Pemprov DKI Bangun Tempat Pengelolaan Sampah Dalam Kota
Pengolahan sampah itu berupa ”intermediate treatment facility” atau ITF. Lokasinya di Sunter, Jakarta Utara, sebagai pusat. Nantinya, diproyeksikan lagi ada tiga ITF di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan badan usaha milik daerah PT Jakarta Propertindo dan Perusahaan Umum Daerah Sarana Jaya membangun sarana pengelolaan sampah di empat titik. Metode pengelolaan direncanakan berbasis teknologi agar ramah lingkungan dan efektif mengurangi volume sampah.
”Bentuknya berupa intermediate treatment facility (ITF). Lokasinya di Sunter sebagai pusat. Tapi, nanti juga ada tiga ITF di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Syaripudin, Jumat (12/3/2021).
Menurut rencana, ITF Barat akan mengelola 2.000 ton sampah sehari dengan tingkat efisiensi 80 persen. ITF Sunter targetnya bisa mengelola 2.200 ton sampah per hari dan mampu mengubahnya menjadi energi listrik sebesar 35 megawatt.
Data Dinas LH Jakarta tahun 2020, jumlah sampah dari Ibu Kota yang dibuang di tempat pembuangan akhir Bantargebang di Bekasi mencapai 7.424 ton setiap hari. Isinya adalah 53 persen sisa makanan, 9 persen plastik, 8 persen residu, 7 persen kertas, dan selebihnya berbagai jenis sampah di luar kategori tersebut.
Gerakan mengurangi sampah tidak hanya dilakukan dengan membuat tempat pengelolaan sampah ataupun bank sampah di level komunitas. Salah satu organisasi yang melakukan gerakan pengurangan sampah ialah Nahdlatul Ulama melalui Bank Sampah Nasional (BSN), unit di bawah Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim organisasi tersebut.
Ketua BSN LPPI NU Fitria Ariyani mengatakan, langkah yang diambil ialah meminta para santriyah di pondok-pondok pesantren agar mengganti pembalut sekali pakai dengan pembalut dari kain serat bambu yang bisa dicuci berulang kali. Hal ini untuk menghilangkan sampah residu dari lingkungan pesantren. Pembuatan pembalut ramah lingkungan ini juga dilakukan sebagai pengembangan kewirausahaan pesantren.
”Kami juga mulai mengganti sabun-sabun cuci pabrikan dengan sabun olahan buah lerak (Sapindus rarak) yang tidak mencemari tanah dan air,” ujarnya.