Juni Ini, Proyek Sodetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur Ditargetkan Berlanjut
Penanggulangan banjir Ibu Kota masih memakai rencana induk yang dikebangkan tahun 1973 yang direvisi pada tahun 1997 dan 2013. Artinya, penanganan bersifat berkelanjutan, bukan proyek sporadis.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek sodetan yang menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Kanal Banjir Timur dan penataan Ciliwung direncanakan bisa dikebut untuk dikerjakan paling lambat Juni 2021 oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang beroperasi di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Di saat yang sama, juga dilakukan inventarisasi ruas-ruas lahan di sekitar sungai dan situ yang akan dibebaskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ”Kerja Sama Hulu-Hilir Daerah Aliran Sungai untuk Mengatasi Banjir Jakarta” yang diadakan oleh Lembaga Pendidikan, Penerangan, dan Penelitian Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta, Rabu (17/3/2021), kemarin.
Peneliti senior lembaga ini, Kuswanto Sumo Atmojo, memberi kritik kepada pemerintah pusat dan daerah bahwa penanganan banjir selama ini hanya bersifat reaktif, bukan pencegahan. Persepsi yang dipakai juga Jakarta-sentris dan tidak berkesinambungan.
Menanggapi pernyataan itu, Kepala BBWSCC Bambang Heri Mulyono menjelaskan bahwa perencanaan penanggulangan banjir Ibu Kota masih memakai rencana induk yang dikebangkan tahun 1973 yang direvisi pada tahun 1997 dan 2013. Artinya, penanganan bersifat berkelanjutan, bukan proyek sporadis. Revisi yang digunakan pun mengikuti perkembangan tata ruang.
”Penanganan belum efektif karena memang pekerjaannya belum selesai. Pembangunan Bendungan Ciawi di hulu dan sodetan Ciliwung-KBT (Kanal Banjir Timur) baru berjalan setengah,” tuturnya. Demikian pula dengan proses normalisasi di empat sungai lainnya, yaitu Angke, Pesanggrahan, Sunter, dan Jatikramat.
Secara keseluruhan, daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung berjumlah 15 ruas dengan luas 446 kilometer persegi. Sebanyak 13 ruas DAS Ciliwung ada di Jakarta. Panjang sungainya yang dihitung dari wilayah TB Simatupang ke Manggarai adalah 20 kilometer, tetapi rencana pembuatan tanggulnya sepanjang 33 kilometer.
Menurut Bambang, sudah 16 kilometer tanggul yang dibangun. Sisa 17 kilometer lagi tengah menunggu pembebasan lahan di sepanjang DAS yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Sejauh ini, ada 1,5-2 kilometer lahan yang telah dibebaskan dan berpotensi dikerjakan di tahun 2021.
Selain itu, BBWSCC juga berencana mengebut penyelesaian sudetan Ciliwung-KBT. Proyek ini sebelumnya terlaksana tahun 2013-2017 di bagian hulu dengan membangun pipa sepanjang 600 meter. Setelah itu, proyek terhenti karena ada masalah pembebasan lahan. Pada Oktober 2020, Gubernur Jakarta Anies Baswedan turun memediasi antara BBWSCC dan warga hingga tercapai kesepakatan.
”Apabila semua sesuai rencana, sekitar Mei atau Juni tahun ini kita bisa melanjutkan memasang sisa pipa 600 meter lagi dan bisa diselesaikan dalam kurun dua tahun,” kata Bambang. Sudetan ini direncanakan sepanjang 1,27 kilometer dengan dua ruas pipa yang mengalirkan debit air dari Ciliwung ke KBT. Diperkirakan, jumlah debit airnya 60 meter kubik per detik.
Di bagian hulu, BBWSCC membangun dua bendungan kering, yakni Ciawi dan Sukamahi. Jenis bendungan kering berbeda dari bendungan biasa yang gunanya menampung air dan memakainya untuk irigasi ataupun pembangkit listrik.
Di Ciawi dan Sukamahi tujuannya adalah menurunkan debit air di puncak banjir sebesar 30 persen atau dari 365 meter kubik per detik menjadi 250 meter kubik per detik. Debit air yang mencapai Pintu Air Manggarai nanti turun 12 persen.
Polder dan waduk
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi Asikin mengatakan, kondisi Jakarta sangat rawan banjir karena 40 persen merupakan daerah dataran rendah yang di beberapa titik bahkan lebih rendah dibandingkan permukaan laut. Oleh sebab itu, hujan lebat masih menjadi kendala terberat dalam penanggulangan banjir. Apalagi ada beberapa hambatan dari desain sistem perairan di Ibu Kota.
Pada banjir tahun 2020 misalnya, kapasitas desain saluran air Jakarta adalah 2.357 meter kubik per detik. Hujan deras mengakibatkan debit air yang harus dialirkan adalah 3.389 meter kubik per detik. Selisih ini menjadi air limpasan ke jalanan dan permukiman.
”Makanya, kami segera melakukan program Gerebek Lumpur. Sudah ada 800.000 meter kubik sedimentasi yang dikeruk dari kali, saluran air, dan waduk,” ujar Dudi.
Ada pula proyek drainase vertikal yang per Januari 2021 dikerjakan di 782 lokasi dengan 2.986 titik. Sebelumnya, target Pemprov Jakarta adalah membangun 1,8 juta sumur resapan. Rencana ini dikritisi oleh DPRD Jakarta dan sejumlah ahli tata kota karena selain lokasi sebanyak itu tidak memungkinkan, pembuatan sumur semestinya dikembalikan kepada warga sebagai inisiatif dan pemerintah lebih baik fokus ke penanganan banjir secara masif.
”Proyek besar saat ini adalah membangun empat waduk di Brigif, Lebak Bulus, Pondok Ranggon, dan Embung Wirajasa. Saat ini masih pembebasan lahan,” kata Dudi. Ketika sudah jadi, waduk Brigif bisa menurunkan debit air Kali Krukut sampai dengan 30 persen. Sementara Waduk Lebak Bulus dirancang agar bisa menurunkan debit air Kali Grogol hingga 11 persen.
Proyek besar saat ini adalah membangun empat waduk di Brigif, Lebak Bulus, Pondok Ranggon, dan Embung Wirajasa. Saat ini masih pembebasan lahan.
Dinas SDA Jakarta juga membangun polder-polder di wilayah datarn rendah. Polder adalah sistem pengelolaan air limpasan dengan menggunakan kolam retensi dan pompa. Titik-titik pembangunan adalah di Muara Angke, Kelapa Gading, Teluk Gong, Green Garden, Kamal, Marunda, Pulomas, Mangga Dua, dan pompa di Adhiyaksa serta Tipala.
Banjir Jakarta di tahun 2020 dan 2021 tidak hanya mengakibatkan kehilangan nyawa, kerugian materi dan beban mental bagi warga. Pemprov DKI Jakarta diminta bertanggung jawab secara hukum. Dua gugatan perwakilan kelompok (class action) telah dilayangkan ke Anies Baswedan oleh korban banjir Januari 2020 dan Februari 2021 dengan tuduhan gubernur lalai menjalankan kewajiban mitigasi banjir.