Dua Tahun MRT Jakarta, Tantangan di Era Pandemi dan Setelahnya
Hari ini, 24 Maret 2021, MRT Jakarta genap dua tahun beroperasi. Dari kualitas layanan juga fisik sarana prasarana, MRT sangat memenuhi harapan warga. Namun, ada target integrasi dan pengembangan yang perlu dikejar.
Laju Ratangga, nama kereta moda raya terpadu, dalam dua tahun terakhir memberi warna baru dalam pelayanan angkutan umum di DKI Jakarta. Selain standar layanan yang memberi pengalaman baru bertransportasi di era before corona atau sebelum pandemi Covid-19, kehadirannya juga menggugah warga untuk mau beralih menggunakan angkutan umum dan berdisiplin. Menyitir slogan yang diusung, kehadirannya adalah juga untuk turut mengubah wajah Jakarta.
Namun, di era pandemi dan nantinya menuju after corona atau dikatakan sebagai kenormalan baru, moda raya terpadu (MRT) Jakarta yang diresmikan operasinya pada 24 Maret 2019 itu selain harus bisa mempertahankan keandalannya, juga diharapkan menjadi inisiator dalam penyamaan standar level layanan. Supaya, pengalaman bertransportasi umum warga itu menjadi sama dan lengkap.
Masih kuat di ingatan, kala uji coba komersial MRT berlangsung di awal 2019, warga yang penasaran dengan moda angkutan perkeretaapian perkotaan itu beramai-ramai mencoba. Mereka bukan hanya dari wilayah Jakarta, melainkan juga dari sejumlah wilayah di sekitar Ibu Kota.
Berbagai polah tingkah ditunjukkan warga di luar stasiun, di dalam stasiun, juga di dalam kereta. Perilaku kurang sesuai yang muncul sempat menuai kritik keras seperti asal membuang sampah, makan di dalam kereta, duduk-duduk di lantai di dalam area stasiun, hingga bergelantungan di dalam kereta.
Alhasil, manajemen PT MRT Jakarta sempat membuat aturan pengenaan denda bagi mereka yang kedapatan makan atau minum di dalam stasiun dan di dalam kereta, membuang sampah sembarangan, hingga duduk di lantai stasiun. Ada nominal denda hingga Rp 500.000 yang mesti dibayarkan.
Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar saat itu menjelaskan, pengenaan denda itu adalah demi menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keamanan para penumpang MRT Jakarta.
Pun sebagai moda angkutan baru yang menawarkan kecepatan dan kenyamanan, di awal operasi sempat membuat para penumpang tergopoh-gopoh menyesuaikan diri. Seperti budaya antre saat hendak memindai kartu tiket di gerbang pembayaran, lalu posisi berdiri di eskalator di mana posisi kanan untuk penumpang yang ingin berjalan karena mau cepat dan posisi kiri untuk berdiri.
Baca juga : Penunjukan Langsung Kontraktor Proyek MRT Fase 2A Tengah Berproses
Belum lagi antrean masuk kereta, tepat di depan platform screen door (PSD) atau pintu pembatas peron, yang memaksa penumpang antre di garis-garis yang disiapkan. Semua itu adalah hal-hal baru yang tentunya belum biasa dilakukan di moda transportasi lain.
Meski tergopoh-gopoh di awal, proses adaptasi publik sehingga terbiasa pada aturan main MRT itu berlangsung lumayan cepat dari sebelum peresmian hingga beberapa bulan saja setelah peresmian operasi komersial.
Bermobilitas dengan angkutan perkotaan berbasis rel seperti MRT memang memberi pengalaman tersendiri. Dimulai dari saat masuk stasiun, suasana yang resik, teratur, nyaman, juga sapaan ramah petugas stasiun, memberi pengalaman baru bagi para penumpangnya. Pengalaman yang tidak didapat apabila naik angkutan berbasis jalan atau rel lainnya.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat menyatakan, sebagai moda transportasi baru, MRT memiliki keuntungan tersendiri. Sebagai moda transportasi baru, MRT dinilai lebih mudah membangun budaya baru dan menata karakter bertransportasi dibandingkan dengan Transjakarta dan KRL.
”Secara umum, kehadiran MRT membentuk kultur transportasi yang mengedukasi masyarakat untuk berbudaya antre, mengurangi penggunaan uang tunai, adaptif dengan teknologi, serta budaya menjaga kebersihan dan kesehatan,” katanya.
Baca juga : Tahun Ini, MRT Targetkan Angkut 65.000 Penumpang Per Hari
Dengan panjang trek MRT yang baru 16 km, terentang dari Lebak Bulus di selatan ke Bundaran Hotel Indonesia di utara, penumpang yang selama ini bergantung pada kendaraan pribadi, ada yang mulai melirik dan memilih naik MRT untuk menunjang mobilitas. Tak lain karena jaminan kedatangan dan keberangkatan, juga kepastian waktu tempuh yang relatif lebih cepat dibandingkan jika naik kendaraan pribadi.
Dengan keunggulan-keunggulan itu, mudah saja bagi MRT menarik hati para penumpang dan calon penumpang. ”MRT sudah mulai mampu menarik minat masyarakat kelas menengah dan menengah atas untuk mulai beralih dari kendaraan pribadi (walaupun baru sebagian kecil), terutama karena faktor keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktunya yang sudah dapat diandalkan,” kata Aditya.
Fasilitas MRT juga dipandang cukup ramah bagi kaum disabilitas dan tergolong lebih baik dalam hal penyediaan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas dibandingkan moda transportasi perkotaan lainnya. Tengoklah ke-13 stasiun MRT juga di kereta, fasilitas seperti jalur khusus, elevator, hingga penunjuk arah dan tempat khusus di dalam kereta disiapkan.
Dengan tarif Rp 14.000 sekali jalan, performa dari sisi penumpang terus naik. Selama tahun pertama beroperasi, kata Aditya, tingkat okupansi cukup positif walaupun tentu hal ini tidak lepas dari euforia masyarakat yang menjadikannya sebagai salah satu ”destinasi wisata” Ibu Kota. Okupansi yang riil baru teruji setelah tren penumpang dengan mobilitas reguler dan produktif sudah terbentuk
Pada Februari 2020, rata-rata harian penumpang tembus 88.444 orang. Angka itu naik dari rata-rata harian penumpang di Januari 2020 yang 85.105 orang. Dalam dua tahun operasi, tak kurang 33 juta penumpang sudah dilayani MRT Jakarta.
”Ini capaian yang sudah melebihi target awal kita yang sebanyak 65.000 penumpang per hari,” kata William.
Namun, catatan apik itu akhirnya rontok di tangan virus korona jenis baru. Pandemi Covid-19 yang merebak di Indonesia sejak Maret 2020 membuat rata-rata penumpang harian yang sudah melebihi ekspektasi terjun bebas seiring pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Angka rata-rata harian terendah tercatat di Mei 2020, 1.405 orang per hari. Lalu angka itu berfluktuasi hingga 16.812 orang per hari di Februari 2021.
Tidak bisa dimungkiri, lanjut Aditya, minimnya okupansi MRT saat pandemi karena beberapa faktor. Ia melihat itu karena karakteristik MRT yang murni sebagai angkutan urban dengan jaringan yang masih terbatas, sementara di sepanjang jalur operasionalnya, penumpang memiliki banyak pilihan moda alternatif. Kemudian, segmen pengguna MRT merupakan kelas menengah ke atas yang memiliki keleluasaaan menggunakan transportasi pribadi.
Akan tetapi, MRT mampu memperlihatkan daya adaptif di tengah pandemi dengan penerapan protokol kesehatan yang baik dan ketat. Di antaranya pembatasan jumlah penumpang per kereta, pengaturan jam operasional, pengecekan suhu badan, dan tidak boleh berbicara di dalam kereta. Sementara perawatan sarana dengan cara penyemprotan desinfektan rutin dikerjakan.
Hal itu mampu menjamin kenyamanan dan keamanan penggunanya dari sisi kesehatan dan pencegahan dampak pandemi. Hingga di masa kenormalan baru, yang menjadi era kebangkitan, penumpang MRT mulai naik lagi, dengan rata-rata 24.000 orang di pekan awal Maret 2021.
Apabila pandemi telah makin bisa teratasi ataupun mobilitas masyarakat sudah semakin meningkat serta pembatasan volume penumpang sudah makin diperlonggar, lanjut Aditya, diharapkan okupansi MRT akan kembali normal.
MRT juga punya strategi lain untuk meningkatkan ridership atau angka keterangkutan penumpang senyampang pengendalian dengan vaksinasi berlangsung.
Saya rasa, MRT mesti menularkan kualitas layanan itu ke pengelola transportasi lainnya. Bagaimana senyum ramah petugas stasiun MRT bisa ditularkan ke petugas di moda angkutan lainnya. (Damantoro)
Selain kemudahan menggunakan aplikasi pembayaran, juga ada sejumlah kerja sama dengan penyedia angkutan daring hingga integrasi layanan dengan operator berbasis jalan raya seperti bus-bus dari Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) dan saudara kandung MRT, layanan jaringan angkutan umum massal berbasis bus milik DKI, yaitu Transjakarta. Juga fasilitas yang betul-betul anyar dan belum ada di moda transportasi lain, yaitu fasilitas bagi sepeda nonlipat untuk mendukung gerakan bersepeda dan mobilitas nonmotor.
Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesian (MTI) DKI Jakarta, menegaskan, secara keseluruhan, dari segi infrastruktur ataupun operasional, MRT ia lihat sudah tak diragukan. Yang mesti dipikirkan serius, kata dia, selama ini MRT tidak bisa beroperasi sendiri.
Ada sejumlah moda angkutan lain yang turut menyuplai penumpang ke MRT. Sayangnya, sampai hari ini pengalaman bertransportasi umum yang dirasakan penumpang belum setara. MRT dengan kualitas layanan sangat tinggi berhasil mengerek ekspektasi masyarakat akan kualitas layanan. Hal yang sama belum ditemukan di Transjakarta atau KRL atau angkot sekalipun, padahal penumpang maunya mendapat pengalaman kualitas layanan yang sama.
”Saya rasa MRT mesti menularkan kualitas layanan itu ke pengelola transportasi lainnya. Bagaimana senyum ramah petugas stasiun MRT bisa ditularkan ke petugas di moda angkutan lainnya,” kata Damantoro.
MRT, menurut Damantoro, perlu mengambil sikap sebagai inisiator. Apabila sebelum pandemi sejumlah integrasi layanan fisik disepakati dan diwujudkan, di era kenormalan baru, MTI melihat perlu ada kerja sama bagaimana meningkatkan kualitas layanan.
Memang, sejak November 2020 dan di awal Maret lalu MRT kembali bersepakat soal integrasi layanan titik awal keberangkatan dan tujuan akhir dengan operator bus dari PPD dan Transjakarta. ”Tapi, itu belum cukup,” kata Damantoro.
MTI, kata Damantoro, tetap mengawal dan tetap mendorong integrasi karena masih kurang. Kalau perlu membuat pelatihan atau kerja sama standar pelayanan yang sama. ”Supaya salam sapa antara MRT dan TJ, dengan PPD, dengan Kopaja, bisa standar sehingga kenyamanan dan level layanan itu sama,” katanya.
William sendiri juga menjelaskan, ke depan dengan terbentuknya perusahaan gabungan antara PT MRT Jakarta, MITJ, PT Transportasi Jakarta, dan PT Jakarta Propertindo yang bernama PT Jaklingko Indonesia, bukan hanya integrasi tarif dan tiket yang akan diurusi, melainkan juga soal standar layanan. PT Jaklingko disebut tengah berproses mengurus itu semua.
Damantoro menegaskan, MTI mendorong MRT untuk segera mengambil prakarsa untuk mengintegrasikan layanan-layanan itu lebih kencang lagi. Sekali lagi karena integrasi layanan itu tidak berhenti pada pertumbuhan kawasan berorientasi transit (TOD), pada park and ride, ataupun pada fasilitas antarmoda. Tetapi integrasi pada aspek kualitas layanan juga perlu supaya penumpang merasakan kenyamanan serupa dengan ketika mereka naik MRT.
”Pembicaraan antaroperator perlu dilakukan. Kalau perlu MRT perlu menginisiasi untuk memulai pelatihan atau kerja sama standar pelayanan yang sama,‚ kata Damantoro.
Aditya juga menegaskan, integrasi antarmoda, baik integrasi secara fisik, sistem tiket, sistem pembayaran, tarif, maupun jadwal harus terus diperbaiki dan ditingkatkan. Adalah suatu hal yang patut diapresiasi apabila nantinya tarif MRT dapat terwujud menjadi suatu tarif terintegrasi dengan moda lainnya sehingga biaya transportasi masyarakat dapat lebih efisien. Lainnya tentu saja sosialisasi dan optimasi BRT yang terintegrasi MRT juga menjadi pekerjaan rumah yang menantang mengingat masih rendahnya okupansi bus pengumpan MRT.
Di sisi lain, Aditya mengingatkan, meski baru 16 km, MRT Jakarta tidak hanya sekadar sebagai moda transportasi. Namun, kehadiran MRT Jakarta juga menjadi penggerak perekonomian kawasan dan wilayah serta menumbuhkan kawasan ekonomi baru dengan nantinya mewujudkan pengembangan kawasan berorientasi simpul transportasi massal atau TOD. Saat ini, meski masih terbatas pada kawasan tertentu seperti BLOK M, kehadiran MRT mampu ”menghidupkan kembali” kawasan perekonomian dan pusat perbelanjaan.
Pembicaraan antaroperator perlu dilakukan. Kalau perlu, MRT perlu menginisiasi untuk memulai pelatihan atau kerja sama standar pelayanan yang sama. (Damantoro)
Untuk itu ia melihat, perlu ada perluasan akses gerbang masuk MRT. Ke depannya akses harus bisa langsung menjangkau pusat-pusat aktivitas ekonomi, seperti gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, kawasan bisnis melalui koridor bawah tanah.
MRT juga perlu melakukan pengembangan bisnis untuk pendapatan nontiket penumpang (nonfarebox revenue) agar MRT mampu meraih pendapatan yang tidak hanya bergantung pada penjulalan tiket. Hal ini juga penting agar MRT tidak bergantung pada subsidi pemerintah dan pemberikan subsidi pemerintah dapat makin berkurang di masa depan untuk dialihkan pada sektor lain yang lebih membutuhkan.
Ke depannya, lanjut Aditya, tentu harapannya jaringan MRT harus semakin dikembangkan. Pengembangan itu untuk menjangkau kawasan suburban dan kota-kota mitra penyangga Jakarta karena tentu pemanfaatan MRT akan jauh lebih optimal apabila berperan sebagai moda transportasi suburban-urban seperti halnya KRL commuter line dan nantinya LRT Jabodebek.
Selamat ulang tahun ke-2 MRT Jakarta!