampah. Kapasitas maksimalnya hanya 400 ton sampah per hari. Pada 22 Mei 2020, TPSA Cipeucang longsor sehingga sampah menimbuni sungai Cisadane.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jakarta Tubagus Ahmadi mengatakan bahwa pengelolaan sampah dari rumah adalah kunci pengurangan sampah yang berakhir di TPAS. Pemilahan sampah oleh rumah tangga akan drastis mengurangi beban sampah di perkotaan karena yang benar-benar dibuang adalah sampah residu yang tidak bisa didaur ulang (Kompas.id, 13 Maret 2021).