Dua Wajah Kota Samarinda
Kikis sisi wajah yang penuh masalah sejak dini demi memunculkan satu wajah kota yang beradab. Kunci utamanya pada kemampuan menempatkan prioritas percepatan pembangunan yang berdampak luas bagi publik.

Taman Samarendah dan Menara Lampu Hias beserta patung-patung kuda di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (9/3/2021).
Sejenak bertandang ke Kota Samarinda di Kalimantan Timur pada pekan kedua Maret, beberapa ikon kotanya cukup menarik perhatian. Ada Taman Samarendah yang dinikmati sebagian warga untuk olahraga atau sekadar nongkrong menghirup udara segar di bawah naungan tajuk pohon rindang.
Lampu hias seperti muncul tiba-tiba di tengah taman menjulang ke langit. Pada malam hari, warna-warni cahaya terpancar dari lampu menyerupai menara terpilin yang disebut-sebut mirip salah satu gedung pencakar langit di Dubai, Uni Emirat Arab. Di bawah menara lampu ada patung-patung kuda gagah yang seakan tengah meringkik dan berlari.
Selain Samarendah, ada taman kota yang telah lebih lama eksis dan tenar, yaitu Taman Tepian Mahakam di depan kompleks Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Taman Tepian lebar, lapang dengan berderet pohon hijau, dan lumayan bersih. Hanya saja terasa ada kesan usang kurang terawat. Patung tiga pesut yang menggambarkan kawanan pesut Sungai Mahakam tampil berkarat, bernoda, tak mulus lagi. Bendera merah putih pudar berkibar di antara para pesut.
Hujan yang mengguyur kala itu turut menampakkan sisi lain Samarinda. Kita ditarik ke alam nyata yang terlihat dari masih kacaunya kota ketika limpahan air dari langit datang.
Tubuh Mahakam dengan air coklat tua terhampar luas tepat di sepanjang sisi Taman Tepian. Di sisi kanan, di kejauhan, tampak Jembatan Mahakam 1 dan Jembatan Mahakam 4 yang sering disebut Jembatan Kembar karena terletak berdampingan. Jembatan itu selain bentuk fisiknya keren, fungsinya juga vital. Jembatan Mahakam menghubungkan Samarinda Kota dengan Samarinda Seberang.
Yang tak kalah memikat lagi adalah Masjid Islamic Center Samarinda atau MICS. Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama menyebutkan bahwa MICS yang khas dengan banyak menara itu disebut sebagai masjid terbesar kedua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta.

Warga memancing di Sungai Mahakam seperti terlihat dari Taman Tepian, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (9/3/2021). Masjid Islamic Center Samarinda sebagai salah satu ikon Samarinda tampak megah dengan sejumlah menaranya.
Usai memanjakan mata melihat berbagai ikon kota itu, saatnya bergerak meninggalkan kota seluas 718 kilometer persegi atau sekitar 50 kilometer persegi lebih besar dibandingkan DKI Jakarta, tetapi berpenduduk sekitar 812.000 jiwa atau kurang dari 10 persen dibandingkan jumlah warga Ibu Kota.
Hujan yang mengguyur kala itu turut menampakkan sisi lain Samarinda. Dari era modern yang ditandai jembatan megah dan menara lampu hias taman ala Dubai, seakan pengunjung ditarik ke alam nyata yang terlihat dari masih kacaunya kota ketika limpahan air seusai hujan turun.
Di beberapa lokasi, air tumpah dari saluran drainase mengalir deras menutupi jalanan aspal. Arus lalu lintas segera terdampak dan antrean kendaraan pun terjadi. Banjir selama ini memang telah menjadi langganan. Ada persoalan penyempitan dan pendangkalan sungai serta belum tertatanya sistem pengelolaan drainase. Di beberapa bagian kota juga disebut lebih rendah dari muka air sungai.
Baca juga: Bekantan Balikpapan di Era Kota 4.0
Kota yang berkembang cepat sekaligus terbelit persoalan-persoalan yang membebaninya tidak hanya terjadi di Samarinda. Di Indonesia, dari ujung Aceh sampai Papua, bahkan kota-kota di Jawa yang selama ini dinilai lebih maju dibandingkan di luar Jawa, ketimpangan-ketimpangan masih subur terjadi.

Salah satu jalan protokol di Samarinda, Kalimantan Timur, terendam air, Rabu (15/1/2020). Mobilitas warga terganggu sebab 20 jalan protokol terendam air.
Sering kali muncul pertanyaan, wali kota dan bupati silih berganti, pun gubernur, tetapi mengapa persoalan kawasan yang itu-itu saja selalu muncul. Kalau di tiap periode pemimpin daerah bisa membangun gedung A atau proyek B senilai miliaran bahkan triliunan rupiah, mengapa masalah air bersih perpipaan, penanggulangan banjir, revitalisasi sungai, pembangunan jaringan layanan transportasi umum, dan lain-lainnya dibiarkan terus berjalan lamban?
Penyakit negara berkembang
Gejala yang dialami kota-kota di Indonesia ternyata mirip dengan kondisi di kota-kota lain di negara-negara berkembang.
Bank Dunia mencatat, lebih dari 80 persen pendapatan domestik bruto global kini dihasilkan di kota-kota yang berkorelasi dengan proses urbanisasi cepat di seluruh penjuru dunia. Namun, kecepatan dan skala urbanisasi membawa tantangan, termasuk memenuhi permintaan yang meningkat akan perumahan terjangkau, sistem transportasi yang terhubung dengan baik, dan infrastruktur lainnya, layanan dasar, serta pekerjaan, terutama bagi hampir 1 miliar kaum miskin perkotaan yang sekarang tinggal di permukiman informal.
Baca juga: Makanan Penyembuh Kota yang Lara
Begitu sebuah kota dibangun, bentuk fisik dan pola penggunaan lahannya terkunci selama beberapa generasi yang mengarah pada perluasan yang tidak berkelanjutan. Perluasan konsumsi lahan perkotaan melampaui pertumbuhan penduduk sebanyak 50 persen. Diprediksi, ada tambahan 1,2 juta kilometer persegi wilayah terbangun perkotaan baru di dunia dalam tiga dekade ke depan.
Penyebaran seperti itu memberi tekanan pada tanah serta sumber daya alam dan mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Saat ini saja, kota mengonsumsi dua pertiga dari konsumsi energi global dan menyumbang lebih dari 70 persen emisi gas rumah kaca.

