Dianggap Mengganggu, Ironi Nasib Ondel-ondel Jakarta
Orang-orang Belanda dulunya menjuluki ondel-ondel sebagai boneka besar pengusir roh jahat karena dipercaya sebagai penolak bala, termasuk wabah penyakit.
Orang-orang Belanda dulunya menjuluki ondel-ondel sebagai poppen om geesten te verjagen atau boneka besar pengusir roh jahat karena dipercaya sebagai penolak bala, termasuk wabah penyakit. Ironisnya, ketika wabah Covid-19 masih melanda, keberadaan ondel-ondel di jalanan justru dilarang karena dianggap menyalahi pakem.
Jumat (26/3/2021) sekitar pukul 13.30, puluhan ondel-ondel berjajar di pinggir Jalan Kembang Pacar di kawasan Kramat, Senen, Jakarta Pusat. Beberapa orang sibuk lalu lalang di depannya sambil membawa gerobak musik pengiring ondel-ondel.
Suasana semakin semarak ketika para pemain ondel-ondel yang berasal dari kalangan dewasa, remaja, anak-anak, hingga perempuan berdatangan. Mereka berkelompok 3-4 orang dengan dandanan ala kadarnya.
Satu per satu dari mereka kemudian naik ke dalam bajaj dan mikrolet yang sudah ngetem di sana selama berjam-jam. Sementara ondel-ondel yang akan mereka mainkan diikat di atas atap mobil. Dari sana, mereka menuju lokasi beragam, seperti Tanah Abang, Kebayoran Lama, dan Kebon Jeruk.
Tidak jauh dari lokasi tersebut, Rizky (30), salah satu pemain ondel-ondel jalanan, terlihat duduk di emperan ruko. Dia termenung sambil menunggu ketiga temannya selesai menyantap makan siang. Meski berkali-kali ditawari makan oleh teman-temannya, Rizky menolak.
”Kalau belum dapat uang gini, ane kepikiran sama bini di rumah. Dia lagi hamil enam bulan. Kagak tenang aja rasanya,” katanya saat ditemui.
Padahal, Rizky harus menyiapkan tenaganya sebelum berkeliling ke kampung-kampung hingga malam hari. Berangkat dari Senen pukul 14.00, Rizky dan kawan-kawan biasanya pulang pada pukul 22.00.
Rizky mengaku resah jika pada hari itu dirinya menjadi target penertiban dari petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP), seperti yang menimpa salah satu temannya pada Kamis (25/3/2021). Akibatnya, temannya harus merelakan ondel-ondel sewaan tersebut disita oleh petugas satpol PP di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Keberadaan ondel-ondel jalanan kini kembali dilarang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut keberadaan ondel-ondel jalanan mengganggu masyarakat.
Sebagai putra asli betawi, Rizky menyadari ondel-ondel tidak patut dijadikan alat untuk mengemis. Namun, hal ini terpaksa dia lakukan karena selama ini sulit mencari pekerjaan. Bahkan, beberapa kali, dia ditegur warga asli Jakarta karena dianggap mencoreng kesenian ondel-ondel.
”Ane sebenarnya pengin jadi pengemudi ojek daring gitu kayak teman-teman. Tapi, sepeda motor kagak punya. Ini aja masih nabung buat lahiran anak,” ungkap pria yang sudah sepuluh tahun menjadi ondel-ondel jalanan ini.
Pandemi Covid-19 membuat situasi Rizky semakin berat. Jika sebelumnya dia banyak mendapatkan panggilan untuk meramaikan pesta ulang tahun atau pernikahan, kini panggilan tersebut nihil.
Belum lagi pendapatannya di jalan yang kian menurun. Jika sebelumnya rata-rata Rizky dan 3-4 temannya mampu membawa pulang Rp 500.000 per hari, kini mereka hanya bisa mendapat Rp 400.000. Angka tersebut masih harus dikurangi Rp 80.000 untuk setoran kepada pemilik ondel-ondel. ”Dulu, sebelum pandemi, ada panggilan buat ulang tahun dan nikahan. Waktu itu malah pernah disewa buat acara nikahan di Ciawi, Bogor,” ungkapnya.
