Terus Menular di Tengah Pengawasan Kendur, Masker Kurang
Spanduk dan selebaran protokol kesehatan Covid-19 tidak dibaca. Iklan di televisi tidak diperhatikan dan iklan di media sosial selalu dilewati.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kluster penularan Covid-19 di Ibu Kota masih dirajai oleh lima hal, yaitu penularan di perkantoran, pasar, tempat ibadah, keluarga, dan kegiatan sosial. Satu tahun pandemi berlalu, kesadaran masyarakat tetap menjadi tantangan besar yang belum juga terselesaikan.
”Setiap kluster memiliki ciri penularan berbeda-beda, tetapi ada satu hal yang menjadi garis merah, yaitu tidak ditegakkannya 3M (memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan menggunakan sabun serta air mengalir),” kata anggota Tim Penanggulangan Bencana dan Kegawatdaruratan Kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Deddy Darmawan, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Deddy aktif melakukan sosialisasi penegakan protokol kesehatan di sejumlah wilayah permukiman di Ibu Kota serta kota-kota satelit dengan cara membangun sistem kader beranggotakan warga setempat. Pendekatannya memakai para anggota karang taruna, remaja masjid, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan gerakan ibu-ibu.
”Secara umum memang ada penurunan sosialisasi di lapangan. Berbeda dengan awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020 ketika semua anggota masyarakat ketakutan dan para petugas dari pemerintah hingga RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) rutin berpatroli serta melakukan razia di dalam permukiman,” ujarnya.
Salah satu contohnya ialah ketika Kompas berada di Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, pekan lalu. Di permukiman di belakang sebuah kampus swasta, warung-warung kopi dipadati anak-anak muda bergerombol. Ada yang satu meja berlima, bahkan delapan orang. Semua tidak bermasker, asyik mengobrol. Petugas kelurahan mengatakan, hal tersebut kian lumrah didapati beberapa bulan terakhir, tetapi tidak menegur kerumunan itu.
Deddy menerangkan, mayoritas sosialisasi yang dilakukan pemerintah sekarang fokus ke media arus utama dan media sosial, seperti memasang spanduk dan memutar iklan. Kedua hal ini tidak efektif karena spanduk dan selebaran tidak dibaca. Iklan di televisi tidak diperhatikan dan iklan di media sosial selalu dilewati.
”Kejenuhan masyarakat adalah masalah utama dalam penegakan protokol kesehatan, bukan pengetahuan soal bahaya penularan Covid-19. Sekarang semua orang sudah tahu risiko Covid-19, tapi malas bermasker dan malas menegur yang melanggar walaupun kebanyakan orang sudah lebih banyak yang bermasker dibandingkan yang tidak,” tuturnya.
Ketika melakukan pendampingan warga, Deddy menemukan bahwa untuk warga di permukiman padat dan dari ekonomi lemah, kepemilikan masker masih merupakan kendala. Umumnya mereka hanya memiliki satu masker yang pernah dibagikan gratis oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ketika masker dicuci, mereka tidak mempunyai cadangan.
Membeli masker juga susah karena untuk harga eceran masker kain di pedagang kaki lima bisa Rp 15.000-Rp 20.000. ”Kami menemukan orang-orang yang pendapatan hariannya selama pandemi Rp 50.000-Rp 100.000, bahkan kurang. Jika mereka diminta membeli masker yang harganya sepertiga pendapatan harian, tentu mereka keberatan,” ucapnya.
Deddy mengusulkan pemerintah daerah melalui koperasi usaha mikro, kecil, dan menengah bisa memberdayakan warga untuk membuat masker sendiri, minimal bagi RW masing-masing. Bantuan dari pemerintah ataupun pihak swasta bisa berupa kain bahan masker yang kerapatan helaian benangnya bisa dipakai untuk melindungi orang dari risiko penularan virus korona baru.
”Selama ini sudah ada beberapa kali gerakan bagi-bagi masker dari pemerintah ataupun swasta, tapi yang dibagikan adalah masker medis sekali pakai. Hal ini justru menimbulkan masalah baru, yaitu limbah masker yang cara pembuangannya tidak sesuai standar kesehatan,” ucapnya.
Jumlah kasus aktif Covid-19 di Jakarta terus menurun, seperti yang disampaikan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani. Per 9 Maret ada 6.605 orang yang dirawat ataupun diisolasi. Artinya, ada penurunan 834 kasus dibandingkan dengan 8 Maret.
Namun, jumlah kasus baru yang terdeteksi pada tanggal 9 Maret ada 867 orang. Persentase kasus positif juga naik dari 11 persen pekan lalu menjadi 13 persen. Hal ini menandakan, meskipun kasus berkurang, kasus baru tetap bermunculan karena penularan terus terjadi.
Dalam kesempatan yang lain, Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengungkapkan, pihaknya turut menjadikan pendidikan masyarakat mengenai protokol kesehatan sebagai materi dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Selama pandemi, para budayawan dan seniman aktif dalam pentas digital.
”Memakai masker dan menjaga jarak fisik masuk ke dalam alur cerita ataupun narasi musikal yang ditampilkan. Sudah ada beberapa pentas langsung dilakukan di ruang terbuka dan disaksikan penonton sebagai bentuk kampanye pendidikan masyarakat,” katanya.