Kekeluargaan Dulu dan Kini di Jalan Jaksa
Jalan Jaksa pernah jaya di era tahun 1970 hingga awal 2000. Turis asing yang didominasi anak muda berlalu lalang sebagaimana layaknya di kampung sendiri. Kini, meski sepi, rasa kekeluargaan masih terasa.
Nigel (66), turis asal Bournemouth, Inggris, satu-satunya turis yang Kompas temui, Sabtu (27/2/2021) malam di Jalan Jaksa. Sendirian, ia duduk di tepi jalan yang agak lengang sambil menikmati bir dingin. Kondisi yang jauh berbeda dari apa yang ia temui sebelumnya.
Sejauh ingatannya, ia pertama kali datang ke Jalan Jaksa pada akhir 1990-an. Saat itu, ia simggah bersama sahabat dan keluarga.
Saat itu, jalanan tak pernah sepi. Kafe-kafe ramai pengunjung, campuran antara warga lokal dan turis asing. Para turis berbaur dengan warga, tinggal di penginapan-penginapan kecil, rumah warga yang dijadikan penginapan dan hostel.
Interaksi yang terjalin antara warga dan turis menjadi daya tarik wisatawan. Ada yang belajar bahasa Indonesia mengucapkan selamat pagi hingga menikmati makanan lokal, seperti nasi uduk, kerak telur, dan gado-gado Betawi yang dijual warga. (Boy Lawalata)
”Interaksi dengan warga yang saya rindu. Sekarang, saya hanya ingin menikmati masa pensiun di tempat-tempat yang pernah saya kunjungi,” katanya, yang sudah menginap di Jalan Jaksa dua malam di sebuah hotel.
Baca juga: Jalan Jaksa yang Tak Lagi Bernyawa
Kenangan sama dirasakan Choiruddin (66), warga Tangerang Selatan, ”anak nongkrong” era 1990-an. Di Jalan Jaksa, saat itu kafe-kafe sangat ramai dan seru, terutama saat akhir pekan.
”Kami yang tidak saling kenal dengan turis atau orang lokal bisa cepat sekali akrab di kafe. Ngobrol panjang, tahu-tahu sudah dibayarin,” kata seniman lukis itu. Pengalaman yang tidak pernah ia rasakan lagi sejak tahun 2000-an.
Baca juga: Mencari yang Hilang dari Jalan Jaksa
Kini, Jalan Jaksa tak lebih dari sepotong jalan dengan suasana sepi. Kafe dan penginapan hampir tanpa pengunjung. Jejak-jejak sebagai pusat wisata malam hari pun hampir tak bersisa, seburam papan penanda di atas gapura besi di ujung jalan masuk.
”Sebelum ada Covid-19, rata-rata setiap hari tiga orang yang menginap. Sebagian besar memang pelanggan setia yang sudah berusia 50-60 tahun,” kata Boy Lawalata, generasi kedua pemilik Delima Youth Hostel.
Sejak 1998, saat demonstrasi dan kerusuhan terjadi di Indonesia, kunjungan turis asing ke Jalan Jaksa merosot derastis. Berbagai negara memberi peringatan kepada warganya untuk tidak mengunjungi Indonesia.
Pemilik Memories Cafe, Helmi Zain (64), tahun itu memiliki tiga kafe. Namun, ia tak mau berjudi dengan situasi dengan meneruskan pengelolaan tiga kafe sekaligus di masa krisis ekonomi. Apalagi tidak ada kepastian kunjungan wisatawan karena situasi keamanan.
Akhirnya ia memutuskan tak memperpanjang sewa dua kafe. ”Karena sepi, saya tidak lanjutkan sewa tempat dan fokus di Memories Café saja yang memang milik sendiri,” kata pria yang akrab dipanggil Haji Helmi tersebut.
Situasi politik 1998 mereda, kunjungan ke Jalan Jaksa berangsur pulih. Namun, situasi teror Bom Bali I (2002) dan Bom Bali II (2005) membuat sejumlah turis enggan berkunjung ke jalan sepanjang 400 meter itu. Selanjutnya, Jalan Jaksa yang terkenal di kalangan backpacker mancanegara itu sulit bangkit kembali hingga saat ini.
Pada masa jayanya, Memories Café bisa menghabiskan 20 kerat bir semalam. Saat ini, kata Helmi, satu kerat saja belum tentu habis seminggu. Karyawan yang dulu berjumlah 30 orang kini hanya tiga orang.
Baca juga: Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke DKI Jakarta pada September 2020 Turun
Sepinya kunjungan membuat bar, restoran, rumah makan, kafe, losmen, dan hostel, yang sebelumnya jamak ditemukan di Jalan Jaksa, tutup satu per satu. Dulu, setidaknya ada 16 hostel, termasuk di gang-gang kecil. Selain itu, terdapat 4 agen perjalanan, 2 kios binatu, 1 wartel, 2 tempat penukaran uang, dan 15 kafe.
Saat ini, tersisa 4 hostel, 1 agen perjalanan, 3 kafe, dan 1 tempat binatu. Sejumlah hostel tutup, beberapa beralih menyewakan kamar indekos bagi pekerja di ”jantung Jakarta” itu. Di beberapa bangunan, terdapat pelang ”dijual” atau ”disewakan”.
