Makanan Penyembuh Kota yang Lara
Terjaminnya akses makanan dan tempat berkegiatan yang sehat di tengah komunitas masyarakat yang aktif menjadi target program kota sehat. Sebuah impian yang menguat di masa pandemi dan setelahnya nanti.
Makanan bagi manusia tidaklah sebatas penyambung hidup. Rasa senang saat menyantap makanan kesukaan atau mencoba menu baru, menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Asupan pangan tertentu turut memegang andil besar agar manusia tetap sehat, bahkan sembuh dari suatu penyakit.
Di dunia, di antara begitu banyak jenis bahan pangan dan olahan makanan, setiap daerah memiliki produk lokal. Itu menjadi bagian dari budaya sekaligus identitas kelompok-kelompok masyarakat berbeda di berbagai belahan dunia.
Saat bertandang ke suatu daerah, mencicipi hidangan khas menjadi bagian petualangan seru yang selalu pantas dicoba. Di sisi lain, bagi perantau, makanan dari daerah asal akan menjadi penawar rindu kampung halaman.
Meskipun demikian, produk pangan lokal terancam di masa modern ini tergerus oleh industrialisasi bahan pangan global, baik berupa bahan mentah maupun produk-produk massal makanan siap saji.
Baca juga: Hiperlokal dan Urgensi Pembangunan Kota Digital
Produk pangan massal memang terbukti dapat menjamin kecukupan pasokan pangan bagi miliaran jiwa manusia. Namun, pembukaan lahan besar-besaran untuk pertanian dan peternakan, mendirikan pabrik-pabrik, dan arus pengangkutan bahan pangan maupun produk pangan lintas negara, lintas pulau, serta antardaerah turut memicu kerusakan lingkungan masif di seluruh penjuru planet ini.
Namun, mengatasi masalah tersebut tidak mudah karena industri pangan global adalah salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi terbesar. Industri pangan global bersama perkebunan, pertambangan, permukiman, kawasan kota-kota baru, dan infrastruktur transportasi, serta kegiatan ekonomi lain, sama-sama menggerus luasan hutan alam maupun kawasan perairan alami yang membuat keseimbangan lingkungan bumi makin timpang.
Kota-kota yang paling rakus melahap apa pun dinilai paling tepat menjadi pusat perubahan konsumsi yang dapat menyelamatkan manusia sekaligus mengembalikan keseimbangan lingkungan dunia.
Peternakan sapi dan impor daging sapi, misalnya, mendominasi kegiatan ekonomi di Brasil. Tak terkira luas kawasan hijau yang dialihfungsikan menjadi lahan peternakan di sana. Hal yang sama terjadi di hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia.
Penduduk Indonesia juga makin meninggalkan pangan lokal dan kian tertambat hati serta lidahnya pada berbagai produk pangan global. Menurut laporan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia termasuk telah tergantung dengan produk pangan olahan berbasis terigu yang tersedia melimpah dan harganya terjangkau.
Kini, kesadaran pada pentingnya membangkitkan kembali pangan lokal, mulai tumbuh, antara lain terwujud dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yaitu Pengembangan Bisnis dan Industri Pangan Lokal. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian telah melaksanakan program pengembangan pangan lokal sejak 2012. Di 2018 ada program Pengembangan Pangan Pokok Lokal.
Namun, seperti dilaporkan Badan Ketahanan Pangan, pengembangan pangan pokok lokal sampai saat ini masih belum efisien dan efektif karena skala usaha yang tercipta belum terlalu besar. Akibatnya, harga produk yang dihasilkan relatif tinggi dan sulit bersaing di pasar.
Untuk itu, pekerjaan rumah besar bagi negeri ini adalah menciptakan pasar dan permintaan yang stabil serta terus naik agar produk pangan lokal terserap efektif. Berbagai kampanye, seperti Aku Cinta Produk Indonesia, Beli Indonesia, atau Dukung Produk Lokal, cukup bergema beberapa tahun belakangan. Tetap saja, hasilnya sampai sekarang masih jalan di tempat.
