Pembatasan kegiatan yang kian longgar saat pandemi Covid-19 berdampak pada semakin ramainya penumpang moda kereta rel listrik. Para pengguna setia moda itu ketar-ketir kerumunan menjadi sumber penularan baru.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
Pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 telah menyebabkan stasiun kereta rel listrik di Jakarta dipadati penumpang. Para pengguna setia moda itu pun mulai waswas kerumunan di KRL menjadi sumber penularan Covid-19.
Selama beberapa pekan terakhir ini pemerintah melakukan pelonggaran terhadap pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro. Kebijakan ini melonggarkan sejumlah kegiatan, seperti sektor perkantoran yang pegawainya diizinkan masuk kerja hingga 50 persen. Selain itu, pusat perbelanjaan juga diizinkan buka hingga pukul 21.00.
Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Rabu (10/3/2021), misalnya, sejak pukul 09.00 telah dipadati penumpang. Penumpang yang baru turun dari kereta di peron 1 dan 2 saling berdesakan dan jalan berimpitan saat menaiki tangga jembatan penyeberangan di atas rel menuju pintu keluar stasiun. Kerumunan orang tidak terhindarkan saat jam-jam orang berangkat kerja itu. Bahkan, suasananya nyaris menyerupai kesibukan stasiun di masa sebelum pandemi.
Saya harus sampai di kantor sebelum pukul 09.00. Naik kereta yang ini saja (yang disesaki penumpang) sudah telat karena mesti antre dulu. Kalau enggak kepepet waktu, saya enggak bakal bela-belain naik kereta sepadat ini.
Kereta rute Rangkasbitung-Tanah Abang yang berhenti di Stasiun Tanah Abang, misalnya, disesaki penumpang. Di dalam kereta, para penumpang berdesakan tanpa jarak fisik. Rusliyanto (47), salah satu penumpang kereta itu, mengaku tidak punya pilihan lain, selain menumpangi kereta tersebut. Jika ia memilih kereta di jam keberangkatan selanjutnya, ia akan terlambat masuk kerja.
”Saya harus sampai di kantor sebelum pukul 09.00. Naik kereta yang ini saja (yang disesaki penumpang) sudah telat karena mesti antre dulu. Kalau enggak kepepet waktu, saya enggak bakal bela-belain naik kereta sepadat ini,” jelas warga Banten ini yang segera bergegas menuju pintu keluar stasiun.
Martha Manggala (56), karyawan yang berkantor di Tebet, juga menyaksikan, Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, selama sebulan terakhir ini lebih ramai pada jam berangkat dan pulang kerja. Bahkan, menurut dia, setiap Selasa dan Jumat, antrean penumpang KRL di gerbang pemindai untuk keluar dari stasiun itu lebih panjang dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya selama pandemi ini.
Saat pulang kerja pada Selasa (9/3/2021) sore, Martha menyaksikan antrean penumpang yang menunggu KRL tujuan Bogor di peron 5 dan 6 sudah padat sejak pukul 16.30. Marka kuning jaga jarak sekitar 1 meter di setiap peron tidak lagi dipatuhi saat antrean kian panjang.
Martha berusaha memisahkan diri saat antrean itu makin ramai. Saat kereta tujuan Bogor datang, para penumpang pun saling berebut dan berimpitan saat memasuki pintu kereta. Tidak ada protokol jaga jarak fisik minimal 1 meter yang selama setahun ini berjalan.
Martha tidak ingin mengorbankan kewaspadaan diri demi bisa pulang cepat. Pada Selasa sore itu pun dia rela melewatkan empat kereta rute Jakarta-Bogor yang disesaki penumpang. Hingga sekitar satu jam berselang, ia baru mendapatkan kereta yang cukup lengang, tidak terlalu dipadati penumpang.
”Sebulan ini, kereta ke Bogor makin padat waktu pulang jam kerja. Kalau saya perhatikan, kereta semakin cepat penuh penumpang. Sebelum pukul 17.00, peron kereta sudah dipenuhi antrean (penumpang),” tutur Martha.
Tidak patuh
Kepadatan serupa dirasakan pula oleh Ari Wulu (37). Beberapa kali dia naik KRL tujuan Cikarang, Bekasi, dalam kondisi sarat penumpang. Keadaan itu kadang turut mengendurkan kewaspadaan sesama penumpang.
Warga Bekasi ini bercerita, ada saja penumpang yang batuk atau bersin saat sedang terlalu berdekatan dalam satu kereta. ”Malah ada yang sedang dalam kerumunan begitu, ketika bersin malah melepas masker, setelah itu masker baru dipakai lagi. Saya heran, ini orang apa enggak ngerti fungsi masker,” ujarnya.
Beberapa hari sebelumnya, Senin (8/3/2021), PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), penanggung jawab moda KRL, pun mencatat kenaikan penumpang saat pagi sebanyak 139.759 orang. Jumlah tersebut meningkat sekitar 10 persen dari 126.278 orang pada Senin pekan sebelumnya.
Vice President Corporate Secretary PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Erni Sylviane Purba membenarkan adanya tren kenaikan jumlah penumpang meski tidak signifikan. Dia sendiri mengantisipasi kenaikan jumlah penumpang demi tetap mematuhi protokol kesehatan.
”Kami selalu imbau penumpang agar tidak memaksakan diri ketika lihat kereta sudah penuh. Petugas juga bersiaga untuk mencegah penumpang yang memaksa masuk walau sudah penuh,” jelasnya. Selain itu, Erni menyebut ada 986 perjalanan KRL yang tersedia dan semestinya mencukupi kebutuhan penumpang dalam sehari.
Celah kerumunannya selalu terjadi pada jam-jam sibuk. Harus ada ketegasan untuk membatasi jumlah orang di dalam kereta. Kalau masih ramai begitu, orang pun jadi ketar-ketir naik kereta.
Penularan di kereta
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mencemaskan situasi di kereta yang terlalu padat. Sejumlah koleganya beberapa kali juga terjebak dalam kerumunan di angkutan yang sama.
Menurut dia, penumpang yang berada di dalam satu ruangan tertutup lebih dari 20 menit tergolong sebagai kontak erat Covid-19. Kalau saja ada satu orang yang ternyata adalah orang tanpa gejala (OTG), penularan sangat mungkin terjadi.
”Di dalam kereta itu, kan, tidak ada sirkulasi udara. Lalu, penumpang di dalam kereta bisa berkerumun berjam-jam. Orang yang 20 menit bersama pasien Covid-19 saja hitungannya sudah kontak erat, apalagi kalau berjam-jam,” jelasnya.
Dalam pemaparan hasil survei kerja sama Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Ombudsman DKI Jakarta dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), 18 Februari, kondisi persebaran penumpang di dalam angkutan menjadi catatan penting. Di KRL yang terdiri atas 12 kereta, misalnya, ditemukan kereta satu sampai tiga kerap disesaki penumpang.
Kepala Ombudsman untuk perwakilan DKI Jakarta Teguh Nugroho mengkritik kurangnya pengawasan yang menyeluruh sejak antrean masuk penumpang. Sebab, meski penumpang dicek suhu dan diminta memakai masker, mereka tidak diawasi hingga masuk ke dalam kereta.
Teguh menyarankan, sebaiknya ada pemantauan penumpang yang menyeluruh hingga ke dalam kereta. ”Celah kerumunannya selalu terjadi pada jam-jam sibuk. Harus ada ketegasan untuk membatasi jumlah orang di dalam kereta. Kalau masih ramai begitu, orang pun jadi ketar-ketir naik kereta,” kata Teguh.