Bertumbuh organik
Kunjungan turis asing di Jalan Jaksa tumbuh organik. Tahun 1969, Nathanael Lawalata (meninggal 2007)—-ayahanda Boy—mulai menerima tamu pelancong luar negeri di rumahnya, Jalan Jaksa Nomor 5. Pria kelahiran 1912 itu punya banyak mitra kerja asing yang kerap menginap di dua kamar rumahnya.
Nathanael lalu merenovasi rumahnya menjadi wisma dengan tarif 1 dollar AS untuk satu tempat tidur per malam. Pada tahun 1970-an, 1 dollar AS setara Rp 200 saat itu. Rumah penginapan itu Delima Youth Hostel.
Nama itu ia ambil dari nomor rumahnya (nomor 5) dan jumlah keluarga di rumah itu: Nathanael, istri, dan tiga anaknya. Frasa youth hostel disematkan karena sebagian besar yang menginap pemuda.
Konsep rumah sebagai penginapan murah dan bernuansa kekeluargaan, tersebar dari mulut ke mulut sehingga Delima Youth Hostel menjadi rekomendasi tempat singgah backpacker saat ke Indonesia. Hostel itu juga didaftarkan dalam jaringan hostel internasional, yakni International Youth Hostel Federation yang berpusat di London, Inggris.
Baca juga: Wisata Jakarta Belum Cukup Mengundang
Hostel ini pun masuk buku panduan perjalanan internasional, The Lonely Planet yang terbit pertama kali tahun 1980-an. Tak pelak, Jalan Jaksa tumbuh menjadi destinasi yang selalu ramai. Keramaian di bulan Agustus, saat liburan musim panas pelajar di Amerika Serikat.
Beberapa turis bahkan sampai tidur di lantai rumah Nathanael beralaskan tas tidur. Banyaknya kunjungan membuatnya menambah kamar. Bertahap, hingga 14 kamar dengan 36 tempat tidur.
Keberadaan Bandar Udara Kemayoran yang membuka penerbangan internasional di Indonesia membuat Jakarta menjadi tempat transit backpacker. Jalan Jaksa jadi tempat menginap sebelum mengunjungi bangunan bersejarah Jakarta lain atau tempat wisata lain seperti Bali, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara.
Setelah itu, warga sekitar pun banyak membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan turis. Boy bercerita, ayahnya lalu mendirikan komunitas bersama sejumlah organisasi. Mereka rutin menggelar berbagai kegiatan, salah satu yang paling populer adalah Festival Jalan Jaksa pada 1997.
Menurut Boy, interaksi yang terjalin antara warga dan turis menjadi daya tarik wisatawan. Warga menjadi informan obyek wisata lain di Jakarta dan Indonesia. Ada juga yang belajar bahasa Indonesia mengucapkan selamat pagi, hingga menikmati makanan lokal, seperti nasi uduk, kerak telur, dan gado-gado Betawi yang dijual warga.
Kekeluargaan itu masih terjalin. ”Tahun lalu masih ada yang menginap. Rata-rata pelanggan setia yang sudah nyaman menginap dan akrab dengan kami. Ketika pandemi Covid-19, praktis tidak ada sama sekali,” ujar Boy.
Penyebab redup
Ada beberapa hal yang diduga membuat Jalan Jaksa kini sepi turis mancanegara. Selain karena suasana politik tahun 1998 dan beberapa kali teror bom di Indonesia, diduga juga karena penerbangan internasional sudah banyak dibuka di berbagai provinsi. Tak perlu transit di Jakarta.
Helmi menilai merosotnya kunjungan terkait beberapa pemilik hostel dan kafe menjual lahan dan bangunannya. Lalu, berganti hotel, perkantoran, supermarket, dan kedai kopi masa kini. Fenomena itu mulai 1998 saat kunjungan turis mulai turun.
Sedikit banyak, situasi itu membuat suasana kekeluargaan dan nuansa lokal warga Jalan Jaksa memudar. Haji Helmi sendiri sudah memasang pengumuman menjual Memories Cafe. Ketiga anaknya tak tertarik melanjutkan usaha kafe saksi bisu kejayaan wisata berbasis komunitas di Ibu Kota itu.
”Saya mau bertani saja di masa tua. Kebetulan ada tanah di Jawa Barat. Kalaupun mau melanjutkan, mungkin bangun hotel, tetapi masih berhitung di tengah pandemi,” ujarnya.
Namun, kekeluargaan dan keramahan Jalan Jaksa masih terasa. Haji Helmi mengantarkan kami hingga pintu keluar kafe sembari mengucapkan terima kasih beberapa kali. Ia berdiri di depan kafe sampai kami masuk ke dalam mobil.
Adapun Boy meminta kami bersantap soto di halaman Delima Youth Hostel. ”Santai saja, kita, kan, keluarga,” kata Boy, yang kami temui Senin (1/3). Hari itu, kami merasakan kehangatan yang dirasakan para pelancong beransel kala itu.
Sebelumnya, Boy mengatakan, ia bertekad melanjutkan penginapan yang sudah dirintis ayahnya dengan mempromosikannya melalui aplikasi internet. Ayahnya yang pertama memulai Jalan Jaksa, Boy tak mau mengakhirinya.