Rizky berharap ada solusi terbaik untuk memberdayakan para pemain ondel-ondel di Jakarta seperti dirinya. Dengan begitu mereka bisa melestarikan ondel-ondel lewat cara yang lebih baik. Misalnya dengan memberikan panggung untuk mereka di kawasan-kawasan wisata Jakarta.
”Buat meramaikan Asian Games 2018, misalnya, ane disuruh main di depan Museum Mandiri, Kota Tua,” kata pria yang mengenakan peci merah khas Betawi ini saat ditemui.
Sementara Rahmat (31) menjadikan ondel-ondel sebagai mata pencariannya seusai terdepak dari tempat kerjanya, empat tahun lalu. Sebelumnya dia menjadi petugas sekuriti di salah satu gedung perkantoran. ”Dari pendapatan, memang lebih enak sekuriti. Tapi, jadi ondel-ondel lebih nyaman karena enggak ada yang ngatur,” katanya.
Baca juga : Achmad Syaugie, Pelestari Ondel-Ondel Betawi
Rahmat mengaku tidak terusik dengan adanya pelarangan ondel-ondel oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pasalnya, selama ini dia selalu tampil di daerah Parung, Bogor, bersama tiga temannya. Hanya saja ondel-ondel tersebut dia sewa dari sanggar di Kramat.
”Sebulan sekali, saya ke Jakarta buat kasih setoran. Kalau di Bogor lumayan, setiap hari bisa dapat Rp 70.000 per orang. Soalnya enggak ada saingannya,” ungkapnya.
Dua tahun terakhir, Rahmat yang merupakan warga asli Kramat Pulo memilih menjadi ondel-ondel jalanan di Parung. Saat itu pelarangan ondel-ondel di Jakarta sudah mulai ramai diperbincangkan. Dia bahkan mengajak anak dan istrinya mengontrak rumah di Parung.
Pakem ditaati
Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mengungkapkan, pengamen ondel-ondel sudah diberikan ruang oleh Pemerintah Hindia-Belanda sejak 1930-an. Namun, ada pakem-pakem yang harus ditaati. Misalnya ondel-ondel harus sepasang, musik pengiringnya dimainkan langsung, dan pemainnya memakai seragam. ”Mereka dikenai pajak. Kalau melanggar pakem, akan dikenai denda,” ungkapnya.
Bedanya, saat ini ada dua tipe pengamen ondel-ondel di Jakarta. Pertama, pengamen dari kalangan seniman yang masih menjaga pakem. Kedua, warga yang memanfaatkan ondel-ondel untuk mencari uang. Tipe ini mudah diidentifikasi dari pakaiannya yang serampangan. ”Karena banyaknya orang yang tidak menjaga pakem, para seniman ini kemudian tersingkir. Sebagai seniman, mereka malu,” katanya.
Yahya menambahkan, Pemerintah Hindia-Belanda dulu menyiapkan lokasi keramaian yang dapat digunakan oleh pengamen ondel-ondel, seperti pasar atau terminal. Mereka hanya boleh tampil pada hari dan jam tertentu.
Menurut dia, cara tersebut bisa diadopsi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apalagi ruang-ruang publik di Jakarta saat ini cukup banyak. Oknum-oknum yang memanfaatkan ondel-ondel untuk mencari uang di jalanan bisa dibina untuk tampil di ruang-ruang tersebut. Tentunya dengan pakem yang benar.
”Kalau itu diterapkan di Ancol, misalnya, sepuluh kelompok ondel-ondel (biasanya 12 orang) saja masih kurang. Di Ragunan, lima kelompok juga masih kurang,” katanya.
Baca juga : Seniman Ondel-Ondel Lawan Stigma Negatif
Terlebih, jika merujuk pada fungsi ondel-ondel sebagai penolak bala, kesenian ondel-ondel di masa pandemi ini justru harus sering dimunculkan. Orang-orang Belanda bahkan mengakui ondel-ondel sebagai boneka besar pengusir roh jahat (poppen om geesten te verjagen).
”Dulu, kalau ada wabah penyakit, seperti cacar air, orang-orang kampung akan segera memanggil ondel-ondel untuk mengadakan upacara ngukup atau bersih kampung,” tambah Yahya.