Kebijakan di tingkat kota
Indonesia butuh pengungkit lain guna menggelorakan produksi dan konsumsi bahan pangan lokal. Kota-kota yang paling rakus melahap apa pun, dinilai paling tepat menjadi pusat perubahan konsumsi yang dapat menyelamatkan manusia sekaligus mengembalikan keseimbangan lingkungan dunia. Hanya saja, mengubah kebiasaan konsumsi yang telah berlangsung puluhan tahun tidaklah mudah. Perlu ada upaya pendorong dan penarik untuk berubah.
Pengalaman Colorado di Amerika Serikat bisa menjadi contoh baik. Dalam artikel berjudul ”Colorado Healthy Eating and Active Living Cities and Towns Campaign” terbitan American Journal of Preventive Medicine (2018), dipaparkan perjuangan pemerintah bersama warga negara bagian itu membuat hidup mereka lebih sehat.
Colorado dengan sekitar 5,7 juta penduduk yang tersebar di 271 kota besar dan kecil termasuk dalam jajaran negara bagian dengan tingkat obesitas tertinggi di AS. Warga Colorado, seperti halnya penduduk AS pada umumnya, akrab dengan asupan makanan tidak sehat, merokok, dan kurang aktivitas fisik yang disebut turut memicu obesitas serta menderita penyakit mematikan, seperti jantung koroner dan kanker.
Pemerintah kota mengembangkan program yang fokus pada peningkatan akses makanan sehat dengan memperluas kebun komunitas di seluruh kota; bekerja dengan departemen kesehatan setempat untuk menilai makanan yang ditawarkan di toko-toko lokal, dan mengevaluasi perijinan usaha atau toko makanan. Toko-toko lokal difasilitasi sehingga menerima dan menjual hasil pangan lokal sekaligus memasarkan bahan pangan lain yang memenuhi standar kesehatan, terjangkau, serta ramah lingkungan. Peningkatan akses pangan warga diintegrasikan ke dalam rencana proyek-proyek kota lainnya.
Contoh rekomendasinya adalah peraturan yang memungkinkan penduduk memelihara ayam dan lebah di halaman rumah mereka, lalu inisiatif untuk penyediaan makanan minuman yang lebih sehat di semua penjual makanan atau bahan pangan.
Baca juga: Bekantan Balikpapan di Era Kota 4.0
Pemerintah daerah juga membangun jalur sepeda dan trotoar yang mempermudah warga mencapai tujuan di dalam kota tanpa menggunakan mobil. Kampanye kesehatan publik dilakukan di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di komunitas orang lanjut usia, di sekolah, forum orang tua, di perkantoran, dan di tempat umum.
Hasilnya, sepanjang 2012 sampai 2018, ada 50 kota besar dan kecil yang mengadopsi program penyembuhan warga urban. Jumlah kota yang ikut berpartisipasi baru sekitar 18 persen dari total kota di Colorado. Meskipun tingkat partisipasi belum tinggi, hasil di kota-kota yang menerapkan program penyembuhan diri cukup baik. Sebagian warga kota partisipan yang sebelumnya kurang bergerak dan mengonsumsi makanan tidak sehat, menjadi lebih aktif secara fisik, berkebun, serta asupan gizi terjaga. Hal ini mengarahkan pada kondisi kesehatan publik yang semakin baik.
Masyarakat urban didorong mengenali makanan yang baik untuk tubuhnya. Makanan yang dimaksud adalah dengan jejak karbonnya paling sedikit, yaitu di antaranya ditandai rantai produksi pendek atau tidak diangkut dari tempat jauh dari konsumen. Juga tidak memerlukan proses pengawetan maupun kemasan berlebihan. Pengaktifan kebun dan peternakan lokal disertai toko-toko di tengah permukiman, berarti ekonomi lokal hidup yang turut menjaga kestabilan ekonomi nasional. Warga yang sehat menjadi lebih produktif sehingga kegiatan masyarakat berjalan lebih efektif pun efisien.
Seiring penyediaan infrastruktur publik yang membuat warga mudah bergerak secara fisik tanpa kendaraan bermotor, turut mengubah wajah kota lebih ramah bagi siapa saja. Kunci sukses dari program ini adalah kebijakan jelas, perencanaan, integrasi dengan kebijakan lain yang beririsan, dan implementasi sesuai rencana.
