Perhatian pemerintah saat ini masih menganggap masalah plastik ada di kemasan sekali pakai dan kantong keresek yang menumpuk di dalam sampah rumah tangga.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KRISTI DWI UTAMI
Sepeda milik para penjual kopi keliling yang biasa disebut starling diparkir di sekitar Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/9/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Membuang sampah plastik pada tempatnya atau mendaur ulang plastik adalah perilaku yang baik. Namun, ada langkah yang tak kalah penting untuk diketahui dan diterapkan, yakni cara pakai plastik dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki dampak kesehatan.
Untuk itu, diperlukan kebijakan lebih agresif dari pemerintah pusat dan daerah terkait cara pemakaian dan penanganan produk plastik pascapakai. Usulan aturan ini ditujukan kepada produsen kemasan plastik, produsen produk-produk yang dibungkus memakai plastik, serta bisnis ritel berskala besar, seperti supermarket dan toserba.
Sorotan itu muncul dalam diskusi ”Plastik, Hulu-Hilir Toxic” yang diadakan oleh Konsorsium Zero Waste di Jakarta, Senin (29/3/2021). ”Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah mengatur ada tujuh jenis plastik yang aman dipakai sebagai kemasan makanan dan minuman, tetapi ini belum cukup untuk memastikan penggunaan dan pembuangannya aman,” kata Ahmad Safrudin, Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB). Organisasi ini bagian dari Konsorsium Zero Waste.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Sejumlah gelas plastik dan tempat makanan styrofoam mengandung bahan berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Pemprov DKI Jakarta sedang menyiapkan peraturan gubernur (pergub) mengenai larangan penggunaan kantong plastik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendukung pergub tersebut dan meminta larangan diperluas, tak hanya soal plastik.
Beberapa contoh perilaku yang masih mudah dijumpai ialah membiarkan botol minuman lama terpapar sinar matahari dan memakai kemasan plastik untuk membungkus makanan ketika masih panas. Salah satunya para penjual kopi keliling atau starling yang menyeduh kopi di gelas plastik yang bukan peruntukkannya. Penjual makanan juga masih ditemui memakai kotak busa (polystyrene) atau styrofoam yang berbahaya jika terkena suhu tinggi.
Dosen Kimia Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Hartono, mengatakan, sosialisasi kepada para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah mengenai tata pakai kemasan plastik harus terus dilakukan. Mengonsumsi makanan atau minuman dari wadah plastik tidak tahan panas, senyawa-senyawa kimia dan partikel plastik akan ikut tertelan.
Di sejumlah toko juga masih jamak ditemukan teko-teko plastik yang di dalamnya diberi kumparan pemanas bertenaga listrik. Padahal, plastik tidak boleh dijadikan medium memanaskan makanan, apalagi berkepanjangan. ”Konsumsi secara terus-menerus bisa mengakibatkan penumpukan zat karsinogenik yang merupakan penyebab kanker,” katanya.
Ahmad memaparkan, pendekatan harus dari atas dan bawah. Pertama adalah memberi aturan mengenai tata pakai setiap kemasan plastik secara terbuka. Praktik ini dilakukan produsen plastik, produsen makanan, serta toko-toko yang menjual produk-produk itu. Intinya menjelaskan kepada calon pembeli apabila kemasan tertentu tidak boleh diletakkan di bawah sinar matahari langsung, diisi makanan atau minuman panas, dan tidak bisa dimasukkan ke dalam oven microwave.
Kedua ialah memberlakukan insentif bagi produsen plastik dan makanan kemasan. Berdasarkan aturan mengenai jenis plastik yang mana oleh BPOM, bisa dikerucutkan senyawa-senyawa kimia yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
”Apabila produsen plastik masih memakai senyawa tersebut, mereka bisa diberi cukai yang lebih tinggi dibandingkan produsen yang menggunakan bahan baku ramah lingkungan. Ini bisa menjadi pemantik agar produsen plastik dan produk kemasan memperbaiki mutu plastik yang mereka pakai,” kata Ahmad.
Efendi, pemulung yang tinggal di belakang Stasiun Karet, Jakarta, sedang memilah botol plastik, Rabu (2/12/2020).
Presiden Indonesian Solid Waste Association Sri Bebassari menerangkan, kehidupan manusia zaman sekarang tidak bisa terlepas dari plastik. Perhatian pemerintah saat ini masih menganggap masalah plastik ada di kemasan sekali pakai dan kantong keresek yang menumpuk di dalam sampah rumah tangga. Bahkan, data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebutkan setiap hari ada 7.700 ton sampah dari Ibu Kota yang dibuang di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang di Bekasi. Mayoritas atau 34 persen di antaranya adalah kantong keresek.
”Sesungguhnya, plastik ada di mana-mana, seperti kacamata, sikat gigi, sandal, dan alat-alat berat. Masalahnya bukan di plastiknya, melainkan cara kita memakai dan membuang yang tidak tertata. Kita terlalu fokus pada perkembangan teknologi tetapi melupakan pendidikan masyarakat sehingga orang-orang masih memperlakukan sampah plastik layaknya sampah organik yang bisa terurai alam,” ujarnya.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menyebutkan dalam Pasal 15 bahkan semua produsen harus bertanggung jawab terhadap produk dan kemasan yang tidak bisa terurau secara alami. Menurut Sri, aturan ini sesungguhnya bisa mengikat produsen untuk membuat tempat-tempat penampungan kemasan bekas milik mereka.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas bongkar muat air minum dalam kemasan di gudang perusahaan air minum dalam kemasan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2020).
Contoh perusahaan yang telah mempraktikkan aturan ini ialah perusahaan air minum kemasan dalam galon yang pascapakai diangkut ke penampungan milik perusahaan yang tersebar di berbagai daerah. Warung-warung dan toserba bisa menjadi mitra tempat warga menaruh plastik bekas mereka agar terkumpul dan bisa diangkut oleh pihak perusahaan.
Sri mengembangkan gagasan konsep ini ke perangkat elektronik, seperti telepon genggam dan seluler. Apabila toko-toko elektronik mau menampung gawai-gawai bekas untuk dikembalikan ke perusahaan yang memproduksinya. Perusahaan yang bertanggung jawab membuat sentra-sentra daur ulang.
”Dari Pasal 15 ini saja sebenarnya pemerintah pusat dan daerah bisa mewajibkan semua perusahaan dan pabrik memiliki sistem pengelolaan setelah penjualan. Mulai dari petunjuk pemakaian kemasan, cara pembuangan kemasan, hingga penanganan kemasan yang telah dibuang oleh masyarakat tersebut,” tuturnya.
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Suasana di Kampung Starling, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (23/3/2021). Pedagang kopi keliling—sering disebut starling alias starbucks keliling—bertahan meskipun omzet tak menentu imbas pandemi Covid-19.
Di Jakarta, sampah elektronik sudah diatur pembuangannya. Dinas Lingkungan Hidup menyediakan tempat pembuangan di kantor-kantor pemerintah dan halte transjakarta yang bisa diakses oleh warga awam.
Program-program guna ulang dan daur ulang sangat penting untuk memastikan plastik tidak berakhir di TPA dan sungai. Sistem ini mulai marak di masyarakat melalui berbagai bank sampah, tetapi harus ada induk dari pemerintah yang memastikan di suatu wilayah hal itu bisa dipenuhi.