15 Anak di Bawah Umur Terlibat Prostitusi di Hotel Milik Figur Publik
Figur publik CCA bekerja sama dengan mucikari dan pengelola hotel untuk menghidupi biaya operasional hotelnya.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi menetapkan tiga tersangka, yaitu DA sebagai mucikari, AA sebagai pengelola hotel, dan CCA pemilik hotel sekaligus figur publik dalam kasus prostitusi daring anak di bawah umur. Mereka terlibat langsung. Polisi juga memeriksa 43 pria yang diduga terlibat prostitusi daring di Hotel A.
”Korban ada 15 anak di bawah umur, rata-rata berumur 14-16 tahun,” kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus dalam siaran pers di kanal Youtube Polda Metro Jaya, Jumat (19/3/2021).
Saat ini, anak-anak itu dalam pendampingan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta dan Wisma Handayani milik Kementerian Sosial. Mereka akan mendapat pendampingan psikologis dan trauma healing, dibantu LPSK. Polisi masih mengembangkan dan mendalami prostitusi daring serta dugaan eksploitasi anak ini.
Kasus ini terbongkar Selasa (16/3/2021) pukul 23.30 ketika polisi dari Subdirektorat 5 Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menggerebek Hotel A di Jalan Kompleks Deplu, Kreo, Larangan, Kota Tangerang, Banten.
Berdasarkan keterangan tersangka CCA, kata Yusri, selama pandemi Covid-19, okupansi hotel miliknya turun drastis atau sepi. Agar terus mendapat pemasukan atau operasional terus berjalan, ia terlibat dan bekerja sama dengan mucikari serta pengelola hotel untuk menjalankan bisnis itu dengan menjadikan Hotel A yang memiliki 30 kamar sebagai tempat prostitusi. Melalui media sosial, seperti Michat, Hotel A menawarkan anak-anak di bawah umur atau sistem open booking online.
Yusri melanjutkan, cara pelaku merekrut anak-anak itu dengan cara memacari terlebih dahulu, ada pula yang menawari pekerjaan. Dari cara-cara itulah mereka menjebak dan memaksa anak-anak terlibat prostitusi.
”Ini sudah ada peran masing-masing, sudah ada jokinya, pengantar, mucikari. CCA mengetahui hotel miliknya menjadi lokasi tempat prostitusi anak di bawah umur. Tarifnya sekitar Rp 400.000 hingga Rp 1 jutaan. Dari tarif itu dibagi ke joki, mucikari, pengelola, dan korban menerima beberapanya. Pengakuan pelaku, ia menjalankan bisnis ini sudah tiga bulan. Dalam satu hari, korban kerap dipaksa melakukan lebih dari satu kali. Bahkan, dari pengakuan korban, jokinya juga terlibat dan mereka dipaksa untuk melakukan itu,” kata Yusri.
Tindakan para pelaku tersebut, lanjut Yusri, patut dihukum berat dan dikenai pasal berlapis. Apalagi dalam kasus prostitusi ini anak-anak menjadi korban.
Para tersangka dikenai Pasal 76 I juncto Pasal 88 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan atau Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 296 KUHP dan atau Pasal 506 KUHP. Tersangka terancam hukuman 10-15 tahun penjara.
Yusri mengatakan, untuk 43 pria yang ditahan sementara, akan diminta keterangan lebih lanjut. Bukan tidak mungkin mereka diberikan hukuman. Selain itu, kepolisian juga akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melacak media sosial yang dijadikan sebagai media kejahatan, seperti prostitusi anak di bawah umur.
Selain berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, peran Kementerian Pariwisata juga dinilai besar untuk lebih memonitor penginapan dengan semakin mengetatkan aturan masuk hotel, salah satunya dengan tidak mengizinkan anak di bawah umur masuk dengan pengecekan ketat kartu tanda penduduk.
Staf Khusus Presiden Bidang Sumber Daya Manusia Erlinda menambahkan, berdasarkan catatan pada 2020, setidaknya ada sekitar 1.000 anak-anak menjadi korban prostitusi daring. Adapun pada Januari-Maret 2021, sudah mencapai 500 kasus anak-anak yang menjadi korban.
Dari jumlah kasus itu, kata Erlinda, menjadi tugas bersama dan tanggung jawab semua pihak untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dan eksploitasi anak. Jangan ada lagi anak-anak menjadi korban karena mereka adalah masa depan bangsa yang harus dilindungi.
Menurut Erlinda, dalam kasus prostitusi anak-anak, tidak bisa menyalahkan peran orangtua semata dalam menjaga anak-anaknya dan faktor dari situasi pandemi Covid-19 yang memperburuk keadaan. Perlu ada sistem yang kuat dari lingkungan, pendidikan, hingga pelaksanaan penegakan hukum.
”Penegakan hukum dengan menghukum berat para pelaku. Ini merupakan kejahatan kemanusian. Kami memohon dengan sangat kepada aparat penegak hukum, jaksa, hakim, untuk memberikan tuntutan semaksimal mungkin kepada para pelaku eksploitasi anak dan pelaku kekerasan seksual anak dan perempuan agar ada efek jera serta tidak ada lagi korban,” kata Erlinda.
Selain penegakan hukum, kata Erlinda, perlu ada perlindungan, bimbingan, dan pendampingan hukum yang maksimal kepada anak-anak dan keluarga. Dukungan semua pihak sangat penting agar anak-anak dan keluarga bisa bangkit. Tidak ada stigma negatif yang dilekatkan kepada mereka.
”Kita kawal kasus ini sampai ke pengadilan. Kita tidak ingin saat pengadilan nanti vonis tidak sesuai dengan tindakan kejahatan berat yang sudah dilakuakan pelaku. Kami juga akan mengkaji apakah kasus ini hanya terkait prostitusi atau ada unsur perdagangan anak,” ujarnya.