Ilustrasi Imajinasi
Sally E Findley dalam buku Third World Cities: Problems, Policies, and Prospects (1993) menyatakan, sejak tahun 1990-an, pertumbuhan wilayah metropolitan di negara yang tengah dalam proses berkembang terjadi berlebihan. Untuk itu, pemerintah sangat ingin mendorong distribusi populasi yang mereka yakini akan lebih sesuai dengan strategi pembangunan mereka.
Ada pengembangan kawasan perkotaan baru di kota-kota utama. Namun, yang kemudian terjadi adalah makin masifnya migrasi penduduk dari desa ke kota hingga memunculkan megakota akibat satu kota besar yang terus tumbuh dan menyatu dengan kawasan pengembangan di sekitarnya.
Gejala megakota kini mudah dikenali di Indonesia. Tidak semuanya lantas menjadi sebesar Jakarta, tetapi duplikasi masalahnya terjadi hampir sama persis.
Negara-negara berkembang dengan kota-kotanya yang terus bergerak dinamis, selama ini kurang bisa mengejar dan menjawab tantangan, antara lain karena persoalan sumber daya manusia dan kestabilan ketersediaan dana. Jumlah sumber daya manusia tersedia melimpah, tetapi kualitasnya belum merata. Selain terkait pendidikan formal, kualitas sumber daya manusia juga ditentukan pengetahuan atas hak dan kewajiban yang belum memadai. Hal ini terjadi di semua tataran baik masyarakat umum maupun para pemimpinnya.
Baca juga: Menanti Ide ”Out of the Box” Para Pemimpin Daerah
Terkait layanan dasar seperti ketersediaan air bersih dan rasa aman, termasuk dari ancaman bencana, belum semua warga urban yang juga pembayar pajak memahami bahwa mereka bisa menuntut pemerintah untuk memenuhinya. Pemerintah, di tingkat daerah maupun pusat, belum semuanya mampu membuat prioritas pembangunan yang bertujuan memenuhi kebutuhan warganya.

Rugi besar
Di Jakarta, sebagai contoh, pada tahun 2009 pernah muncul prediksi bahwa kota ini akan macet total pada 2014, jika tidak segera melakukan intervensi pada peningkatan jaringan angkutan umum, penambahan jalan, serta pengendalian penggunaan kendaraan pribadi. Kompas edisi 19 Juni 2009 melaporkan sejumlah ahli membuat prediksi tersebut atas dasar riset. Kerugian akibat kemacetan di Jakarta, sesuai data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek pada 2017, mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Setelah bertahun-tahun ”menderita” dan menanggung kerugian begitu besar hingga dalam situasi terpojok tanpa pilihan selain berbenah, barulah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat menempatkan penanganan kemacetan Ibu Kota menjadi prioritas utama. Pembangunan angkutan massal dan pembenahan angkutan umum eksisting dijanjikan dipercepat. Berbagai rencana penataan dan pembangunan transportasi publik yang tertunda sejak 30 tahun lalu akhirnya satu per satu diwujudkan.
Pelajaran penting dari kasus DKI adalah tidak perlu mengikuti cara kota ini menunda puluhan tahun untuk pembenahan yang bisa dilakukan lebih awal ketika masalah belum terlalu parah.
Satu dasawarsa lebih berlalu. Barulah kini warga Ibu Kota akhirnya merasakan cakupan layanan luas jaringan bus Transjakarta, kereta komuter KRL yang makin efektif, angkutan reguler berupa bus sedang dan angkutan umum kecil yang nyaman berkat peremajaan, serta terbaru kereta massal cepat atau MRT yang canggih. Walau masih jauh dari sempurna, di tengah kemacetan yang masih mendera, penghuni kota terbesar di Indonesia mulai memiliki alternatif jaringan angkutan umum yang nyaman dengan waktu tempuh bersaing dengan kendaraan bermotor pribadi.

Dalam kasus penanganan banjir, pengalaman Jakarta pun kurang lebih sama. Usai banjir besar tahun 2007 yang nyaris melumpuhkan kota utama Indonesia ini selama beberapa hari, barulah sepanjang hampir 15 tahun terakhir pemerintah menggenjot penataan sungai, revitalisasi sistem drainase, sodetan antarsungai, dan mulai membangun tanggul pantai. Meskipun demikian, banjir masih jadi penyakit yang belum bisa ditundukkan. DKI masih punya segudang pekerjaan rumah lagi agar banjir teratasi.
Pelajaran penting dari kasus DKI adalah tidak perlu mengikuti cara kota ini menunda puluhan tahun pembenahan yang sebenarnya bisa dilakukan lebih awal ketika masalah belum parah. Kota-kota seperti Samarinda perlu segera mengikis sisi wajah yang bermasalah sejak dini agar dapat memunculkan satu wajah kota yang beradab. Kunci utamanya pada kemampuan menempatkan prioritas percepatan pembangunan yang benar-benar dibutuhkan suatu kota dan berdampak luas bagi warganya.