Warga Enggan dan Gengsi untuk Berpindah dari Air Tanah ke Air Perpipaan
Kendala utama ialah kemauan masyarakat untuk beralih dari pemakaian air tanah ke air perpipaan. Umumnya butuh paling sebentar enam bulan bagi warga untuk berproses beralih ke air tanah ke air perpipaan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Penyedotan air tanah oleh masyarakat merupakan masalah perkotaan dan lingkungan yang patut ditindaklanjuti segera karena akan berakibat pada penurunan muka tanah dan intrusi air laut ke dalam cekungan air tanah Ibu Kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan, pada 2023 cakupan air perpipaan mencapai 82 persen.
Data Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya tahun 2020 menyebutkan baru 64 persen dari penduduk Jakarta yang memiliki akses air perpipaan. Sisanya masih mengandalkan air tanah yang disedot dengan memakai pompa dan sumur galian. Berdasarkan data itu, sebagian besar masyarakat yang belum memiliki atau memilih air perpipaan berada di Jakarta Selatan.
”Warga masih memilih memakai air tanah karena gratis. Apalagi di daerah sini kan banyak kos-kosan. Secara umum biaya menyedot air tanah lebih murah daripada bayar langgana PAM,” kata Murijo, Ketua RW (rukun warga) 04 Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, ketika dihubungi pada hari Kamis (25/3/2021).
Pernyataan itu diamini oleh Kepala Seksi Ekonomi Pembangunan Srengseng Sawah, Nidya Husna. Ia menjelaskan, warga setempat memercayai jumlah dan kualitas air tanah masih mencukupi. Apalagi, adanya program pembangunan sumur resapan juga membuat warga berpikir mereka sudah menabung atau mengganti air yang disedot untuk dipakai sehari-hari sehingga air tanah tidak habis.
Saya enggak yakin dengan mutu air PAM. Kan, katanya, airnya itu bekas olahan dari macam-macam sumber. Enggak pakai dulu deh. (Tammy)
Terdapat pula stigma bahwa air perpipaan biasanya diperuntukkan di permukiman padat di wilayah yang kesulitan memperoleh air. Selain itu, juga ada gengsi memakai air perpipaan karena beberapa sumber air bakunya adalah air daur ulang dari sungai, kali, dan limbah rumah tangga.
Hal itu diungkapkan oleh Tammy (36), seorang warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ia tinggal di salah satu kompleks perumahan yang umumnya masih menyedot air tanah.
”Pertama, memang di Lebak Bulus sini setahu saya belum ada pipa PAM. Kedua, saya enggak yakin dengan mutu air PAM. Kan, katanya, airnya itu bekas olahan dari macam-macam sumber. Enggak pakai dulu deh. Mungkin nanti kalau memang perlu. Sejauh ini sih dari saya masih kecil kita enggak pernah kesulitan air,” ujarnya.
Camat Cilandak, Mundari ketika ditemui di kantornya mengatakan bahwa jalur pipa PAM di kecamatan itu belum ada. Pipa air besar baru untuk hidran sepanjang Jalan Fatmawati Raya menuju ke Karang Tengah. Ia menuturkan senang sekali apabila pipa PAM masuk ke wilayah itu mengingat pembangunan yang kian pesat dan pasokan air masyarakat harus selalu terjaga.
”Biasanya baru gedung-gedung apartemen yang memakai air perpipaan karena salah satu syarat pendirian bangunannya harus memiliki fasilitas instalasi pengolahan air limbah. Rumah-rumah tapak di kompleks ataupun kampung memang belum tersentuh air perpipaan. Kami di kecamatan pasti akan membantu sosialisasi ke masyarakat kalau pipa PAM sudah pasti segera dibangun,” ujarnya.
Mundari mengungkapkan, di Cilandak, menurut rencana, akan dilakukan sosialisasi oleh perusahaan swasta pengelola air PAM-Lyonnaise Jaya (Palyja). Pihak perusahaan sudah mendatangi kecamatan untuk meminta izin sosialisasi mengenai air perpipaan.
