Pro dan Kontra Prioritas Pembukaan Tempat Karaoke atau Sekolah
Walaupun guru-guru bertahap mulai divaksin, kekebalan massal tidak akan tercapai karena mayoritas warga sekolah adalah murid. Sebagai gambaran, di Indonesia ada 5 juta guru dan setidaknya 50 juta peserta didik.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka kembali tempat hiburan, seperti tempat karaoke, menuai perbedaan pendapat di antara anggota DPRD DKI Jakarta. Di satu sisi, mereka memahami pentingnya menggerakkan ekonomi lebih cepat guna memulihkan arus keuangan provinsi dan masyarakat. Di sisi lain, gagasan ini dianggap tidak perlu menjadi prioritas karena ada hal yang lebih penting untuk dibenahi lebih dulu, yaitu pendidikan tatap muka.
Salah satu legislator yang lantang menyuarakan keberatan terhadap rencana membuka kembali tempat-tempat hiburan ialah Wakil Ketua DPRD Jakarta Zita Anjani. Politisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini ketika dihubungi pada hari Senin (15/3/2021) mengatakan bahwa perhatian selama pemulihan pandemi Covid-19 sejauh ini kurang menekankan kepada pendidikan.
”Pendidikan bukan hanya soal kurikulum, melainkan bermain, belajar, serta mengenali peran dan status seseorang di masyarakat,” tuturnya.
Pendidikan bukan hanya soal kurikulum, melainkan bermain, belajar, serta mengenali peran dan status seseorang di masyarakat.
Menurut dia, pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah satu tahun terjadi akibat ditiadakannya pembelajaran tatap muka (PTM) membuat orangtua, anak, dan guru sama-sama terbebani. Zita berpendapat membuka kembali sekolah untuk PTM adalah wujud kasih sayang pemerintah terhadap anak-anak.
Ia menggunakan data dari Pemerintah China yang mengungkapkan jumlah orang berusia di bawah 19 tahun yang terjangkit Covid-19 hanya 2 persen. Demikian pula dengan data di Amerika Serikat yang mengatakan bahwa anak-anak atau manusia berusia 0-18 tahun dengan atau penyintas Covid-19 jumlahnya 1 persen dari total pasien. Adapun berdasarkan laman Corona.jakarta.go.id milik Pemprov DKI Jakarta, mayoritas orang terkena Covid-19 berusia 20-39 tahun.
”Wajar kita mengkhawatirkan anak terpapar Covid-19, tetapi tidak perlu berlebihan. Lebih penting lagi memikirkan persiapan pembukaan sekolah,” katanya.
Zita beranggapan, apabila dikembalikan ke sekolah, pendidikan bisa dilaksanakan secara terarah. Anak-anak juga dapat belajar mengenai protokol kesehatan secara langsung. PJJ, selain tidak memiliki standardisasi mutu, juga meningkatkan risiko terjadinya kekerasan rumah tangga dan domestik kepada anak.
Data Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta menyebutkan, sepanjang tahun 2020 jumlah kekerasan terhadap anak di Ibu Kota mencapai 593 kasus. Di luar itu, ada 250 kasus kekerasan terjadi di Depok, Bogor, dan Tangerang Selatan yang dilaporkan ke lembaga tersebut. Apabila data keseluruhan kasus tahun 2020 yang dihimpun LBH Apik Jakarta berjumlah 1.178 kasus, hampir setengahnya terjadi di Ibu Kota (Kompas.id, 7 Januari 2021).
Pernyataan Zita ini adalah respons dari pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza ”Ariza” Patria yang mengatakan ada kemungkinan pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat. Salah satu sektor yang dilirik untuk dibangkitkan ialah sektor hiburan, terutama tempat karaoke. Menurut dia, pemikiran itu masih akan ditindaklanjuti kajian para pakar kesehatan masyarakat, epidemiolog, dan ahli-ahli di bidang terkait.
Ariza menggunakan tingginya jumlah angka kesembuhan dan rendahnya angka kematian sebagai salah satu alasan gagasan pelonggaran pembatasan diutarakan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta per 15 Maret, jumlah kasus Covid-19 secara keseluruhan di Ibu Kota sejak awal pandemi pada maret 2020 adalah 361.535 kasus. Tingkat kesembuhannya 96,5 persen dan tingkat kematian 1,7 persen atau setara dengan 6.038 jiwa.
Patut digarisbawahi bahwa persentase kasus positif Covid-19 adalah 12,2 persen selama satu pekan terakhir. Jumlah ini melebihi batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen. Artinya, virus belum terkendali dan penularan akan terus terjadi meskipun kemungkinan jumlahnya berkurang.
Persiapan menyeluruh
Dalam waktu yang berlainan, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo memaparkan bahwa hal yang dikemukakan Zita ada benarnya karena PJJ kini tantangannya kian berat akibat kejenuhan guru, murid, dan orangtua serta tidak adanya kejelasan arah pendidikan semasa pandemi. Meskipun begitu, ia mengatakan, persiapan PTM tidak sebatas protokol kesehatan di sekolah.
”Protokol kesehatan di keseluruhan wilayah yang harus disiapkan. Jakarta tidak bisa berdiri sendiri karena sekolah-sekolah di Jakarta juga memiliki guru dan murid dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kesatuan wilayah ini harus memiliki protokol kesehatan yang ketat, mulai dari perilaku sebelum meninggalkan rumah, dalam perjalanan menuju ke sekolah, berada di sekolah, hingga perjalanan pulang,” papar Kepala Sekolah SMPN 52 Jakarta ini.
Saat ini, proses pemberian vaksin Covid-19 kepada para guru dimulai. Kabar terkini yang diterima FSGI menyebutkan, di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, sebanyak 3.000 guru sekolah negeri dan swasta akan mulai divaksin di puskesmas pada Selasa, 16 Maret. Kegiatan akan berlangsung selama lima hari.
Heru menjelaskan, walaupun guru-guru bertahap mulai divaksin, kekebalan massal tidak akan tercapai karena mayoritas warga sekolah adalah murid. Sebagai gambaran, di Indonesia ada 5 juta guru dan setidaknya 50 juta peserta didik. PTM dalam penegakan protokol kesehatan sekalipun tetap menghadapkan satu orang guru dengan 10-15 murid di dalam ruang kelas.
”Bagaimana dengan murid? Apakah mereka wajib sudah divaksin sebelum bisa melakukan PTM? Bagaimana dengan orangtua mereka? Persoalan pendidikan bukan sekadar cepat-cepat membuka sekolah, melainkan sudahkah semua aspek protokol kesehatan di masyarakat secara umum bisa menjamin perilaku sehat terjadi di semua bidang?” tuturnya.
Ia mengatakan, Pemprov DKI Jakarta perlu memperhatikan kasus-kasus penularan Covid-19 di sekolah, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat dan Jawa Tengah. Semuanya karena pemerintah daerah hanya memandang PTM dari penegakan protokol kesehatan di sekolah, sebuah lingkungan yang relatif kecil, terukur, dan mudah dipantau. Akan tetapi, mereka tidak menjamin penegakan protokol kesehatan di masyarakat secara umum sehingga sekolah menjadi kluster baru.
Berdasarkan data situs LaporCovid19 per Agustus 2020, ada sembilan kluster penularan di sekolah. Lokasi kejadiannya antara lain adalah di Balikpapan, Pontianak, Tegal, Rembang, dan Sumedang. Padahal, kabupaten/kota itu masuk kategori zona kuning dan hijau (Kompas, 4 Oktober 2020).