Kondisi di Indonesia
Gejala kota yang tengah lara tak terkecuali menghinggapi Indonesia. Kementerian Kesehatan menyebutkan penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit katastropik dengan penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariane menyebutkan, jantung koroner merupakan PTM penyebab kematian tertinggi, diikuti kanker, diabetes militus dengan komplikasi, tuberkulosis, kemudian penyakit jantung paru obstruktif kronis (PPOK).
Cut menjelaskan, jika dulu PTM lebih banyak menyerang warga lanjut usia, sekarang trennya mulai menjangkiti kelompok warga usia 10-14 tahun. Kondisi ini berdampak besar bagi sumber daya manusia dan perekonomian Indonesia di masa depan.
Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi menghadapi bonus demografi, yaitu kala jumlah warga berusia produktif jauh lebih banyak dibandingkan kelompok usia nonproduktif. Sebagian besar kelompok usia produktif hidup di area urban sesuai perkembangan perkotaan di Nusantara. Jika banyak warga usia produktif mengidap PTM, maka ada ancaman petaka bagi negeri ini.
Tingginya potensi warga menderita PTM, salah satunya dipicu asupan gizi tak seimbang terus menerus. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyatakan, 95,5 persen masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian, 33,5 persen penduduk negeri ini kurang beraktivitas fisik, 29,3 persen orang usia produktif merokok setiap hari, 31 persen mengalami obesitas sentral, serta 21,8 persen mengalami obesitas saat dewasa.
Kondisi kurang baik tersebut tecermin pula di DKI Jakarta. Sesuai data 10 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan di Puskesmas Tahun 2020, pada triwulan pertama dan kedua tahun lalu, banyak warga Ibu Kota berobat ke puskesmas karena keluhan, seperti gangguan pernapasan, gangguan pencernaan, diabetes melitus dengan dan tanpa komplikasi, serta hipertensi primer. Hipertensi primer antara lain disebabkan kelebihan asupan garam, obesitas, dan merokok atau kebiasaan buruk lain, seperti konsumsi alkohol berlebihan dan kurang istirahat.
Melihat kondisi Indonesia, sudah waktunya inisiatif penyembuhan kota seperti di Colorado diterapkan. Program penyembuhan kota ini jika dilaksanakan dengan baik bakal turut menjawab keresahan petani dan peternak lokal yang selalu ketar-ketir setiap tahun.
Di masa pandemi dan setelahnya nanti, upaya penyembuhan kawasan turut menjamin terwujudnya kota-kota sehat yang mampu membentengi diri dari serangan wabah dan bencana lain.
Saat ini, pemerintah mengimpor 1 juta ton beras saat panen raya berlangsung di banyak daerah lumbung pangan kita. Harga gabah hasil panen petani pun anjlok. Tak lupa kejadian peternak ayam petelur di Magetan, Jawa Timur, yang putus asa dan memilih membuang persediaan telurnya karena harga jual hasil usahanya itu terjun bebas pada Januari lalu.
Fakta menunjukkan harga hasil keringat peternak maupun petani lokal kita sering tidak stabil. Padahal, sebenarnya selalu ada pasar dan permintaan yang datang dari sekitar mereka. Ada sistem yang tidak berjalan dan selama ini dibiarkan.
Di masa pandemi dan setelahnya nanti, kawasan dengan ketangguhan di semua lini, termasuk ketangguhan pangan, dapat menjamin terwujudnya kota-kota sehat yang mampu membentengi diri dari serangan wabah maupun bencana lain amat dibutuhkan. Berkaca dari kota-kota di Colorado, pendekatan baru dengan mendorong inisiatif dan intervensi di tingkat kota untuk menyembuhkan dan membawa dirinya menjadi kawasan dengan warganya yang lebih sehat serta turut berdampak baik di tingkat nasional.
Indonesia kaya dan subur, berlimpah sumber daya pangan. Ah, ayolah mulai berbenah karena tidak ada kata terlambat untuk ikhtiar baik.
Baca juga: Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan