Dua Kasus Kekerasan terhadap Anak Terungkap di Kota Bogor
Aktivitas di rumah saja yang diharapkan bisa menekan penyebaran Covid-19 malah meningkatkan potensi kerentanan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Bogor menangkap AS alias Abah (47), pelaku pelecehan seksual terhadap anak perempuan berusia 10 tahun. Polisi juga menangkap SE (38), pelaku kekerasan fisik terhadap empat anaknya. Sepanjang Januari-April 2021 ada 25 kasus kekerasan seksual dan fisik di rumah tangga yang menimpa anak-anak.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Bogor Ajun Komisaris Arsal Sahban mengatakan, pelecehan seksual terjadi Minggu (7/3/2021) sekitar pukul 19.30 di pinggir Sungai Cisadane, Kampung Lebak Sari, Paledang, Bogor Tengah. Kejadian tersebut bermula ketika AS melewati rumah korban, AP (10), yang saat itu sedang duduk di teras rumah. AS lalu mengajak AP ke Sungai Cisadane, tak jauh dari rumah pelaku, dengan iming-iming uang Rp 10.000.
”Dari iming-iming uang Rp 10.000 itu juga AS membujuk atau memaksa AP untuk membuka celananya. Di situ AP melakukan tindakan tak terpuji dan bejat itu,” kata Arsal saat dikonfirmasi, Rabu (24/3/2021).
Setelah mendapat perlakuan tersebut, korban menceritakan peristiwa yang dia alami kepada orangtuanya. Tak terima anaknya mendapat perlakuan tersebut, orangtua AP kemudian melaporkan aksi AS kepada polisi.
Berdasarkan keterangan pelaku, kata Arsal, AS melakukan tindakan pelecehan seksual kepada AP karena tak bisa menyalurkan hasrat seksual kepada istrinya. AS mengaku mengalami gangguan seksual saat bersama istrinya. Karena itu, ia melampiaskan kepada anak di bawah umur.
Atas perbuatannya melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, tipu muslihat, dan serangkaian kebohongan, membujuk anak untuk tindakan pencabulan, pelaku dikenai Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
”Ini pesan untuk kita semua, terutama untuk orangtua, agar ekstra memantau anak-anak saat beraktivitas atau bermain di luar rumah. Selain itu, orangtua juga perlu meyakinkan atau memberikan pelajaran agar anak tidak menerima dan menolak pemberian dari orang lain,” tutur Arsal.
Arsal melanjutkan, pihaknya juga menangkap SE (38), warga Tanah Baru, Bogor Utara, pelaku kekerasan terhadap empat anaknya. Bahkan, anak tertua yang saat ini berusia 18 tahun sudah enam bulan meninggalkan rumah ke tempat kakeknya karena tak kuat dengan perlakuan kasar ayahnya.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) itu sudah terjadi dalam kurun waktu tujuh tahun, sejak SE menikah dengan SH yang sudah mempunyai tiga anak. Hasil dari pernikahannya, SE punya satu anak kandung. Anak bungsunya yang saat ini berusia sekitar 3 tahun itu tak luput dari aksi kekerasan ayahnya.
Pengakuan SE, tindakan yang ia lakukan karena kerap kesal dan emosi meledak-ledak dengan anak-anaknya yang sering berbuat kesalahan. Untuk itu, ia perlu mendidik anaknya melalui cara kekerasan.
”Anak pertamanya saat ini sudah enam bulan bersama kakeknya karena trauma dipukul habis-habisan oleh SE. Anak kedua berusia 14 tahun, paling sering mendapat perlakuan kasar dan ancaman dari ayahnya menggunakan senjata tajam. Terakhir, Senin (8/3/2021), anak itu dipukul di kepala hingga robek berdarah, hanya gara-gara lupa menutup pintu pagar. Ia juga pernah dipukul di bagian kepala oleh ayahnya menggunakan kunci inggris,” kata Arsal.
SE juga pernah memukul menggunakan obeng hingga palu pada bagian paha anaknya. Pelaku kesal karena dibelikan nasi goreng pedas, padahal SE meminta tidak pedas. Anak ketiganya berusia 13 tahun juga sering dimarahi. Sejak berusia 9 tahun, ia selalu dipaksa mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mengepel, dan menyetrika pakaian. Ketika ia salah atau pekerjaan tidak beres, ayahnya akan langsung memarahinya.
Selain kepada anak tirinya, perlakuan kasar juga diterima anak kandungnya yang saat ini berusia 3 tahun, seperti menyentil kuping karena tidak mau shalat. ”Pemicu kekerasan ini hal-hal kecil dan biasa dilakukan oleh anak-anak. Namun, SE memandang itu sebagai suatu kesalahan besar dan menghukum hingga bertindak kasar. Setiap hari, tersangka hanya di rumah. Istrinya, SH, yang bekerja menafkahi keluarganya,” lanjut Arsal.
Dari keterangan istri pelaku, lanjut Arsal, SH sudah lama tertekan dengan perilaku suaminya dan ingin melapor ke polisi. Namun, karena banyak pertimbangan, ragu, takut, dan berharap suaminya biasa berubah sikap, ia tidak melapor ke polisi. Semakin lama, sikap kasar SE tak pernah berubah. Tak ingin anak-anak terus menjadi korban kekerasan fisik, SH memberanikan diri melapor ke polisi.
Akibat tindakannya, SE dikenai pasal berlapis, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 44 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Pasal 351 KUHP, dengan ancaman di atas 10 tahun penjara.
”Kami akan dampingi psikologis anak-anak yang mendapat kekerasan seksual dan kekerasan fisik ini. Mereka adalah masa depan dan aset bangsa yang harus kita lindungi,” tutur Arsal.
Sementara itu, Koordinator dan Advokat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Bogor Iit Rahmatin mengatakan, sepanjang 2021 tercatat ada 25 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik itu kekerasan seksual maupun fisik.
Tahun 2020, tercatat ada 112 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagian besar kasus merupakan KDRT. ”Faktor pandemi menjadi salah satu meningkatnya kasus KDRT. Aktivitas di rumah dan intensitas pertemuan lebih sering ternyata ada dampak psikis dan anak-anak kerap menjadi korban dari orangtuanya,” kata Iit.