Wacana Pelonggaran PPKM DKI di Tengah Kejenuhan Masyarakat
Pendekatan pemerintah pusat dan daerah sama-sama berbasis opini publik, bukan pada penyelesaian persoalan pandemi. Itu pun umumnya terkait dengan insentif ekonomi dan pembagian bantuan sosial.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Wacana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuka tempat-tempat hiburan dalam dua pekan masih menuai sejumlah permintaan untuk memikirkan kembali prioritas penanganan pandemi. Masyarakat memang dilanda kejenuhan akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM, tetapi bukan berarti bisa secepat itu kegiatan sosial dibuka kerannya.
”Kenyataan lapangan menunjukkan kejenuhan masyarakat karena meskipun judul programnya adalah PPKM, masyarakat tetap keluar rumah untuk beraktivitas,” kata Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia untuk DKI Jakarta Baequni Boerman ketika dihubungi pada Selasa (16/3/2021).
Dari kajian IAKMI Jakarta, pemprov telah mengeluarkan banyak aturan, tetapi pelaksanaannya tetap tidak maksimal di masyarakat. Akibatnya, aturan dan perilaku warga berjalan sendiri-sendiri. Misalnya, meskipun ada ketentuan bagi perkantoran untuk menomorsatukan bekerja dari rumah, kafe-kafe mulai penuh terisi oleh mereka yang bekerja di luar kantor.
Baequni juga menjelaskan bahwa pendampingan masyarakat belum optimal. Pendidikan masyarakat sepenuhnya diserahkan kepada petugas rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), dan kader-kader di masyarakat. Keterlibatan mereka sangat penting, hanya tidak tersistem dengan baik, seperti tidak ada acuan berupa peta permasalahan di suatu wilayah dan ukuran capaian serta keefektifan sosialisasi protokol kesehatan.
”Untuk sosialisasi memang harus ada pendampingan dari tenaga profesional yang mampu mencari simpul-simpul persoalan di satu kelurahan atau RW secara spesifik. Cara sosialisasi dan penerapannya bisa dirumuskan bersama dengan perwakilan warga sehingga ada rasa kepemilikan terkait aturan,” tuturnya.
Untuk sosialisasi memang harus ada pendampingan dari tenaga profesional yang mampu mencari simpul-simpul persoalan di satu kelurahan atau RW secara spesifik.
Sukarnya sosialisasi dialami oleh Christine Siahaan, sukarelawan pendidikan masyarakat terkait protokol kesehatan Covid-19. Ia merupakan warga di kompleks Rumah Susun Bidara Cina di Jatinegara. Sehari-hari Christine memang aktif terlibat menjadi sukarelawan berbagai isu, seperti kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT).
Sejak pandemi Covid-19 bermula pada Maret 2020, Christine mengikuti berbagai sosialisasi yang diselenggarakan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengenai bahaya Covid-19 dan cara pencegahannya. Ia pun menerapkan ilmu yang ia peroleh ke lingkungan tempat tinggalnya.
”Ternyata sosialisasi soal Covid-19 lebih susah daripada pendampingan soal KDRT. Virus korona ini, kan, tidak kasatmata, jadi masih banyak warga yang enggak percaya bahwa pandemi itu ada,” ujarnya.
Ia berusaha memberi contoh dengan selalu memakai masker setiap kali meninggalkan unit rumah susunnya, bahkan jika hanya hendak ke selasar sekalipun untuk berbicara dengan tetangga. Pengurus rumah susun juga rutin berkeliling setiap blok sambil menggaungkan melalui pelantang mengenai pentingnya bermasker.
Menurut Christine, dalam satu bulan terakhir ini tidak ada kasus positif Covid-19 di kompleks tersebut. Bulan Februari ada dua warga yang terkena dan sudah menjalani perawatan di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran. Meskipun demikian, pengalaman pahit para penyintas tidak menjadi pelajaran bagi warga secara umum.
”Warga yang paham, ya, disiplin bermasker. Warga yang sampai sekarang enggak mau percaya tetap saja enggak bermasker. Ada juga warga yang paham, tapi enggak mau bermasker karena merasa mereka enggak terpapar risiko,” tuturnya.
Warga tetap menjalankan kebiasaan sehari-hari seperti kongko pada pagi dan sore, baik di warung-warung sekitar rumah susum maupun di taman. Saat Kompas berkunjung ke kompleks Rumah Susun Bidara Cina itu, memang ketika baru datang ke halaman, warga masih memakai masker. Saat pembicaraan sudah mulai seru, berkisar 15-20 menit kemudian, satu per satu warga mulai menurunkan masker sehingga hidung dan mulut mereka terekspos.
Turun naik
Secara faktual memang ada penurunan jumlah kasus aktif, tetapi fenomena itu belum stabil karena tetap ada penambahan kasus setiap pekan yang jumlahnya bisa di atas 1.000. Demikian yang dipetakan oleh Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Universitas Tarumanagara. Lembaga kajian perkotaan ini melihat, sejak bulan Februari ada penurunan kasus aktif walaupun belum stabil.
Data pada 6 Februari menunjukkan ada 24.044 kasus aktif Covid-19 di Jakarta. Pada 6 Maret jumlahnya menurun drastis menjadi 7.226 kasus. Angkanya naik lagi dalam sepekan, setidaknya pada 12 Maret kasus aktif ada 8.422 atau naik 1.196 kasus dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Adapun berdasarkan data Dinas Kesehatan Jakarta, pada 16 Maret, kasus aktif sebanyak 5.747.
”Risiko penularan masih cukup tinggi apabila masih ada pekan yang akumulasi kasusnya tinggi. Selain itu, kita tetap harus mengamati adanya vaksinasi dengan perubahan perilaku masyarakat dan hubungannya terhadap penurunan jumlah kasus aktif,” kata peneliti senior Centropolis, Suryono Herlambang.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Paramadia, Khoirul Umam, mengatakan, pendekatan pemerintah pusat dan daerah sama-sama berbasis opini publik, bukan pada penyelesaian persoalan pandemi. Sejumlah survei yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta umumnya meminta pendapat masyarakat tentang penanganan pandemi, tetapi dari sisi insentif ekonomi dan pembagian bantuan sosial. Bukan dari segi upaya untuk memastikan penularan virus korona jenis baru tidak bertambah. Penanganan pandemi secara nyata semestinya proses vaksinasi yang mudah diperoleh masyarakat, terlepas dari alamat di kartu tanda penduduk.
”Transparansi kebijakan juga susah untuk diperoleh masyarakat. Misalnya, jika sektor hiburan akan dibuka dalam dua minggu ke depan, apa landasan prioritasnya. Misalnya, harus ada fakta ekonomi bahwa sektor itu akan menyumbang pembangunan di masa sulit ini,” paparnya.
Di Jakarta Timur, misalnya, vaksinasi baru diberikan kepada 75.279 orang. Wali Kota Jakarta Timur M Anwar mengatakan, mayoritas vaksin diberikan kepada tenaga kesehatan dan warga lansia. Setelah itu, vaksinasi Covid-19 diperuntukkan kepada 1.226 aparatur sipil negara dan 178 tokoh agama. Terkait vaksinasi untuk guru, baru 138 sekolah yang menjadi prioritas karena dimasukkan ke dalam proyek rintisan dinas pendidikan.