Keberadaan hutan kota tak sekadar membantu siklus hidrologi, tetapi juga siklus nitrogen, fosfor, karbon, dan oksigen. Keberadaan hutan kota juga berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro serta nilai estetika.
Oleh
Fajar Ramadhan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa warga Jakarta menganggap hutan kota dan taman kota adalah lokasi yang ideal untuk memulihkan energi. Keberadaan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta juga dinilai dapat mencegah infiltrasi air laut di pusat kota.
Di tepi embung kawasan Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat, Senin (22/3/2021) siang, Yitno (48) duduk bersila bersama putrinya. Sang putri yang masih balita sibuk bermain dedaunan kering bersama kucing penghuni hutan. Sementara Yitno hanya memandangi embung dengan tatapan kosong sambil sesekali melayani celotehan sang putri.
Hal semacam ini kerap dilakukan oleh Yitno setidaknya sebulan sekali. Dia mengaku tidak pernah absen datang ke Hutan Kota Srengseng, kecuali di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat beberapa bulan lalu. Apalagi, jarak dari rumahnya hanya 6 kilometer.
”Dulu lebih sering saat rumah saya masih di kawasan Srengseng sini. Bisa setiap pekan ke sini sama anak dan istri,” ujar warga Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat, ini.
Kedatangan Yitno ke hutan kota bukan sekadar untuk mengantarkan putrinya yang bermain. Rupanya dia juga membutuhkan suasana sunyi di tengah pepohonan rindang tersebut untuk melakukan relaksasi. Relaksasi ini penting untuk memulihkan energinya.
Selama puluhan tahun, Yitno dikenal sebagai terapis. Dia mengaku menguasai teknik pengobatan alternatif Reiki dari Jepang. Melalui teknik ini, dia harus mentransferkan energi kepada pasien yang mengeluhkan penyakit tertentu.
”Makanya, saya perlu memulihkan energi juga. Salah satunya dengan relaksasi di tempat yang sunyi kayak gini,” ujarnya sembari menengok ujung ranting-ranting pohon di atasnya.
Menurut Yitno, sulit menemukan lokasi relaksasi seideal taman kota di Jakarta, termasuk di taman dekat rumahnya. Lokasi taman yang dekat dengan jalan raya membuat suara bising masih terdengar dan kerap menghalangi konsentrasinya.
”Ini saya sengaja datangnya pas hari biasa. Kalau Sabtu-Minggu pasti ramai soalnya,” katanya.
Bagi Aput (37), warga Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat, datang ke hutan kota menjadi kemewahan tersendiri. Sepanjang 2021, dia baru sekali datang ke Hutan Kota Srengseng. Pria yang berprofesi sebagai sopir perusahaan ini lebih sering ke luar kota ketimbang berada di rumah.
”Kebetulan hari ini libur. Jadi ajak anak ke sini. Jarang banget ke sini,” katanya.
Menurut dia, keberadaan hutan kota ini penting sebagai sarana untuk mengenalkan alam kepada anaknya. Dengan keberadaan hutan kota, Aput tidak perlu jauh-jauh mengajak anaknya berwisata ke kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.
”Semoga sampai kapan pun hutan kota ini ada di Jakarta. Kalau bisa malah diperbanyak,” katanya.
Sementara Zena (27), penghuni indekos di Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, menganggap hutan kota bak oase di tengah gurun pasir. Karyawan yang bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta, ini hampir setiap hari memandangi gedung-gedung bertingkat, lengkap dengan kemacetan lalu lintas.
Kepenatan tersebut tak jarang membuatnya rindu dengan suasana kampung halamannya di Boyolali, Jawa Tengah. Lokasi kampung halamannya yang tidak jauh dengan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu membuat suasana terasa sejuk.
”Dekat indekos sebenarnya juga ada area pemakaman yang luas, tetapi sama aja panas kalau lewat sana. Enggak banyak pohonnya,” katanya.
Hal ini membuat Zena selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke taman-taman kota. Salah satu yang cukup kerap dia kunjungi adalah Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Meskipun suasananya tidak sesejuk di Boyolali, setidaknya dia masih bisa merasakan udara segar di sana.
”Akhir-akhir ini sih sudah jarang ke sana. Paling cuma lewat saja sambil mencari makan di daerah sana. Nyenengin aja lihatnya,” ujarnya.
Ratusan pohon mangrove
Dalam rangka Hari Hutan Sedunia yang jatuh pada 21 Maret 2021, perusahaan rintisan Lindungi Hutan Jadetabek terlibat dalam penanaman sekitar 700 pohon mangrove di Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Lindungi Hutan Jadetabek adalah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang penghijauan dan pemberdayaan petani bibit.
Penanaman dilakukan selama dua hari. Sabtu (20/3/2021), mereka menanam 500 pohon mangrove bersama perusahaan rintisan Jejak.in dan Gojek. Program yang diinisiasi oleh Gojek tersebut diberi nama ”Menghitung Jejak Karbon”. Hari Minggu (21/3/2021), Lindungi Hutan Jadetabek kembali menanam 252 pohon mangrove bersama jenama perlengkapan olahraga CoreNation Active.
Menurut Divisi Pengembangan SDM Lindungi Hutan Jadetabek Mohammad Rozaq Prayoga, penanaman ratusan pohon mangrove ini dilakukan untuk memperluas kawasan hutan mangrove di Ekowisata Mangrove PIK. Mengingat sejauh ini tutupan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta terus berkurang.
Keberadaan mangrove ini diharapkan dapat mengurangi polusi udara karena kawasan tersebut dilalui oleh jalan tol. Di sisi lain, pohon mangrove ini juga diharapkan dapat mencegah meluasnya infiltrasi air laut di Jakarta.
”Di Jakarta ini, infiltrasi air laut sudah sampai ke pusat kota. Beberapa tempat, air tanahnya sudah terasa asin,” katanya saat dihubungi.
Pada 3 April 2021, Lindungi Hutan Jadetabek akan kembali melakukan penanaman pohon mangrove di kawasan Muara Gembong, Bekasi, Jabar, untuk mencegah abrasi. Namun, hingga kini mereka masih membutuhkan donasi benih mangrove.
Menurut pengajar di Departemen Arsitektur Lanskap IPB University, Bambang Sulistyantara, keberadaan hutan kota tidak sekadar membantu siklus hidrologi, tetapi juga siklus nitrogen, fosfor, karbon, dan oksigen. Keberadaan hutan kota juga berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro serta nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keserasian lingkungan fisik kota, dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati (Kompas, 22 Maret 2021).
”Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang ditumbuhi pohon-pohon kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Jadi, jika belum ada penetapan, tidak bisa dikatakan hutan kota,” katanya.