Banjir Periodik di Kabupaten Bekasi Belum Juga Teratasi
Kesadaran kolektif dan kerja bersama antara pemerintah pusat dan daerah mutlak adanya untuk menyelesaikan persoalan banjir berulang di Kabupaten Bekasi.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Selama 14 tahun terakhir, banjir skala kecil hingga besar rutin terjadi di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kesadaran kolektif dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat dibutuhkan untuk menyelesaikan bencana berulang tersebut.
Dalam diskusi Cikarang Corner bertajuk Banjir ”Kawan atau Lawan” di Hutan Bambu Warbong, Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Minggu (21/3/2021), para pihak saling urun rembuk. ”Dua tahun terakhir, pada 2020, banjir terjadi di 18 kecamatan. Tahun ini, 15 kecamatan, 35 desa, dan tersebar di 120 titik dengan jumlah warga terdampak 14.845 keluarga,” kata anggota DPRD Kabupaten Bekasi Budiyanto.
Hadir juga anggota DPR Obon Tabroni dan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Wilayah III Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi R Sopyan Rahayu. Lalu, Ketua Komunitas Save Kali Cikarang Eko Jatmiko, pegiat Sejarah Bekasi Shakiran, dan perwakilan kalangan pengusaha Kabupaten Bekasi Eric Sihotang.
Menurut Budiyanto, banjir di Kabupaten Bekasi yang berulang, skala bencananya beberapa tahun terakhir terus meningkat.
Ia menambahkan, berdasarkan data yang diterima dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, kerugian yang timbul akibat banjir di daerah itu pada Februari 2021 sebesar Rp 250 miliar. Namun, kerugian itu belum termasuk kerugian yang dialami di kawasan industri.
”Tahun ini, ada salah satu kawasan industri yang juga terdampak banjir. Dan teridentifikasi di salah satu kawasan industri itu saja, kerugiannya hampir Rp 300 miliar,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Bencana yang terjadi di Bekasi merupakan persoalan sistemik. Hal ini karena bencana itu terjadi berulang dengan skala terus membesar dan berdampak luas serta merugikan masyarakat secara material dan imaterial.
”Jadi, tidak bisa solusi penyelesaian banjir di Kabupaten Bekasi hanya dilakukan sporadis. Tetapi, harus juga menggunakan pendekatan sistemik dengan skala yang besar,” kata Budianto.
Pendekatan sistemik yang dimaksud, antara lain, mulai dari prioritas anggaran hingga regulasi penanggulangan banjir. Di Kabupaten Bekasi, pemerintah daerah dianggap tidak mampu mengidentifikasi penyebab masalah banjir di daerah tersebut. Akibatnya, pemerintah daerah tidak berbuat apa pun untuk menanggulangi masalah banjir.
Sementara itu, di tingkat provinsi, anggaran yang diberikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 2021 sebesar Rp 170 miliar. Dari jumlah itu, anggaran yang diprioritaskan untuk penanganan banjir hanya Rp 15 miliar.
”Jadi, solusi yang ada selama ini masih parsial. BBWS Citarum, di 2021 tidak ada alokasi untuk membereskan Citarum. Sungai Cibeet juga hanya sedikit, penanganannya sporadis saja, hanya beberapa titik,” katanya.
Selain prioritas anggaran, persoalan penanggulangan banjir di Kabupaten Bekasi masih sulit diselesaikan karena terbentur kewenangan pengelolaan wilayah sungai. Banyak daerah aliran sungai yang kewenangan pengelolaannya ada di pemerintah pusat.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan banjir di Bekasi, harus ada diskresi regulasi sehingga setiap pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, memiliki tanggung jawab sama dan kerja bersama mengendalikan banjir di Kabupaten Bekasi.
Obon menambahkan, pascabanjir yang melanda sejumlah wilayah di Bekasi, persoalannya utamanya bukan pada Sungai Citarum. Sebab, sumbangan air dari Kali Citarum hanya 400 meter kubik per detik. Kapasitas air terbanyak berasal dari Sungai Cibeet—Anak Sungai Citarum—dengan sumbangan debit air mencapai 900 meter kubik per detik.
”Kali Cibeet dari hulu, tidak ada tanggul sehingga semuanya mengalir ke Citarum. Maka, terjadi banjir,” kata politisi Partai Gerindra tersebut.
Jadi, kata dia, pengendaliannya harus terintegrasi, mulai dari anggaran hingga aturan. ”Kalau untuk hari ini, di Citarum, ada puluhan titik tanggul kritis yang harus segera dibetonisasi,” ucapnya.
Upaya pemerintah
Sebelumnya, Kepala BBWS Citarum Anang Muchlis mengatakan, pihaknya sudah selesai mengidentifikasi tanggul-tanggul kritis di Citarum hilir, wilayah Kabupaten Bekasi. Proses identifikasi mendetail, mulai dari Kedung Gede atau dari titik pertemuan Sungai Cibeet dan Sungai Citarum sampai dengan Muara Gembong.
”Pemeriksaan tanggul yang kami lakukan sepanjang sekitar 93 kilometer. Hasilnya, ada 55 titik tanggul yang kritis. Sudah selesai dan ini akan kami tindak lanjuti,” kata Anang.
Ia menambahkan, BBWS Citarum masih memiliki desain lama pembangunan tanggul Citarum hilir. Desain itu akan dikaji lagi dan menjadi salah satu rujukan untuk membangun kembali tanggul kritis. Namun, jika desain lama tidak lagi sesuai, BBWS Citarum akan membuat desain baru.
”Kami melibatkan Direktorat Bina Teknik (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Kami bersama-sama mencari desain yang tepat dan ini dilakukan dengan hati-hati,” ucapnya (Kompas, 18/3/2021).
Sementara itu, Kepala Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Kontruksi Kabupaten Bekasi Iwan Ridwan, melalui Kepala Bidang Sumber Daya Air, Sukmawati, mengatakan, Pemerintah Kabupaten Bekasi, pada 2021, memprioritaskan perbaikan DAS yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. DAS yang akan diperbaiki, mulai dari normalisasi, perbaikan tanggul, hingga pembuatan polder air.
”Kami ingin membuat perencanaan secara komprehensif. Jadi, ini diawali dengan kajian dulu, mengidentifikasi masalah untuk mengetahui kondisi daerah aliran sungai. Tetapi kami tidak menunggu, kalau kali-kali yang sudah jelas permasalahannya, kami normalisasi atau perbaikan,” ucap Sukmawati (Kompas, 4/3/2021).