”Tim Hore” Saat Liputan Pencarian Sriwijaya Air SJ-182
Saya membayangkan bakal menaiki kapal KRI Rigel 933 milik TNI AL. Namun, bayangan itu tinggal angan-angan belaka. Setiba di lokasi pencarian jatuhnya pesawat Sriwijaya, saya dan awak media lainnya terpaksa gigit jari.
Dalam hidup, kita tidak selalu bisa memperoleh apa yang kita inginkan. Demikian pula dalam liputan. Ini yang saya alami saat ditugaskan meliput pencarian pesawat Sriwijaya Air SJ-182.
Pesawat ini dikabarkan jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (9/1/2021), tidak lama setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Informasi jatuhnya pesawat yang membawa 62 penumpang ini ramai di lini masa sejak sore hingga hari-hari berikutnya.
Pemerintah kemudian mengerahkan tim pencarian dan penyelamatan ke titik yang diduga menjadi lokasi jatuhnya pesawat. Didirikan pula posko krisis di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Bandara Supadio, Pontianak, serta di Dermaga JICT Pelabuhan Tanjung Priok dan RS Polri Kramat Jati.
Sabtu sore menjelang malam, saya ditelepon editor Desk Investigasi dan Liputan Khusus. Hari itu, saya yang kebetulan sedang jatah libur diminta segera berangkat ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta untuk mengumpulkan informasi tentang jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182. Hari libur saya dijanjikan akan diganti keesokan harinya.
Pesawat ini sempat menunda penerbangan selama 30 menit akibat hujan deras sehingga baru lepas landas pukul 14.36 WIB. Selang empat menit kemudian, pesawat hilang kontak.
Hingga tengah malam, saya berada di posko krisis Terminal 2D. Informasi yang saya peroleh, Sriwijaya Air SJ-182 menggunakan pesawat jenis Boeing 737-500 keluaran tahun 1994. Pesawat ini sempat menunda penerbangan selama 30 menit akibat hujan deras sehingga baru lepas landas pukul 14.36 WIB.
Selang empat menit kemudian, pesawat hilang kontak. Malam itu juga, tim pencarian dan penyelamatan telah berada di lokasi perkiraan jatuhnya pesawat.
Karena meliput dalam kondisi berkerumun di tengah situasi pandemi Covid-19 keesokan harinya saya diminta editor menjalani tes usap antigen. Rasanya plong setelah keluar hasil tes negatif. Akhirnya, saya bisa libur sejenak sambil menunggu penugasan berikutnya.
Malam harinya, saya kembali ditelepon editor yang mengabarkan wartawan diperbolehkan meliput langsung ke lokasi pencarian pesawat dengan menaiki kapal TNI AL. Syaratnya, harus punya surat hasil tes usap antigen negatif.
Kebetulan saat itu, hanya saya yang masih mengantongi hasil tes usap antigen. Statusnya pun negatif. Dengan demikian, saya memenuhi syarat untuk berangkat sehingga diminta segera menyiapkan diri.
”Besok merapat saja ke posko AL di JICT II jam 06.00 buat yang mau ikut kapal TNI AL besok pagi”, demikian pesan terusan dari editor yang dikirimkan seusai menelepon.
Baca juga: Panic at The Toilet di Kapal Baruna Jaya IV
Saya kemudian membayangkan bakal menaiki kapal survei hidro oseanografi KRI Rigel 933 milik TNI AL. Suasana liputan akan dipenuhi wawancara dengan tim pencarian dan penyelamatan karena mendapat akses langsung ke lokasi jatuhnya pesawat. Namun, bayangan itu tinggal angan-angan belaka.
Setiba di area lokasi pencarian, saya dan 20-an awak media lainnya terpaksa gigit jari. Kami nyaris menjadi ”tim hore” setelah berjam-jam hanya bisa menyaksikan dari jauh KRI Rigel serta tim pencarian dan penyelamatan yang tengah bertugas.
Baca juga: Mengenal KRI Rigel dan KRI Spica, Kapal Survei Terbaik di Asia Tenggara
Penantian panjang
Senin (11/1/2021) pukul 05.00, saya berangkat ke Dermaga JICT Pelabuhan Tanjung Priok bersama fotografer Kompas, Rony Ariyanto Nugroho (RON). Kami sengaja berangkat pagi-pagi sekali agar tidak terlambat tiba di lokasi.
Namun, setibanya di sana situasi justru lengang. Belum ada awak media lain yang datang. Kami pun hanya didata oleh petugas TNI AL lalu diminta menunggu karena mereka menanti instruksi lanjutan dari pimpinan.
Rupanya kami harus bersabar hingga siang hari meski sejak pagi telah mengantongi ”semangat ’45”. Pasalnya, sebagian besar awak media belum menjalani tes usap antigen sehingga harus mengikuti tes terlebih dulu sebelum menaiki kapal.
Kapal markas
Tiba waktunya kami berangkat ke lokasi dengan menumpang KRI Semarang-594. Kapal bertolak dari dermaga sekitar pukul 11.00. Dua jam kemudian kami tiba di lokasi pencarian dan penyelamatan. Sekitar 2 mil dari lokasi kami, tampak KRI Rigel-933 dan KRI Kurau-856 tengah menjelajah koordinat yang diduga menjadi lokasi jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182.
Kami antusias melihatnya. Sejurus kemudian, para fotografer mulai mengeluarkan kamera dan membidik sasaran dari berbagai sudut. Wartawan pun tidak ingin kehilangan momen dengan mendeskripsikan situasi di lokasi sebagai bahan berita.
Meski begitu, ada rasa belum puas. Kami ingin lebih dekat lagi agar bisa melihat lebih jelas dan mewawancarai tim pencarian dan penyelamatan.
Sayangnya, hingga menjelang malam, tak kunjung ada kejelasan apakah kami bakal merapat atau hanya berada di KRI Semarang saja.
Baca juga: Kapal Rumah Sakit Bantu Pencarian Korban Sriwijaya Air
Di tengah ketidakjelasan itu, lewat Youtube salah satu stasiun televisi, kami justru menyaksikan digelarnya konferensi pers di KRI Rigel yang dipimpin oleh Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Abdul Rasyid.
Tentu saja, kami semua dongkol bukan main. Ada puluhan wartawan di KRI Semarang tetapi konferensi pers hanya diberikan kepada beberapa awak stasiun televisi dan itu pun berlangsung di KRI Rigel, kapal yang tidak boleh kami dekati.
Saya kemudian mencari kepastian dengan berupaya menemui komandan KRI Semarang Letkol (P) Afrilian di ruangannya. Sayangnya, meski telah ditemani seorang awak kapal, yang bersangkutan tidak bisa ditemui di tempat.
Baca juga: Berburu Momen Evakuasi Harimau ”Inyiak” di Perbukitan Solok
Tak lama, kami dikumpulkan di dek atas. Perwira Divisi Mesin Pokok, Letnan Dua Laut (T) Kurniawan, berupaya menjelaskan situasi kepada kami.
Menurut dia, kapal yang kami naiki berperan sebagai kapal markas. Artinya, KRI Semarang berfungsi sebagai ”kapal induk” dari operasi pencarian dan penyelamatan. Dengan begitu, hasil temuan di koordinat pencarian akan terlebih dahulu dibawa ke kapal ini sebelum dipindahkan ke posko di Dermaga JICT Pelabuhan Tanjung Priok.
”KRI Semarang lempar jangkar di lokasi pencarian. Kapal difungsikan sebagai kapal markas. Paling tidak akan berada di sini (lokasi pencarian) sepekan,” kata Kurniawan.
Kurniawan menambahkan, kapal yang juga merupakan kapal rumah sakit ini menyediakan satu mobil terapi oksigen hiperbarik untuk para penyelam. Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) I juga disebut bakal menginap di KRI Semarang.
Senang rasanya mendengar penjelasan yang bernada janji tersebut. Berarti kami bisa mewawancarai para penyelam dan Pangkoarmada I. ”Bahan berita aman,” batin saya.
Minta pulang
Namun, janji tinggal janji. Malam itu tidak ada kapal dari koordinat pencarian yang merapat ke KRI Semarang membawa temuan. Demikian juga dengan Pangkoarmada I yang tak kunjung datang.
Para penyelam juga tak tampak. Kalaupun ada yang lewat mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru tua, mereka mengaku sebagai tim penyelam cadangan yang belum diterjunkan ke lokasi. Kami kemudian serempak akan satu suara menyatakan sesuatu karena kami datang untuk meliput, bukan sekadar menonton.
Baca juga: Mengais-ngais Emosi di Belanda
Keesokan paginya, Selasa (12/1/2021), kami beramai-ramai minta pulang! jika memang tak hendak dibawa merapat ke lokasi pencarian dan penyelamatan. Kesabaran kami habis karena hanya dijadikan penonton tanpa wawancara. Padahal kami datang untuk meliput.
Awak kapal sempat kebingungan untuk memulangkan kami. Sebab, harus ada kapal lain yang merapat untuk menjemput, lalu mengantarkan kami pulang ke Dermaga JICT Pelabuhan Tanjung Priok.
Beruntung ada satu kapal, yang sayangnya saya lupa nama dan nomor lambungnya, hendak mengantar temuan dari lokasi ke posko. Kami sepakat dipulangkan dengan kapal itu dengan catatan kami yang diantar merapat ke sana dan bukan kapal itu yang merapat ke kapal kami.
Awak KRI Semarang kemudian mengantar kami dengan landing craft vehicle personnel atau sekoci pendarat pasukan amfibi. Situasi ini cukup menguntungkan.
Sebelum merapat ke kapal yang akan membawa kami pulang, kami sempat empat kali mengitari lokasi pencarian dan penyelamatan meskipun tetap saja gagal menaiki KRI Rigel dan mewawancarai tim pencarian dan penyelamatan.
Baca juga: Jiwa-jiwa Baik di Sepanjang Liputan Bencana
Terlepas dari nyaris menjadi ”Tim Hore”, ada sebuah peristiwa yang menjadi pelipur perasaan dongkol saya selama dua hari satu malam di KRI Semarang.
Saat makan malam, saya yang tiba belakangan hanya kebagian nasi panas dan sayur kacang panjang dengan banyak kuah dalam ompreng tanpa sendok. Lauknya sudah ludes dilibas antrean paling depan. Nasib....
Di sisi lain, ada juga pemandangan yang membuat senang, yakni saat melihat penjaga kantin kapal yang semringah sepanjang hari. Bagaimana tidak, awak media memborong makanan dan minuman ringan, peralatan mandi, dan lainnya hingga nyaris ludes. Selama dua hari satu malam itu, kemungkinan ia dengan mudah tidur nyenyak karena telah mengantongi banyak untung.
Berkebalikan dengan kami, awak media. Nyaris buntung dan pusing ditanyai editor, sudah dapat apa beritanya? ”Sampai bingung mau jawab apa,” tulis saya lewat pesan WhatsApp yang buru-buru saya hapus.