Bahu-membahu
Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo, seusai meresmikan sistem penyediaan air minum (SPAM) Rumah Susun Pesakih di Daan Mogot, Duri Kosambi, Jakarta Barat, pada 22 Maret, mengatakan, kendala utama ialah kemauan masyarakat untuk beralih dari pemakaian air tanah ke air perpipaan. Pengalaman perusahaan ini menunjukkan umumnya butuh waktu paling sebentar enam bulan bagi warga untuk beralih ke air pipa dan menyambung saluran air rumah mereka ke saluran milik PAM Jaya.
”Biaya untuk menyambung pipa dari milik PAM ke rumah warga Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Menurut saya ini masih terjangkau oleh masyarakat,” katanya. Penghitungan PAM Jaya, rumah tangga sederhana biasanya menghabiskan 20 meter kubik air setiap bulan. Biaya yang harus dibayar adalah Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per bulan.
PAM Jaya akan mengalirkan air dari Waduk Jatiluhur di Jawa Barat dan Waduk Krian di Banten ke wilayah-wilayah Ibu Kota. Selain itu, juga akan dibangun berbagai SPAM dengan memanfaatkan badan-badan air lokal, seperti Sungai Pesanggrahan di Lebak Bulus, Ciliwung, Setu Babakan, dan 111 situ/embung yang belum termanfaatkan secara optimal. Apalagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga akan membangun waduk Pondok Ranggon, Lebak Bulus, Brigif, dan Wirajasa yang nanti akan dipakai untuk tadah hujan sekaligus sumber air baku untuk diolah dan dialirkan ke rumah-rumah warga sebagai air siap minum.
Intrusi air laut
Dosen Pendidikan Geografi Universitas Negeri Jakarta, Cahyadi Setiawan, yang meneliti soal pemakaian air tanah di Jakarta dan kota-kota satelitnya mengatakan, wilayah pesisir Ibu Kota merupakan titik-titik pengambilan air tanah secara besar-besaran. Akibatnya, pori-pori tanah mengering dan memadat.
Adanya gedung, jalanan, dan kegiatan masyarakat di atasnya membuat permukaan tanah menurun dengan kecepatan 7-9 sentimeter setiap tahun. Wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan sebagian dari Jakarta Pusat membentuk 40 persen dari Ibu Kota yang ketinggian permukaannya lebih rendah daripada air laut di waktu pasang.
”Berbicara soal cekungan air tanah di Jakarta, artinya berbicara mengenai air tanah di Jabodetabek karena saling terkait. Jakarta Selatan mungkin sekarang belum merasa krisis air. Tapi, kenyataannya setiap tahun sejumlah daerah harus menggali sumur lebih dalam guna mencari air,” tuturnya.
Pemakaian air tanah juga tidak ideal secara mutu karena ada takaran Total Coliform dan Coli Tinja yang jauh melampaui ambang batas. Belum ditambah pencemaran berbagai mineral, logam berat, dan senyawa kimia berbahaya. Sekadar menyaring dan merebus air tanah sebelum digunakan tidak cukup.
Cahyadi memaparkan, kian bertambahnya cekungan air tanah mengakibatkan intrusi air laut, yakni air asin meresap ke dalam tanah. Massa jenis air laut lebih berat daripada air tawar, oleh sebab itu air asin ini akan turun dan berada di bawah air tanah. Ke depannya akan memberi pengaruh pada mutu tanah dan ekologi karena kadar garamnya bertambah.
Di samping itu, intrusi air asin berarti air laut dari Teluk Jakarta yang memiliki pencemaran logam berat, seperti merkuri, sangat tinggi. Polutan ini bisa menyebar ke air tawar dan tanah itu sendiri sehingga membahayakan manusia dan makhluk hidup lain.
Daerah-daerah penyerap air, seperti Jakarta Selatan, Depok, Bogor, dan Tangerang Raya, juga harus berkomitmen menjaga keutuhan air tanah. Program membangun sumur resapan adalah langkah yang baik untuk memasukkan air tawar dari hujan ke tanah. Akan tetapi, air ini jangan disedot lagi untuk dipakai karena nanti upaya pengawetan air akan sia-sia.