Kembali membuka sekolah butuh menjamin penegakan protokol kesehatan di masyarakat secara umum, bukan sekedar di ruang kelas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar dan I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka kembali tempat hiburan, seperti tempat karaoke, menuai perbedaan pendapat di antara para anggota DPRD DKI Jakarta. Mereka memahami pentingnya menggerakkan ekonomi lebih cepat guna memulihkan arus keuangan provinsi dan masyarakat. Namun, gagasan ini dianggap tidak perlu menjadi prioritas karena ada hal yang lebih penting untuk dibenahi lebih dulu, yaitu pendidikan tatap muka.
Salah satu legislator yang lantang menyuarakan keberatan terhadap rencana membuka kembali tempat-tempat hiburan ialah Wakil Ketua DPRD Jakarta Zita Anjani. Politisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini mengatakan, ketika dihubungi hari Senin (15/3/2021), bahwa perhatian selama pemulihan pandemi Covid-19 sejauh ini kurang menekankan pada pendidikan.
”Pendidikan tidak hanya soal kurikulum, tetapi juga bermain, belajar, serta mengenali peran dan status seseorang di masyarakat,” ujarnya.
Menurut dia, pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah satu tahun terjadi akibat ditiadakannya pembelajaran tatap muka (PTM) membuat orangtua, anak, dan guru sama-sama terbebani. Zita berpendapat, membuka kembali sekolah untuk PTM adalah wujud kasih sayang pemerintah bagi anak-anak.
PJJ kini tantangannya kian berat akibat kejenuhan guru, murid, dan orangtua serta tidak ada kejelasan arah pendidikan semasa pandemi. Meskipun begitu, ia mengatakan, persiapan PTM tidak sebatas protokol kesehatan di sekolah.
Ia menggunakan data dari Pemerintah China yang mengungkapkan jumlah orang berusia di bawah 19 tahun yang terjangkit Covid-19 hanya 2 persen. Demikian pula dengan data di Amerika Serikat yang mengatakan anak-anak atau manusia berusia 0-18 tahun dengan atau penyintas Covid-19 jumlahnya 1 persen dari total pasien. Adapun laman corona.jakarta.go.id milik Pemprov DKI Jakarta mengatakan, mayoritas orang terkena Covid-19 berusia 20-39 tahun.
Zita beranggapan, apabila pendidikan dikembalikan ke sekolah, itu bisa dilaksanakan secara terarah. Anak-anak juga dapat belajar mengenai protokol kesehatan secara langsung. PJJ selain tidak memiliki standardisasi mutu juga meningkatkan risiko kekerasan rumah tangga dan domestik kepada anak.
Data Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta menyebutkan, sepanjang 2020 jumlah kekerasan terhadap anak di Ibu Kota ada 593 kasus. Di luar itu, ada 250 kasus di Depok, Bogor, dan Tangerang Selatan yang dilaporkan ke lembaga tersebut. Data keseluruhan kasus yang dihimpun LBH Apik Jakarta pada 2020 ada 1.178 kasus, hampir setengahnya terjadi di Ibu Kota, (Kompas.id, 7 Januari 2021).
Pernyataan Zita merespons pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza ”Ariza” Patria yang mengatakan ada kemungkinan pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat. Salah satu sektor yang dilirik untuk dibangkitkan ialah sektor hiburan, terutama tempat karaoke. Menurut dia, pemikiran itu masih akan ditindaklanjuti kajian pakar kesehatan masyarakat, epidemiolog, dan ahli di bidang terkait.
Ariza menggunakan tingginya jumlah angka kesembuhan dan rendahnya angka kematian sebagai salah satu alasan gagasan pelonggaran pembatasan diutarakan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta per 15 Maret, jumlah kasus Covid-19 secara keseluruhan di Ibu Kota sejak awal pandemi pada Maret 2020 adalah 361.535 kasus. Tingkat kesembuhannya 96,5 persen dan tingkat kematian 1,7 persen atau setara dengan 6.038 jiwa.
Patut digarisbawahi bahwa persentase kasus positif Covid-19 adalah 12,2 persen dalam sepekan terakhir. Jumlah ini melebihi batas aman Organisasi Kesehatan Dunia, yakni 5 persen. Artinya, virus belum terkendali dan penularan terus terjadi meskipun kemungkinan jumlahnya berkurang.
Bukan sebatas sekolah
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo memaparkan, pendapat Zita ada benarnya karena PJJ kini tantangannya kian berat akibat kejenuhan guru, murid, dan orangtua serta tidak adanya kejelasan arah pendidikan semasa pandemi. Meskipun begitu, ia mengatakan, persiapan PTM tidak sebatas protokol kesehatan di sekolah.
”Protokol kesehatan di keseluruhan wilayah yang harus disiapkan. Kalau Jakarta tidak bisa berdiri sendiri karena sekolah-sekolah di Jakarta juga memiliki guru dan murid dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kesatuan wilayah ini harus memiliki protokol kesehatan ketat, mulai dari perilaku sebelum meninggalkan rumah, menuju ke sekolah, saat di sekolah, hingga perjalanan pulang,” kata Kepala SMP Negeri 52 Jakarta ini.
Heru menjelaskan, walaupun guru-guru bertahap mulai divaksin, kekebalan massal tidak akan tercapai karena mayoritas warga sekolah adalah murid. Di Indonesia ada 5 juta guru dan setidaknya 50 juta peserta didik. PTM dalam penegakan protokol kesehatan tetap menghadapkan satu guru dengan 10-15 murid dalam ruang kelas.
Ia mengatakan, Pemprov DKI Jakarta perlu memerhatikan kasus-kasus penularan Covid-19 di sekolah, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat dan Jawa Tengah. Semuanya karena pemerintah daerah hanya memandang PTM dari penegakan protokol kesehatan di sekolah, yang kecil, terukur, dan mudah dipantau. Namun, mereka tidak menjamin penegakan protokol kesehatan di masyarakat secara umum.
Data LaporCovid19 per Agustus 2020, ada sembilan kluster penularan di sekolah. Lokasinya, antara lain, di Balikpapan, Pontianak, Tegal, Rembang, dan Sumedang. Padahal, kabupaten/kota itu masuk kategori zona kuning dan hijau, (Kompas, 4 Oktober 2020).
Masih ragu
Keraguan juga menghinggapi Bupati Tangerang, Banten, Ahmed Zaki Iskandar. Ia mengatakan, sekolah tatap muka berisiko membahayakan peserta didik jika dilaksanakan saat kasus Covid-19 masih tinggi. Salah satu pertimbangan Zaki adalah tren peningkatan kasus Covid-19 yang selalu terjadi seusai libur panjang. Pada Mei 2021, ada Ramadhan dan Lebaran.
”Dihitung satu bulan setelah itu, dapat diprediksi pada akhir Juni akan ada peningkatan kasus Covid-19,” ujar Zaki melalui siaran pers, Senin.